SEMUA yakin, ketika itu, bahwa Maskut dan 20 orang lainnya akhirnya akan sampai juga di Kuwait untuk menjadi pelaut. Semua persyaratan, termasuk paspor dan buku pelaut, sudah diurus. Tiket pesawat pun sudah di tangan. Maka, ketika keluarga dan handai tolan mengantar ke bandar Halim Perdanakusuma, Jakarta, suasana penuh kegembiraan. Harapan bisa mengais dolar di negeri kaya minyak, agaknya, tak bakal luput lagi dari gengaman ketika pesawat UTA, Prancis, yang ditumpangi Maskut dan kawan-kawannya mengudara. Setelah terbang sekitar satu jam, mereka akhirnya memang sampai di negeri orang Bukan di Kuwait, tapi di Singapura. Di sana mereka telantar dan kocar-kacir. Yanto, petugas dari PT Marisco Graha Pratama (PT MGP) yang mengantar, kabur begitu saja. Tapi direktur PT itu Supii Supardi, 48, kini sedang diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Ia didakwa menipu 21 calon tenaga kerja itu, dengan janji akan dipekerjakan sebagai pelaut setelah menyetor Rp 400.000-Rp 600.000 per orang. Ketika itu, sekitar Agustus 1983 sampai Januari 1984, para pencari kerja tak ada yang menaruh curiga. Kantor PT MGP di Sangga Buana Building, Jakarta Pusat, meski kecil, kelihatan cukup rapi. Apalagi Sapii berstatus karyawan Pertamina di bagian operasi kapal tanker, Jalan Medan Merdeka Timur. Mereka pikir, wajar bila Sapii tahu bahwa kapal tanker di Kuwait sana membutuhkan tenaga. Para calon pelaut pun mulai mendaftar dan membayar. Maskut, 38, misalnya, membayar Rp 600.000 hasil meminjam kiri kanan. Mochamad Syafei, 24, dan Abubakar, 31, pun membayar sejumlah itu. Nasirin, 24, dikenai Rp 400.000, sedangkan Abas bin Matamen, 23, dimintai Rp 550.000. Ongkos sebegitu dikatakan untuk tiket pesawat dan sekadar uang jasa. Sedangkan paspor, buku pelaut, dan urusan yang lain mesti diurus sendiri oleh yang bersangkutan. Meski tak diberitahu berapa gaji bekerja di kapal di Kuwait, Maskut, yang sudah cukup lama menganggur, tertarik mengadu nasib. Kebetulan ia dulu pernah bekerja di kapal, hingga tawaran yang disodorkan Sapii dinilai cocok. Ia menyetor uang kepada Sapii di rumahnya, di Tanjung Priok, dan ketika itu dijanjikan bisa berangkat Agustus 1983. "Sampai tiga kali rencana keberangkatan tertunda" ujar ayah satu anak bertubuh kurus tinggi itu, di rumahnya di Kelurahan Lagoa, Jakarta Utara. Baru pada 17 Januari lalu, ia bersama 20 kawannya betul-betul bisa berangkat, naik pesawat UTA. Tapi, ternyata, hanya sampai Singapura. Ketika itu Yanto, yang mengantarkan, menyatakan bahwa di Singapura mereka hanya singgah. Mereka menginap di hotel Dis Caroot, selama tiga hari. Semua percaya karena selain Yanto, ada petugas-lain dari PT MGP bernama Markus, yang sering muncul di hotel. Tapi pada hari ketiga, para calon pelaut itu mulai sadar bahwa mereka telah tertipu. Markus, misalnya, mengatakan bahwa untuk sementara mereka belum bisa ke Kuwait karena kiriman uang dari Sapii belum datang. "Dia hampir saya hajar," ujar Maskut. Dan sebelum suasana berkembang jauh, Markus dan Yanto raib dari hotel, dan tak pernah kembali lagi. Ke-21 calon pelaut itu pun jadi seperti ayam kehilangan induk. Mereka check out dari hotel, karena tak ada lagi yang membayari. "Selama menginap di situ pun kami makan bayar sendiri," ujar Abdul Hamid, 45. Masih untung, ia bersama Maskut pernah berpengalaman hidup di negeri orang. Dan di Singapura ada kenalan yang bisa di hubungi. "Yang lain entah ke mana. Pokoknya, kami menyelamatkan diri dengan cara masing-masing," kata Maskut. Gagal ke Kuwait, mereka sebenarnya masih ingin mengadu nasib di negeri itu. Apa mau dikata, rupanya tak mudah mencari kerja di sana. Tambahan lagi, visa mereka sudah habis. Maka, setelah mendapat pinjaman dan sumbangan dari beberapa kenalan, Maskut dan Hamid pulang ke Jakarta. Beberapa rekan mereka diketahui sudah kembali ke Jakarta dan mengadu ke pihak berwajib. Tapi, yang lain tidak diketahui nasibnya. Karena pengaduan itu, awal April lalu Sapii ditangkap polisi dan sebulan kemudian mendapat SK pemecatan sebagai karyawan Pertamina. Dalam sidang pekan lalu, Sapii muncul bersandal jepit. Pakaian yang dikenakannya lusuh, jauh dari gambaran seorang direktur. Ia juga tampak tak menguasai seluk beluk dlunia usaha dan manajemen. Perusahaannya, yang dikatakannya bergerak dalam bidang biro jasa, diakui belum mendapat izin Departemen Tenaga Kerja sebagai penyalur tenaga kerja. PT MGP juga belum mempunyai izin usaha. "Tuntutan saya sekarang hanya satu: uang dikembalikan," kata Maskut dengan nada kesal. Abdul Hamid sendiri tampak pasrah. Ayah tiga anak itu agaknya sadar, uang tak bakal bisa kembali lagi. Tinggallah ia pusing memikirkan cara mengembalikan uang Rp 600.000 yang dipinjamnya dulu dari kenalan dan kerabatnya, sementara kini dia tetap menganggur. Sapii mengaku kepada TEMPO, dari 21 orang itu ia mengantungi Rp 8,5 juta. Hanya, katanya, uang itu tak dimakan sendiri. Di PT MGP, yang didirikan pada Agustus 1983, ada lagi orang-orang lagi yang berperan. Imam Sapii sebagai dirut, sedangkan Markus dan Yanto yang membawahkan bidang operasi. Keduanya tak diketahui berada di mana sekarang. Markus, yang bermata sipit dan punya banyak nama, dikabarkan sering mondar-mandir Jakarta-Singapura dan masih terus mencari mangsa. Kata Sapii ide mengirimkan pelaut ke Kuwait memang datang dari Markus. Tapi Sapii pun tampaknya tak bisa lolos dari jaring hukum. Kuitansi sebagai tanda bukti penerimaan dari para korban jelas-jelas dia yang menandatangani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini