HANYA sekali pukul, Haji Unan, 50 tahun, tersungkur ke lantai. Ketika akan bangkit kembali, sepasang tangan kekar mencengkeram lehernya dengan ketat. Kraaak .... Petani tua itu menggeliat. Lalu diam. Ia tak lagi berkutik. Meninggal. Tetapi mayatnya yang sudah dikubur empat hari itu pada 4 Desemher lalu tepaksa digali. "Keluarganya yang melaporkan bahwa kematian Haji Unan itu berlatar tak wajar," kata Kapolres Bandung, Letkol. Pandji Atmasudirdja. Walau tubuh ayah tujuh anak itu mulai membusuk, dokter yang mengambil visumnya masih mengenal tanda bekas keluar darah dari mulutnya. Leher bekas cekikan masih membekas biru. Mayat Unan ditemukan sore hari, 1 Desember lalu, oleh kemanakannya, Tuti, 77 tahun. Rumah berlantai tembok yang biliknya berdinding bambu itu tampak sunyi. Pintunya terkunci. Ketika ibu seorang anak itu ke belakang rumah, tampak Agus Juana, 27 tahun, baru pulang dari kebun. "Pintu dikunci dari dalam," seru Agus, anak Haji Unan. Pintu akhirnya dibuka dengan cara mencongkel kuncinya. Alangkah terkejutnya Tuti. Tubuh Unan dilihatnya telentang di lantai, tak bernyawa. Sementara itu, Agus juga menghambur ke dalam. Ia tak hanya menangis. Malah meraung-raung sambil memeluk jasad ayahnya. Hajah Sarah, 50 tahun, istri Unan, yang datang kemudian, begitu melihat mayat suaminya ia langsung pingsan. Keluarga petani yang sederhana itu memang tak curiga pada kematian yang membikin mereka panik di senja itu. "Kami jadi gugup semua," kata Hajah Sarah. Tetapi setelah reda, ia lalu ingat bahwa suaminya selama ini memang sakit-sakitan. Karena itu malam itu juga mayat Unan dimandikan dan pagi besok dikubur. Lain bagi Tuti, yang pertama kali menaruh curiga. "Ketika saya raba, mulut dan telinga mayat Paman mengeluarkan darah," ujar Tuti hati-hati. Semula, kecurigaannya itu tak dipersoalkan. Rupanya, beberapa familinya juga menemukan kejanggalan yang sama pada mayat itu. Akhirnya, mereka sepakat melaporkan kematian Unan kepada polisi. Lalu kubur Unan digali. Polisi juga beralibi bahwa Unan dibunuh. "Meski visum dokter belum keluar, tanda-tanda yang mencurigakan seperti dilaporkan keluarga korban masih jelas terlihat," ujar Letkol. Pandji. Tak sulit rupanya polisi melacak si pembunuh. Agus, yang dikenal berandal karena pernah berurusan dengan polisi gara-gara perkelahian di kampungnya, segera ditangkap. Di depan polisi, pemuda yang baru menikah setahun lalu itu kemudian berterus terang. "Saya kesal," katanya. "Minta uang Rp 50 ribu saja, Ayah malah menendang saya. Padahal, uang itu untuk keperluan selamatan istri saya, yang sedang hamil 7 bulan." Ia, katanya, mengaku "tak sengaja" membunuh ayahnya. "Aduh, Pak, saya kira Ayah cuma pingsan. Karena itu, ia saya biarkan begitu saja," kilah Agus pada pemeriksanya di Polres Bandung. Penduduk Rancamanyar, Kabupaten Bandung, itu selesai menghabisi ayahnya lalu membiarkan mayatnya di dalam rumah, setelah pintu dikuncinya dari dalam. Desakan agar Agus ditangkap juga datang dari keluarganya. Anak ketiga dari tujuh bersaudara itu sering memeras ayahnya. "Ia sering mengancam akan membunuh kalau permintaannya tidak dikabulkan," kata Hajah Mimin, 47 tahun, adik Unan. Gara-gara tingkah anaknya itu Unan menderita tekanan batin. Apalagi setelah penganggur itu makin senang berjudi dan mabuk. "Aku malu melihat kelakuannya. Padahal, aku ini dikenal aktivis masjid," keluh Unan kepada Mimin, sebelum ajalnya. Semula, Unan disangka meninggal memang karena serangan jantung. Tetapi firasat itu sebenarnya sudah ia cetuskan sebulan sebelum kematian di tangan anaknya. Pengurus Dewan Kemakmuran Masjid itu mimpi dikejar-kejar Agus, lalu baru dibunuh. "Bagaimana jika mimpi itu jadi kenyataan?" tanya Unan pada Mimin. Pekan lalu ia benar dihabisi Agus -- yang oleh orang-orang kampungnya kini ia disebut anak durhaka. Hasan Syukur & Riza Sofyat (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini