Pada bulan puasa kali ini, seorang wanita dipotong-potong teman kencannya di Sukabumi. Sementara itu, seorang suami dipotong enam atas order istrinya. ENTAH kenapa, bulan baik Ramadan dikotori kasus mayat terpotong-potong. Setelah Ramadan dua tahun lalu penduduk Jakarta dikagetkan oleh kasus mayat Nyonya Diah, puasa kali ini penduduk Sukabumi dan Pekanbaru mendapat aib serupa. Di Sukabumi, Jawa Barat, Jumat pagi pekan lalu seorang wanita muda, Icha, 27 tahun, terpotong enam oleh teman kencannya sendiri, Lukman Hasan. Sedangkan di Pekanbaru Syaiful dipotong enam oleh istrinya melalui seorang pembunuh bayaran. Sekitar pukul 6 pagi, Jumat pekan lalu, warga Gang Dahlia, Nyomplong, Sukabumi itu kaget. Tiba-tiba mereka mendengar jeritan kesakitan seorang wanita dari rumah yang dikontrak seorang warga, Lukman Hasan. Ketua RT setempat, Eman Sulaeman, yang rumahnya berseberangan, mencoba mengetuk pintu Hasan. "San...! Hasan....!" katanya. Tak ada sahutan. Setengah jam kemudian, barulah Hasan membuka pintu. "Ah, nggak ada apa-apa. Hanya perempuan gila lari lewat lubang itu," kata Hasan sambil memperlihatkan lubang pada bilik rumahnya yang menganga. Pak RT pun tak begitu curiga, dan bersama warga lain ia berlalu pergi. Ternyata, sekitar pukul 10.00, tetangga di belakang rumah Hasan, Ahmad Effendi, melihat darah mengalir dari selokan WC belakang rumahnya. Ia mengintip rumah bujangan berumur 25 tahun itu. Effendi pun tersentak, sebab tangan Hasan, pedagang kue pia yang dikenal pendiam itu, berlumuran darah. Ia menduga, darah itu pasti ada hubungannya dengan jeritan wanita di pagi itu. Buru-buru Effendi melapor ke Polres Sukabumi. Siang itu juga, sekitar 10 petugas Polres dikerahkan mengepung rumah Hasan. "Hasan! Kau keluar!" teriak polisi. Selagi polisi dan warga tegang menunggu, tiba-tiba terdengar genting pecah. Brak! Brak! Tiba-tiba Hasan muncul di atap WC rumahnya dan mencoba lari di atas genting itu. Dor! Dor! Polisi melepas tembakan peringatan dua kali. Walau Hasan tetap mencoba kabur, polisi bersama warga membekuknya. Polisi kemudian mendobrak pintu rumah tersangka. Paviliun yang ditempati Hasan berbau anyir. Darah kering berceceran. Di kamar tidur Hasan teronggok kopor dan tas plastik juga ada bercak darah. Ketika kopor dibuka, masya Allah, tampak potongan tubuh seorang wanita hanya ber-BH. Golok dan pisau berdarah juga ditemukan di situ. Mayat siapa? Kepada polisi, mula-mula Hasan menjawab seenaknya. "Saya ketemu di jalan. Baru kenal sehari," katanya. Tapi KTP korban tertulis wanita itu bernama Imeltha Lorressytha Cristie, penduduk Cikondang, Sukabumi. Rekan-rekan korban akrab memanggil Icha pada Imeltha. Wanita yang sudah dikaruniai empat anak dari dua kali perkawinan itu tak punya pekerjaan yang jelas. Beberapa sumber yang dihubungi TEMPO menyebut janda berkulit kuning itu wanita "panggilan". Sejak menjanda, tiga tahun belakangan ini, tempat tinggal Icha konon tak menentu. Dalam catatan hariannya, seperti ditulis Pikiran Rakyat, wanita itu menulis berbagai petualangan cintanya. Tercatat 12 nama pejabat dan pengusaha di Sukabumi pernah dikencaninya. Rupanya, Kamis sore 4 April itu, Icha terdampar di rumah Hasan. Malam harinya, setelah bercinta, Icha minta imbalan Rp 50.000. "Ia juga minta dikawini," kata Hasan pada polisi. Hasan, yang usahanya belakangan ini merosot, tak mampu membayar segitu. Tapi Icha -- ini semata-mata pengakuan tersangka -- tetap ribut sampai pagi. Selain itu, menurut Hasan, wanita itu mengancam akan menjerit kalau permintaannya tak dipenuhi. "Daripada ketahuan tetangga membawa perempuan ke sini, dia saya cekik di tempat tidur," cerita Hasan pada polisi. Tapi, sebelum lemas, wanita itu sempat menjerit. Setelah korban mati, Hasan mengaku bingung. "Dalam pikiran saya yang terlintas adalah bagaimana mengemasi mayat itu sekecil mungkin," katanya. Jalan satu-satunya adalah memotong-motongnya. Mula-mula ia menjagal pergelangan kaki kiri, lalu paha kanan, tangan kiri, leher, dan lutut kanan. "Dari hasil pemeriksaan otopsi, diduga bahwa sewaktu dipotong korban masih bernyawa. Sebab, ada bagian kaki yang memar, diduga korban meronta sehingga kakinya membentur benda keras, dan memar," kata Kapolwil Bogor, Kolonel R. Pamudji, kepada TEMPO. Kegegeran di Sukabumi juga dialami penduduk Pekanbaru, Senin pekan ini. Mereka menemukan mayat Syaifuddin, 37 tahun, yang terpotong enam. Sementara ini, polisi menduga pelaku pembunuhan itu adalah Rafles, yang dibayar istri kedua Syaiful -- begitu korban dipanggil -- bernama Suwarni alias Wen, 25 tahun. Lelaki yang dikenal sebagai preman dan suka mabuk-mabukan itu, menurut polisi, memaksa Wen yang dikawini empat tahun lalu melacurkan diri di hotel-hotel Pekanbaru. Selain itu, pasangan tersebut sering cekcok. Lama-lama rupanya Wen tak tahan. Bersama teman seprofesinya, Musliana, Wen mengatur rencana pem-bunuhan. Seorang bernama Rafles menyatakan kesanggupannya dengan imbalan Rp 1,5 juta. Seperti biasanya, 10 Februari lalu, Syaiful pulang larut malam dalam keadaan teler. Tak biasanya, Wen menyambut suaminya dengan pelukan mesra. Mereka pun kemudian melakukan hubungan suami-istri. Syaiful sama sekali tak curiga, dan setelah itu tertidur pulas. Ketika itulah Rafles melaksanakan tugasnya, sementara Wen dan Musliana menunggu di ruang tamu. Rafles dua kali menghantamkan pentungan ke kepala Syaiful. Setelah korban tak berkutik, pembunuh bayaran itu dengan tenang mencincang tubuh Syaiful menjadi enam bagian. Potongan tubuh itu kemudian dimasukkan ke dalam karung lalu disimpan di lemari. Esoknya, mayat itu dikubur di kandang ayam di samping rumah. Kejadian itu hampir tak terbongkar, karena Wen setiap ditanya tentang suaminya selalu menjawab Syaiful sedang ke Batam cari kerja. Tapi, belakangan, istri pertama Syaiful, Hartini, merasa curiga. Sebab, kata Hartini, suaminya kalau pergi selalu memberi kabar. Ibu empat anak itu pun mengadukan ke polisi. Wen akhirnya diperiksa polisi. Berdasarkan pengakuannya, polisi berhasil menemukan mayat Syaiful. Hari itu juga polisi menciduk para pelakunya. "Pembunuhan sadistis itu bermotifkan dendam," kata Kapolda Riau Kolonel Hartoyo. Widi Yarmanto, Riza Sofyat, Ahmad Taufik (Biro Bandung), dan Irwan E. Siregar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini