BAGI Hadi Siswanto, 45 tahun, sehari-hari melihat Indrawati bermesraan dengan Madekur bukan hal aneh. Namun, ketika Senin dua pekan lalu ia memergoki kedua insan itu berintim-intiman, darahnya kontan mendidih. Setelah terbatas dengan percekcokan mulut, lalu ia mendaratkan tamparannya ke pipi Indrawati. Tak tahan diperlakukan kasar, perempuan itu lari ke dalam kamarnya. Hadi rupanya sudah kalap. Ia mengejar sembari menakut-nakuti dengan palu dan obeng. Madekur, yang menyaksikan kekasaran itu, memutuskan untuk tidak tinggal diam. Dilihatnya di kamar itu ada teronggok kunci Inggris. Tanpa pikir panjang, besi yang dijangkaunya itu kemudian diayunkan ke tubuh Hadi. Dalam keadaan sekarat itu, Medukur mengambil seutas kabel. Lalu "rttt". Dan melayanglah nyawa Hadi. Kemudian, tubuh yang sudah tak bernyawa itu diselimutinya dengan kain. Semula ada niat mayat itu mau dibuang ke laut, tapi dibatalkan. Setelah itu Madekur, yang sama sekali tak gugup, bersama Indrawati sepakat menyerahkan diri ke polisi. Pemuda yang sehari-hari tampak lembut itu memang bukan tukang jagal. Tapi, sejak hari itu, ia terpaksa jadi tahanan Polsek Sawahan, Surabaya. Tindakan kekerasan yang ia lakukan itu, katanya, karena terpaksa. "Soalnya, In dan saya diancam akan dibunuh," tutur Madekur. Semua itu berawal dari perjalanan cinta yang aneh antara Hadi, Madekur, dan Indrawati. Bermula dari pertemuan tak sengaja antara Madekur dan Hadi delapan bulan lalu. Ketika itu Madekur -- asal Dukuh Krangkangan, Umbulsari, Jember bekerja di sebuah pabrik sepatu, di samping menarik becak. Oleh Hadi, Madekur ditawari kerja di sebuah salon. Kesempatan itu tentu langsung disambarnya. Ia dijanjikan honor Rp 100 ribu per bulan. Ini jelas jauh lebih menggiurkan ketimbang yang diperoleh sebelumnya. Madekur lalu bekerja di salon "Aldiron" yang dikelola Hadi dan Indrawati -- biarpun bukan sebagai pemangkas rambut. Ia mengurus kebersihan salon, mencuci piring, ngepel, dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Lulusan SMEA Tanggul, Jember, itu makin betah saja karena sering mendapat tip. Rupanya, semua kebaikan yang diberikan Hadi ada pamrihnya. Lelaki itu sudah lama "tertarik" pada pemuda bertubuh tinggi dan berkulit kuning itu. Pucuk dicinta ulam tiba. Madekur, hmm, juga menerima dengan tangan terbuka. Resmilah mereka sebagai teman kencan apalagi setelah Madekur boyong ke rumah yang sekaligus jadi tempat usahanya. Mereka semakin leluasa. "Seminggu bisa lebih dari empat kali," kata Madekur. "Kadang pagi, siang, atau malam." Eh, belakangan Indrawati, yang sudah lama "menjanda", juga jatuh hati pada Madekur. Dan hubungan itu memang diketahui Hadi. "Kami saling tertarik dan suka sama suka," ujar pemuda 24 tahun itu. Sudah bisa ditebak permainan macam apa yang terjadi antara mereka. Biasanya, setelah Madekur melayani Indrawati, ganti Hadi minta dilayani. Sebenarnya, Hadi tak rela "berbagi kasih" dengan Indrawati, kendati mereka sebenarnya berstatus suami istri. Menurut sebuah sumber, beberapa tahun lalu Indrawati mengalami "kecelakaan" akibat hubungan akrabnya dengan seseorang. Lalu diambil jalan tengah. Hadi kawin dengan Indrawati, yang kini punya seorang anak berusia 18 tahun. Sebagai imbalannya, mereka memperoleh sebuah rumah cukup besar. Belakangan rumah tersebut dijual dan uangnya dibelikan rumah yang lebih kecil. Lalu dijual lagi dan hasilnya dibagi dua. Indrawati membuka usaha salon, sementara Hadi mendepositokan uangnya di bank. Mereka tetap berkumpul dan bersama-sama mengelola salon itu. Lalu datanglah Madekur. Sebelum kejadian itu, beberapa kali Hadi agak emosi bila melihat Madekur bercengkerama dengan Indrawati. "Saya dianggapnya terlalu mesra," kata Madekur. Kemarahan Hadi biasanya hanya sebentar. Tetapi hingga timbul rencana yang kemungkinan tak bisa diterima Hadi, sebenarnya Madekur dan Indrawati berniat untuk menikah secara resmi tahun depan. Kendati, sepintas lalu Hadi ikut menyokong rencana itu, bisa jadi hati kecil lelaki yang dikenal tetangganya sebagai homo itu tak rela. Indrawati, 43 tahun, yang ditemui TEMPO menolak berkomentar. "Semua ini sudah takdir," katanya. Yusroni Henridewanto (Jakarta) & Wahyu M. (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini