Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Zakat 2,5% atau 20%

Zakat harta seharusnya 20% sebagai tercantum dalam ayat alqur'an. zakat semacam ini dikenal dengan sebutan khumus.(ag)

30 Juni 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ZAKAT harta itu seharusnya 20%. Bukan 2 1/2%. Ini pendapat Dr. Amien Rais, dosen Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogya, yang juga dikenal sebagai tokoh muda Muhammadiyah. Sudah cukup lama Amien melakukan kampanye untuk itu - terakhir dalam khotbah Jumat di Masjid Syuhada, Yogya, pertengahan Juni. "Dua setengah persen itu terlalu sedikit," Amin berkata, "lagi pula tidak ada disebut dalam Alquran." Yang disebut, memang, pengeluaran yang seperlima itu - yakni dalam Surah Al-Anfal, yang mengemukakan soal harta rampasan perang. Jadi, Amien memakai ayat perang (dalam kondisi abad VII Masehi) itu untuk zakat bagi penghasilan kita sehari-hari. Tapi ada logikanya. Bila kepada orang yang berperang saja dikenakan 1/5, apalagi kepada kita, yang tidak menyabung nyawa. Lebih-lebih, ketentuan 1/5 ini bukan bagi setiap orang. Amien menyebut-nyebut jenis-jenis profesi tertentu sebagai contoh: dokter spesialis, konsultan, dosen tukang seminar, pengusaha besar, misalnya, orang-orang yang selalu mendapat "durian runtuh". Paham seperti itu memang terdengar unik - hampir tak pernah disebut dalam fiqh kita. Berbeda dengan di Iran di sana memang ada pungutan kepada kaum Muslimin yang dikenal sebagai khumus (perlimaan). Itu juga diambilkan dari Surah Al-Anfal tadi. Yakni porsi yang dahul diserahkan kepad Nabi dan digunakan untuk - menurut bunyi ayat "Allah dan Rasul karib kerabat (Nabi), para yatim, para miskin, dan ibnu sabil." Ditentukannya Rasul dan karib kerabat adalah karena Rasul tak punya penghasilan tetap, sedangkan mereka itu mencurahkan perhatian dalam perjuangan agama. Lebih-lebih, Nabi melarang keluarga besarnya menerima zakat. Tetapi Khalifah Abubakar kemudian menghapuskan porsi untuk keluarga Nabi itu - dan memakainya untuk pembiayaan persenjataan. Inilah yang kemudian tinggal di dalam fiqh Suni. Sebaliknya, di dalam Syiah khumus tetap lestari, dan diserahkan ke dalam pengurusan para imam atau ayatullah yang nota bene keturunan Nabi. Pengertian khumus sendiri kemudian berkembang: tidak hanya, atau bukan lagi, rampasan perang. "Khumus itu hanya menyangkut harta rampasan perang waktu itu," kata Buya Harun Al-Ma'any, 79, anggota pengurus Yayasan Dana Sosial Islam Sumatera Barat di Padang. Tapi inilah pendapat para ulama fiqh Suni. Dan ini pun cerminan fiqh lama. Sebab, memang ada yang "baru" - dan Amien Rais itu salah satu eksponennya. Memang, hanya sembilan hari setelah wawancaranya dengan TEMPO, doktor lulusan Chicago ini memperbaiki kesimpulannya yang sudah dua tahun didakwahkannya itu. "Setelah membaca beberapa kitab," katanya "saya menemukan, ternyata khumus itu merupakan bagian dari infaq." Infaq, dalam kategorilsasi fiqh Suni, adalah penyerahan harta di luar zakat. "Dan itu bisa sewaktu-waktu" - meskipun lebih praktis kalau dilakukan setiap mendapat "rezeki nomplok". Amien Rais dibenarkan oleh, jangan lupa, K.H. A.R. Fakhruddin, ketua PP Muhammadiyah. Hanya, kiai yang secara periodik muncul di TVRI Yogya ini tak mengambil sumber dari ayat perang. Melainkan melakukan analogi (qias) dengan rikaz, harta karun, dan luqathah, barang temuan. Hadis memang menentukan zakat 20% untuk dua jenis harta itu, setiap kali diterima. Contoh dari harta itu adalah warisan - tapi juga "harta yang didapat dengan sangat gampang". Bagi pemilik harta itu, "Khumus itu wajib. Dan itu tak usah disangkutpautkan dengan Iran segala." Jadi, ada zakat, ada khumus. Dan ternyata Fakhruddin dan Amien hanyalah sebagian dari "jamaah khumus". Ustad Muhammad Bagir, ulama yang punya pengajian cukup besar di Bandung, dan bukan dari Muhammadiyah, juga bermazhab khumus. Malah, ia menuturkan adanya enam atau tujuh orang yang, "Menjalankan khumus mulai awal tahun ini." Yakni yang mengintegrasikan khumus dengan zakat, hampir sama dengan yang di Iran itu. Begitu juga Drs. Abidullah A. Djunaedy, sarjana ekonomi Universitas Muhammadiyah, Solo. Ia menyatakan, di sekitarnya ada sekitar sepuluh pedagang yang sekarang membayar khumus. Abidullah, yang juga lulus dari program post graduate diploma di Universitas Glasgow, Inggris, menambahkan contoh harta yang harus dikeluarkan khumus-nya: harta yang dikhawatirkan tercampur dengan unsur haram. Jangan lupa, di Yogya sendiri Amien Rais tak sendirian. Ada Drs. Saifullah Mahyuddin, M.A., dosen Fispol UGM dan UII. Amien menyebut, di lingkungannya yang melaksanakan khumus itu, "Baru sekitar sepuluh orang." Termasuk Ahmad Azhar, M.A ahli fiqh di kalangan Muhammadiyah. Amien sendiri dulu mulai ber-khumus setelah ditantang seorang pedagang di Bogor, Yusuf namanya: kalau memang ikhlas dalam agama, beranikah menjalankan khumus? "Saya jalankan. Dan tiba-tiba hidup saya menjadi tenang sekali. Saya merasa terlepas dari beban." Itu kelihatan seperti pencerminan kegelisahan sebagian kalangan muda Islam - dalam hal penerapan ajaran agama yang menyangkut, sebagai yang sering diulang-ulang oleh Amien dan yang lain-lain, soal keadilan sosial. "Tak adil bila orang kaya hanya berzakat 2 1/2%," kata Amien, "apalagi yang tidak sama sekali." Gairah itu, di kalangan sebagian intelektual, sebenarnya sudah sejak sekitar 1980 terdengar. Ajip Rosidi, bekas ketua Dewan Kesenian Jakarta, rasanya orang yang pertama mengaku memotong 2 1/2% dari semua pemasukannya, termasuk gaji, setiap bulan, sebagai zakat yang disimpan di bank - dan mengeluarkannya pada akhir tahun. Padahal gaji dalam kitab zakat di pesantren atau madrasah mana pun, tak wajib dizakati. DI Padang ada pula Dr. Mochtar Naim, dosen Fakultas Sastra Universitas Andalas. Ia menjumlahkan per tahun semua honor mengajar, menulis, berseminar, atau dari proyek penelitian, semuanya, lalu memotongnya 2 1/2%. Dan ketika ia hadapkan itu kepada teman-temannya di Ujungpandang, ternyata Prof. Dr. Halide, ahli matematika dan ekonomi pertanian, sudah lebih dulu melakukannya - malah "kebiasaan itu sudah disebarluaskan". Karena itu, di Padang ia lemparkan masalah terutama kepada para dosen Fakultas Ekonomi dan Fakultas Sastra. Sebagian dari mereka lalu merelakan gajinya dipotong 2 1/2% tiap bulan, dan dihimpunkan oleh rekan yang mereka percayai. "Kami bisa membantu para pemuda miskin: membelikan becak, gerobak dorong, dan sebagainya," tuturnya. Begitu juga Drs. Nur Anas Jamil, dari IKIP Padang. Lalu, Departemen Agama pun mengeluarkan satu seri Pedoman Zakat, sembilan jilid tipis, sebagai proyek 1981/1982. Di situ, persis sejalan dengan semangat yang mudamuda, tim penulis yang diketuai K.H. Syukri Ghozali mengubah sama sekali ketentuan barang zakat dalam fiqh lama: dari hanya jenis-jenis penghasilan tertentu kepada semua usaha pencarian nafkah. Termasuk kolam renang, salon, bioskop, anggrek, ccngkih, ayam, kayu, gaji pegawai, semua - asal halal. Dan, dengan mengambil perbandingan dengan batas terendah (nishab) zakat pak tani (padi, khususnya), nishab harta yang harus dizakati itu menjadi hanya, gampangnya saJa, penghasilan orang yang tiap tahun menerima gaji 12 X Rp 100.000. Alias 94 gram emas zakatnya 2 1/2%. Itu baru semangat, dan konsep. Belum menyebar ke bawah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus