Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Impian di selat sunoa

Pembangunan jembatan antara jawa dan sumatera dikemukakan pada ceramah prof.t.y. lin di kampus ui, depok. biaya sekitar rp 5 milyar. lebih murah dibanding membuat terowongan.

20 April 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menghubungkan Jawa dan Sumatera dengan jembatan lebih murah dibanding membuat terowongan. Biayanya sekitar Rp 5 trilyun. SETELAH hampir tujuh tahun tidak berhadapan dengan publik Jakarta, Prof. T.Y. Lin muncul di Kampus UI Depok, Selasa pekan lalu. Rambutnya makin tipis pada usianya yang 79 tahun. Wajahnya makin berkerut. Namun, penampilan ahli konstruksi dari Cal-ifornia ini masih segar. Bicaranya, dalam ceramah yang diselenggarakan HAKI (Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia), lantang dan lugas. Yang lebih menarik, dalam ceramahnya di Balairung UI itu, Prof. Lin berbicara mengenai pembangunan jembatan panjang, untuk menghubungkan Jawa dan Sumatera. "Jalur penyeberangan Jawa-Sumatera amat potensial secara ekonomis. Membangun jembatan di situ sangat mungkin," katanya. Prof. Lin menilai, investasi jembatan di Selat Sunda itu jauh lebih layak ketimbang Selat Madura atau Bali. Prof. Lin menaksir, untuk membangun jembatan raksasa yang membentang di atas Selat Sunda itu diperlukan waktu 4-5 tahun. Ditambah waktu untuk studi kelayakan 2-3 tahun. Kalau diambil jarak terpendek, jembatan ini akan memiliki bentangan sepanjang 27 km. Namun, bila ada bagian-bagian yang secara geologis rawan, tentu saja tubuh jembatan harus dibelokkan, untuk mencari tanah pijakan yang stabil. Jembatan yang dibayangkan itu akan punya lebar bentangan 30 meter. "Untuk highway, sekaligus di tengahnya dibikin jalan kereta api," kata Prof. Lin. Dengan yakin Prof. Lin menggambarkan bahwa tiang jembatan itu bisa dibangun dengan jarak 5 km. "Atau paling tidak 3 km," katanya. Aneh? Baginya tidak. Sebab, jembatan yang menghubungkan Spanyol-Marokko, melewati Selat Gibraltar sepanjang 14 km, sedang dibangun dengan jarak antartiang 5 km. Jembatan penghubung benua Eropa-Afrika itu dibangun atas dasar rancangan Prof. Lin. Soal tiang jembatan bagi Prof. Lin sama sekali bukan masalah. Teori beton pratekan yang dikembangkannya bisa memberi jaminan adanya tiang yang panjangnya 500-1.000 meter, seperti yang telah dibuatnya untuk jembatan Gibraltar. Untuk membuat tiangtiang jembatan di Selat Sunda, kata Prof. Lin, lebih mudah. "Karena kedalaman laut di situ hanya puluhan meter," katanya. Seperti halnya jembatan Gibraltar, jembatan lintas Jawa-Sumatera itu tak perlu mengganggu lalu lintas laut. Model mov-able bridge, yang ruas tubuhnya bisa diangkat-angkat -- seperti jembatan Ampera, Palembang, yang kini macet itu -- sama sekali tak disarankan oleh Prof. Lin. Alasannya, jembatan macam ini makan biaya terlalu besar. Pensiunan guru besar ilmu beton di Universitas California-Berkeley ini lebih menyukai jembatan model kantilever seperti jembatan di atas Selat Gibraltar itu. Ruas-ruas jembatan dibikin tak terlalu tinggi dari permukaan laut, tetapi pada ruas tertentu dibuat melengkung, membentuk busur. Di bawahnya kapal-kapal, dari pelbagai ukuran, bisa lewat secara leluasa. Pilihan model kantilever itu, kata Prof. Lin, lebih murah. Seluruh strukturnya, termasuk bagian yang melengkung membentuk busur itu, bisa dibuat dari beton bertulang. Konsekuensinya, memang tubuh balok beton penyangganya harus berukuran besar. Namun, persyaratan itu justru memberi keuntungan. "Karena struktur jembatan bisa bertumpu di atas permukaan tanah yang tidak padat, seperti di dasar laut," tambah Prof. Lin. Karya Prof. Lin sebetulnya telah berdiri di Indonesia: Balai Sidang di Senayan, Jakarta. Keistimewaan bangunan ini terletak pada kubah beton besar yang hanya disangga oleh tiang-tiang di bagian pinggir bangunan. Alhasil, bangunan itu memiliki ruangan luas yang bebas tiang di bagian tengah. Kunci struktur ini ada pada cincin beton yang menjadi penyangga kubah itu. Selain Balai Sidang, sebuah bangunan 46 lantai, yang kini sedang dibangun di Jalan Sudirman, Jakarta, di sebelah Gedung BNI, juga dibangun atas rancangan ahli konstruksi kawakan itu. Di dunia internasional, dia juga punya karya monumental. Selain mengerjakan jembatan di Gibraltar, Prof. Lin juga mengerjakan proses penguatan jembatan paling kondang di dunia: Golden Gate di San Francisco, AS. Masih di San Francisco, Prof. Lin juga punya karya lain yang canggih, berupa balai sidang yang punya ruang bebas tiang seluas 21.000 m2. Lalu, Alaska Peace Bridge, yang menghubungkan Uni Soviet dan Amerika, juga digarap atas arahannya. Lalu sebuah jembatan model kantilever, dengan lebar 27 meter, juga dibangun oleh Prof. Lin di Venezuela. Gagasan jalan raya Jawa-Sumatera pernah juga terlontar hampir enam tahun lalu, dalam seminar yang diadakan BPPT. Ketika itu, Prof. Yutaka Mochida -- - ahli yang ikut membidani terowongan Seikan, penghubung Pulau Honshu dengan Hokkaido, 53 km -- tampil sebagai pembicara. Ide yang muncul saat itu adalah membangun terowongan di bawah laut. Terowongan Jawa-Sumatera itu, menurut Mochida, lebarnya harus 50 meter dan berada 100 meter di bawah dasar laut. Gagasan ini tak berkembang -- barangkali karena bayangan biaya yang "mengerikan". Jembatan, kabarnya, lebih murah. Kendati begitu, Prof. Lin menaksir harganya bakal mencapai Rp 5 trilyun. "Tapi saya percaya akan ada swasta yang berminat kalau diberi kesempatan," ujarnya. Jembatan, bagi Prof. Lin, tak hanya sekadar bisnis. Dia punya obsesi mau menghubungkan semua benua dengan jembatan. Prestasinya sebagai ahli jembatan tak diragukan. Namun, dia lebih dikenal sebagai ahli yang ikut membidani lahirnya teori beton pratekan. Bukunya yang berjudul Design of Prestressed Concrete Structure seperti dianggap "kitab suci" oleh para pengajar ilmu beton. Keruan saja, ketika Prof. Lin di Kampus Depok, mahasiswa Teknik Sipil UI banyak yang menyodorkan buku itu agar ditandatanganinya untuk kenang-kenangan. Namun, Prof. Lin menolak. "Saya tahu, itu buku bajakan," kata alumnus Jiantung University of China itu. Ivan Haris dan PTH

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus