ANG Kim Soei tampak menggeleng-gelengkan kepala saat ketua majelis hakim Hatta Ali menyatakan pidana mati. Serasa menyentak suara palu yang dijatuhkan. Roman muka pemilik dua pabrik penyulingan ekstasi itu tampak memerah.
Tak ada komentar apa pun saat hakim menanyakan apakah terdakwa akan banding, pikir-pikir, atau menerima putusan. Dengan gerakan tangannya, Kim Soei hanya mengangkat bahu sambil menunjuk ke arah kuasa hukumnya, Syahrizal E. Damanik. Mewakili terdakwa, Damanik menyatakan banding terhadap putusan tersebut.
Kim Soei diadili karena tudingan memproduksi ekstasi melalui dua pabrik yang dimilikinya?keduanya di Tangerang.
Wajah Ang Kim Soei, 50 tahun, memang sudah tegang sejak pembacaan putusan setebal lebih-kurang 200 halaman oleh dua anggota majelis hakim, Gatot Supramono dan Wahyu Sektianingsih, secara bergantian. Sidang awal pekan lalu itu berlangsung selama empat jam, sejak pukul sembilan pagi. Kim Soei, yang mengenakan kemeja putih serta celana panjang hitam, sesekali bertopang dagu. Sorot matanya tak lepas ke arah majelis hakim.
Di luar gedung pengadilan, ratusan orang dari Gerakan Anti Narkotika (Granat), Gerakan Rakyat Anti Madat (Geram), dan Solidaritas Masyarakat Islam Tangerang berunjuk rasa menuntut agar "Raja Ekstasi" itu dihukum mati. Kesenian barongsai pun digelar memeriahkan suasana.
Sidang dijaga ketat dua kompi polisi dari Kepolisian Resor Tangerang dan Kepolisian Sektor Kota Tangerang. Polisi memeriksa dan menahan kartu identitas setiap pengunjung, termasuk wartawan, yang masuk ke area persidangan. Sepanjang pagar depan gedung pengadilan diberi pembatas garis polisi berwarna kuning. Sejak malam, gedung itu dan rumah ketua majelis hakim dijaga polisi. Paginya, Tim Gegana Kepolisian Daerah Metro Jaya memeriksa setiap sudut ruang sidang dan halaman pengadilan.
Penjagaan dan suasana sidang yang riuh-rendah itu beralasan. Oleh hakim, Kim Soei dinilai bersalah tanpa hak dan melawan hukum memproduksi secara terorganisasi, memiliki, menyimpan, dan mengedarkan ribuan butir pil ekstasi hingga ke Cina, Malaysia, Singapura, dan Amerika Serikat. Pabrik ekstasinya merupakan pabrik terbesar yang pernah dibongkar polisi Indonesia. Kim Soei bisa dikatakan "Raja Ekstasi".
Kim Soei, yang punya banyak nama alias seperti Kim Ho, Ance Tahir, dan Tommy Wijaya, dinyatakan terbukti melanggar undang-undang psikotropik. Vonis mati oleh majelis hakim sama dengan tuntutan jaksa yang diketuai Roskanedi.
Raja Ekstasi itu telah dinyatakan jadi buron sejak mencuatnya kasus kepemilikan bahan ekstasi di Kreo, Ciledug, pada 1998, yang melibatkan seorang bandar bernama Burhan Tahar.
Pada 6 April 2002, Kiem Soei ditangkap oleh tim gabungan Markas Besar Kepolisian RI di Hotel Borobudur, Jakarta. Melalui sebuah penggerebekan, polisi menyita 155.300 gram bubuk bahan ekstasi, 8.410 butir pil ekstasi siap edar, dan uang bernilai total Rp 2,2 miliar. Juga dua telepon genggam merek Nokia, dua buku panduan membuat ekstasi, serta satu buah paspor Belanda milik terdakwa.
Hampir bersamaan dengan penangkapan itu, pabrik yang dimiliki Kim Soei di Tangerang terbongkar. Dalam penggerebekan ke pabrik tersebut, polisi menyita barang bukti 10 ribu butir ekstasi yang baru diproduksi. Bahan baku ekstasi yang diperkirakan dapat menghasilkan satu juta butir juga disita.
Ekstasi yang diproduksi oleh pabrik ini termasuk kelas satu karena mengandung methylenedioxymethamphetamine. Alat-alat pembuat pil ekstasi, dari mesin pencampur, blower, hingga pencetak serta alat penghitung pil, juga disita dalam penggerebekan.
Sebenarnya pabrik milik Kim Soei dari luar tampak seperti rumah biasa. Tapi di dalamnya ada ruang khusus: untuk mencampur bahan dan pewarnaan, pengepresan atau pencetakan ekstasi, pengeringan, serta penghitungan. Dindingnya pun berlapis karpet kedap suara. Gudang-gudang penyimpan bahan serta hasil produksi tertata dengan rapi.
Dalam persidangan, Kim Soei sendiri membantah semua tudingan. Menurut Syahrizal E. Damanik, kuasa hukumnya, Kim Soei mengajukan banding karena pertimbangan-pertimbangan pihak Kim Soei tidak pernah didengar oleh majelis hakim selama proses persidangan. "Tidak ada fakta dan bukti bahwa klien kami pemilik pabrik ekstasi," kata Damanik, "Apalagi keterangan terdakwa dalam persidangan menyebut adanya tekanan dalam pemeriksaan polisi: 'Jika tidak mengaku, saya mau didor'."
Dalam pembelaannya, Damanik juga menyatakan dakwaan jaksa error in persona (salah tangkap). Hal itu didasari pada ciri-ciri yang disebarkan Markas Besar Polri. Menurut selebaran itu, sang buron bernama Kim Ho, warga negara Taiwan, dengan tinggi 160 sentimeter, bermata sipit, dan berambut lurus. Sedangkan Kim Soei, selain tingginya lebih dari 160 sentimeter dan bermata bundar, adalah warga negara Belanda. Tapi polisi juga menemukan Kim Soei memegang kartu tanda penduduk Indonesia atas nama Tommy Wijaya yang dikeluarkan di Fakfak, Papua.
Kim Soei merupakan terdakwa ke-20 yang divonis mati di Pengadilan Negeri Tangerang. Pengadilan ini merupakan momok bagi pengedar heroin, kokain, serta psikotropik. Di sinilah Franola alias Ola, terdakwa kasus 3,6 kilogram heroin, dijatuhi hukuman mati pula. Selain Ola?yang sedang menunggu grasi presiden?kebanyakan terdakwa adalah warga negara asing.
Sampai saat ini memang belum satu pun dari mereka dieksekusi. "Karena masih ada upaya hukum yang bisa ditempuh, seperti banding, kasasi, dan peninjauan kembali," kata Ade Komarudin, juru bicara pengadilan itu. Kalau semua upaya hukum itu sudah ditempuh, termasuk kemungkinan grasi, menurut Ade, dan putusan sudah punya kekuatan hukum yang tetap, hukuman mati pun akan dilaksanakan.
Ardi Bramantyo, Ayu Cipta (Tangerang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini