HAKIM Chaidir bergeming. Meski tampak amat berhati-hati, ia hakul yakin tak salah memutus nasib Abdullah bin Andah. Ketika itu, 14 tahun silam, adalah Chaidir yang memimpin persidangan dan lalu menghukum Abdullah seumur hidup.
Saat bertugas di Pengadilan Negeri Lhokseumawe, Aceh (1983-1991), Chaidir kerap menangani perkara penting. Selain kasus Abdullah, ia juga pernah mengadili Tengku Abdul Rahman, salah satu pemimpin Gerakan Aceh Merdeka yang didakwa telah menghasut rakyat supaya berontak. Sidang itu dinilai "sukses". Walau mengaku banyak mendapat ancaman, tanpa ampun ia mengirim sang terdakwa ke penjara selama 12 tahun.
Dari Aceh, karier sarjana hukum lulusan Universitas Syah Kuala ini lalu melejit. Ia diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Negeri Metro, Lampung (1999-2000), sebelum kemudian menjadi Ketua Pengadilan Negeri Purwakarta (2000-2002), dan masuk ke Ibu Kota sebagai hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Barat sejak 2002 lalu sampai sekarang. Berikut petikan wawancara Iwan Setiawan dari TEMPO dengan hakim penggemar golf itu.
Apa yang membuat Anda yakin Abdullah ikut membunuh bersama Syaiful?
Terus terang, pembunuhan itu adalah kasus yang menyedot perhatian masyarakat di kota sekecil Lhokseumawe. Banyak orang penasaran apa yang membuat pelaku bertindak begitu sadistis kepada bocah cilik itu. Bahkan yang menjadi jaksa penuntut umumnya adalah almarhum Pak Buchari sendiri, Ketua Kejaksaan Negeri Lhokseumawe saat itu. Dalam persidangan, Syaiful menjelaskan bagaimana ia merencanakan, menculik, menyiksa, hingga membunuh Heriana, bersama Abdullah. Semua diceritakannya dengan jelas, tidak berbelit-belit, logis hingga ke detail peristiwanya. Di sidang, Abdullah lebih banyak diam. Ia tak membantah apa yang disampaikan Syaiful, sehingga majelis yakin dia memang ikut menculik dan membunuh Heriana.
Kabarnya, Abdullah mengaku karena tak tahan disiksa polisi.
Kalau begitu, kenapa saat diperiksa hakim Andah tak menceritakannya? Jika hal itu benar, tentu hakim akan memeriksa polisi juga. Selain itu, sulit membuktikan Andah telah disiksa polisi.
Abdullah Anda vonis hanya berdasar keterangan Syaiful seorang, yang menurut hukum tak memadai sebagai alat bukti.
Begini, ada saksi lain yang melihat Syaiful dan Abdullah duduk-duduk di sebuah warung kopi dekat rumah Heriana sebelum bocah itu diculik. Selain itu, pada saat rekonstruksi, majelis juga melihat bagaimana mereka bekerja sama membunuh korban. Caranya meyakinkan. Misalnya, saat mereka mengikat korban di pohon, Syaiful bilang begini kepada Abdullah: "Ayo, cepat ikat. Tempo hari kau yang ikat dia, kan." Setelah itu Abdullah dengan gesit mengikat Heriana ke pohon, dan memperagakan bagaimana ia memukuli wajah korban hingga giginya rontok dan membenamkannya ke sungai. Setelah majelis berunding, kami sepakat Abdullah memang terlibat.
Tapi, dalam surat pernyataan yang dibuat pada 1993, Syaiful menyatakan Abdullah sama sekali tak terlibat.
Kenapa pengakuan itu baru dibuat pada 1993, bukan setelah vonis? Ini kan aneh. Lagi pula, jika benar Abdullah tidak terlibat, saat di penjara tentu mereka tak bakal akur. Sebaliknya, hubungan mereka berdua kan baik-baik saja.
Belakangan Syaiful mengaku ia membunuh bersama Syukri.
Siapa itu Syukri? Syaiful sama sekali tak pernah menyebut namanya di pengadilan.
Anda mendapat tekanan saat mengadili kasus ini?
Tidak, tidak ada tekanan atau intervensi apa pun saat itu. Bahkan pemeriksaan berjalan mudah karena Syaiful tak berusaha menutupi perbuatannya sama sekali. Itu membantu majelis memvonis mereka bersalah.
Bagaimana jika ternyata benar Abdullah tak berdosa?
Sejauh ada bukti baru yang mencukupi bahwa Abdullah tak terlibat, ya, wajar jika ia dibebaskan, walaupun saya yakin keputusan yang kami buat dulu dilandasi cukup bukti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini