Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Getir yang Tersisa

19 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI rumah panggung itu, Asmani sering berangan-angan. Kalaulah suaminya, Abdullah bin Andah, kelak bebas dari penjara, dia akan pindah dari Blang Peuria, Geudong, Aceh Utara. Tak jelas mereka bakal pindah ke mana. Dalam bayangannya, itu sebuah kota yang bisa menghapus jejak hidupnya yang kelam. Sebuah kota yang disebut perempuan itu sebagai tempat "mulai hidup yang baru". Bagi Asmani, Blang Peuria memang penuh dengan kenangan getir. Empat belas tahun yang lalu, pembunuhan bocah Heriana Syuhada menggegerkan kampung kecil yang dibelah aliran sungai itu. Suatu malam, Abdullah tiba-tiba saja dijemput polisi. Bersama puluhan warga lainnya, dia diperiksa di Markas Kepolisian Resor Aceh Utara. Polisi menjaring keterangan dari siapa saja untuk mengungkap aksi keji itu. Abdullah memang belum ditahan, tapi dia pulang dengan babak-belur. "Saya lihat wajahnya bengkak dan rusuknya patah," Asmani mengenang. Kemudian terungkap, si pembunuh adalah Syaiful Bahri. Pemuda tanggung itu adalah tetangga depan rumah Abdullah. Ayah Syaiful, Teungku Sulaiman, adalah bos tempat Abdullah bekerja sebagai kernet truk. Baru sebulan bebas, Abdullah dijemput polisi lagi. Dia dituduh turut membantu Syaiful dalam perbuatan laknat itu. Di pengadilan, Asmani, yang percaya suaminya tak bersalah, nyaris pingsan saat hakim memvonis Abdullah penjara seumur hidup. Patah sudah tiang keluarga miskin itu. Sebelumnya, sebagai kernet truk, Abdullah memberi makan tiga perut: Asmani, anak lelaki mereka bernama Nasrul Hadi, dan mertuanya, Fatimah. Sejak itulah Asmani harus membesarkan Nasrul, yang baru berumur empat bulan ketika ayahnya masuk bui, dengan penuh lara. Untuk bertahan hidup, perempuan itu menjadi babu cuci. Upahnya tak seberapa. Paling banter sebulan dia beroleh Rp 150 ribu. Duit sebegitu tentu kalah bersaing dengan harga-harga yang melayang tinggi. Kekurangan itu diganjalnya dengan menjadi buruh tani. Hasilnya memang tak banyak. Setiap panen, dia mendapat jatah beras. "Cukuplah untuk makan tiga bulan," katanya lagi. Kemiskinan seakan menjadi kutukan mereka. Lihatlah ruang tamu rumahnya. Di sana nyaris tak ada perabot yang baik. Satu rongsokan televisi hitam-putih teronggok di lantai. Sebuah mesin jahit rusak kini beralih tugas menjadi meja sudut. Jendelanya tak berdaun, kecuali jeruji besi sebagai pengaman. Lantai papan rumah panggung itu pun telah renggang. Siapa pun leluasa mengintip tanah di bawah sana. Sudah begitu, rumah tua itu bukan berdiri di atas tanah miliknya. "Kami menumpang di atas tanah seorang kerabat," ujar Asmani. Yang paling membuat dia cemas adalah Nasrul Hadi. Anaknya itu kini duduk di kelas satu SMP. Tubuhnya kurus dan rawan penyakit. Daya ingatnya lemah. Kemampuan belajarnya juga kurang. Dia sempat tinggal kelas sewaktu sekolah dasar. Sering anak itu cuma termenung-menung. Penyebabnya, kata Asmani, "Dia selalu ingin bertemu ayahnya." Tapi, itulah soalnya. Sejak dipindah ke Penjara Tanjung Gusta, Medan, pada 1994, mereka tak lagi bisa sering membesuk Abdullah. Jaraknya terlampau jauh untuk ukuran kantong mereka, sekitar 300 kilometer dari Blang Peuria. Sejak itu hubungan mereka terputus. Padahal, ketika Abdullah masih dibui di Lhokseumawe, Asmani dan Nasrul sedikitnya melawat seminggu dua kali. Di Penjara Tanjung Gusta, mereka baru bertemu Abdullah dua kali. Pertama tahun 1993, dan kedua tahun lalu. Kunjungan terakhir itu pun karena desakan Nasrul. "Ongkos bus ke sana mahal sekali," kata Asmani. Bagi perempuan itu, cobaan hidup makin berat saja ketika warga sekitar memberi cap mereka sebagai keluarga pembunuh. Lebih berat lagi, mereka harus hidup bertetangga dengan Toke Nurdin, ayah bocah yang mati dibunuh itu. Tak tahan omongan orang, keluarga Teungku Sulaiman, ayah Syaiful Bahri, telah lama pindah sejak tragedi itu terjadi. Tak punya pilihan, Asmani masih bertahan di situ. Untunglah, meski awalnya sulit sekali merajut kembali hubungan antartetangga, kini keluarga korban sudah lebih berlapang dada menerimanya. Asmani mau pindah ke mana saja asalkan hidup lebih baik. Tapi suaminya punya rencana lain. Abdullah justru ingin bertahan di Blang Peuria. Kepada Bambang Soedjiartono dari TEMPO, yang menemuinya di penjara, ia menyatakan tak ingin lagi menjadi kernet. Kalau bebas, dia mau bertani saja di desanya. "Saya ingin menghapus fitnah di kampung," ujarnya. Nezar Patria, Zainal Bakri (Lhokseumawe)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus