Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Daging Ayam Mbah Pardi

Rudy Ismanto, bayi berumur 3 bulan tewas, penuh dengan bekas gigitan yang dilakukan oleh Sumudi, ayahnya sendiri. Sumudi pernah menuntut ilmu pada seorang dukun.

15 Agustus 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH capek berlebaran sehari di Tangerang, Sumudi tertidur dengan nyenyak di samping istri dan anaknya Rudy Ismanto (3 bulan), di rumah mereka di Krukut, Jakarta Barat. Malam itu Sumudi bermimpi, bersama istrinya makan daging ayam rebus. Tetapi ketika bangun keesokan harinya, ternyata Rudy Ismanto, sudah tewas di dekat kedua orang tuanya. Beberapa bagian badan anak itu, seperti mata, zakar hilang. "Sejenak saya termenung memperhatikan tubuh anak saya yang telah meninggal, kemudian saya menangis bergolek-golek sampai pingsan," tutur Sumudi di tahanan Kodak Metro Jaya. Sumudi, sehari-harinya pekerja bangunan, diduga telah memakan bayinya sendiri. Mayat korban penuh bekas gigitan, dan semua luka terdapat di sebelah kiri bagian tubuhnya. "Sungguh mati saya melakukannya dalam keadaan tidak sadar, dalam mimpi," kata Sumudi, dengan wajah kusut, kepada TEMPO di tahanan. Berulang-ulang ia menekankan perasaan tidak bersalahnya, "karena setahu saya, saya makan daging ayam yang sudah direbus -- sungguh mati," katanya. Ia tidak tahu bagian mana saja dari anaknya yang luka akibat gigitan, bahkan tidak ingat apakah mulutnya berdarah atau tidak ketika bangun pagi harinya. Di balik wajahnya yang cekung dan kurus, Sumudi menahan sedu sedan dan keluhannya, "saya sedih sekali," ujarnya. Ia mengaku menyesal, terutama karena peristiwa itu diduga karena sebelumnya ia pernah menuntut "ilmu" pada seorang dukun, mBah Pardi, di kampungnya Purwodadi (Ja-Teng) pada Lebaran tahun lalu. Niatnya meminta "ilmu" itu, menurut Sumudi, agar disenangi oleh mandor tempat ia bekerja. Mbah Pardi memberi Sumudi sebuah jimat berupa ikat pinggang yang terbuat dari kain putih. Di dalam ikat pinggang itu ada kertas putih yang bertuliskan huruf Arab dengan tinta merah. Jimat itu dipakainya ke mana-mana, kecuali waktu tidur, buang air kecil atau besar. Tidak ada syarat-syarat lain untuk jimat itu, kecuali Sumudi membayar Rp 500 seperti ditetapkan mBah Pardi yang hari-harinya petani. Menurut Sumudi, sepengetahuannya si pemberi jimat tidak mempunyai simpanan mahluk halus. "Setahu saya ia hanya memelihara ayam dan kerbau," ujar Sumudi. Sumudi membantah menuntut ilmu agar cepat kaya. "Semata-mata agar disenangi mandor saya, " katanya. Hasilnya? "Ya, ada juga sedikit," jawab laki-laki itu sedikit ragu. Karena itu saat ini ia ingin menemui mBah Pardi untuk melepaskan rasa sesalnya. "Karena, gara-gara jimat itu saya sekarang kena musibah," sesalnya. Ia mengaku semula tidak tahu ada risikonya menuntut "ilmu" serupa itu. "Kalau tahu akibatnya begini, saya tidak akan mau," katanya. Mbah Pardi sendiri saat ini tengah dalam perjalanan ke Jakarta atas panggilan Dan Satreserse Kodak Metro Jaya, Letkol Drs. Hindarto. Dukun itu akan dimintai keterangan sehubungan dengan pengakuan Sumudi yang menyebut-nyebut namanya. Drs. Hindarto tidak bisa menerima pengakuan "mimpi" dari Sumudi seperti yang diceritakan tersangka. Menurut Komandan Reserse ini, Ny. Tati, istri Sumudi, yang kini juga ditahan, tidak merasa memakan daging ayam malam itu dan juga tidak bermimpi. Ny. Tati yang ikut tidur mengapit anaknya dengan suaminya, baru terbangun pagi hannya tanpa sebelumnya mendengar jeritan atau tangis si anak. Untuk menguatkan pembuktian terjadinya pembunuhan oleh Sumudi, saat ini dr. Arief Budijanto darl Lembaga Kriminologi UI, sedang memeriksa kulit dan daging bekas gigitan di tubuh korban. Para dokter di Mabak juga tengah memeriksa cetakan gigi Sumudi, untuk dicocokkan dengan bekas gigitan yang ada. Hasil penyelidikan, "belum selesai," ujar dr. Arief Budijanto. Penelitian yang dilakukannya, menurut dr. Arief, perlu untuk pembuktian di pengadilan, walau Sumudi sudah mengakui perbuatannya. "Sumudi hanya mengaku makan daging ayam, sehingga ia tak mungkin mengubah pengakuan dipengadilan kelak, kalau gigitan pada tubuh anaknya ternyata berasal dari giginya," ungkap dr. Arief.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus