Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Maut di Sungai Blang Peuria

Kepala bocah sembilan tahun yang masih meronta itu dibenamkan ke sungai. Berkali-kali...

19 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HOROR masih menghantui Desa Blang Peuria, Geudong, Aceh Utara. Empat belas tahun silam? seperti diungkapkan sejumlah warga dan dokumen pengadilan?di tepi kali yang membelah kampung, seorang penduduk meloncat kaget ketika hendak buang hajat. Ia melihat tubuh seorang bocah lelaki menyembul di sela pohon nipah berduri. Keadaannya memilukan. Di pinggul si bocah yang tak lagi bernyawa, melilit seutas tali nilon dengan salah satu ujungnya terikat pada sebongkah batu. Mayat itu bernama Heriana Syuhada, anak cilik yang baru berumur sembilan tahun, yang dikabarkan hilang sejak sore hari pada 16 Mei 1989. Seluruh keluarga telah mencarinya ke mana-mana, tapi putra kelima dari enam anak Nurdin Ahmad, pemilik kilang padi Mutiara, itu raib seperti ditelan bumi. Keberadaan Heriana baru jelas menjelang tengah malam. Sepucuk surat ancaman diterima Toke (tauke?Red.) Nurdin. Bunyinya, "Anak Saudara ada sama kami, harap sediakan uang Rp 10 juta tepat jam 01.00 WIB dan letakkan di beton kepala jembatan lama, kalau tidak anak Saudara akan dipotong." Nurdin terkejut. Ini bukan ancaman yang pertama. Dua bulan sebelumnya, ia pernah menerima surat gelap serupa. Waktu itu, si pengirim minta duit Rp 2 juta. Kalau uang tak diberikan, kilang padinya bakal habis dilalap api. Tapi saat itu Nurdin tak ambil pusing. Dan kenyataannya itu memang hanya gertakan. Kali ini jelas lebih serius. Penculik menyandera anaknya. Nurdin lalu menulis surat balasan. Dia bilang tak punya duit sebanyak itu dan minta perpanjangan waktu selama 24 jam. Surat diletakkan di tempat yang diminta. Bersama lurah, dia lalu melakukan pengintaian. Tapi, sampai pagi, tak ada siapa pun yang muncul. DI tepi kali, seorang pemuda sedang gusar. Di hadapannya, Heriana terikat pada sebuah pohon ketapang. Dialah Syaiful Bahri. Umurnya baru 18 tahun. Dia masih duduk di kelas dua SMEA. Tapi aksinya nekat. Dialah yang menculik Heriana, tetangga dekat yang sehari-hari bergaul dengannya seperti kakak-adik. Semalam, duit tebusan Rp 10 juta tak jadi diambilnya. Padahal keinginannya punya sepeda motor begitu meluap. Sebelumnya, dia juga yang menulis surat ancaman akan membakar kilang padi Nurdin. Karena tak digubris, kini dia menculik anak Nurdin. Apa mau dikata, rencana kedua ini pun tak begitu sukses. Warga kampung telanjur geger. Dan Syaiful jadi ngeri mengambil uang di tempat yang dia tentukan. Lantaran sudah telanjur menculik, menurut pengakuan Syaiful kepada TEMPO, Syukri, seorang preman di pelabuhan Pusong yang berkomplot dengannya dalam aksi itu (versi pengadilan menyebut nama lain: Abdullah bin Andah), mendesak supaya anak itu dihabisi. "Kalau tidak, dia pasti melaporkan perbuatan kita," Syukri berbisik. Dan setan pun bersarang di kepala kedua orang itu. Syukri memegang tangan Heriana. Syaiful lalu membekapnya dengan baju. Belum cukup, mulut bocah yang tak lagi bisa menjerit itu mereka bogem berkali-kali. Heriana masih meronta. Syaiful pun mencekik lehernya dengan tali, sampai kedua tangan mungil itu menggapai-gapai. Tapi Heriana anak yang kuat. Ia masih terus bergerak. Tali dilepas. Kali ini giliran Syaiful yang memiting tangan bocah itu ke belakang, menjambak rambutnya, lalu menghantamkan kepala korban ke sebuah pokok ketapang. Berkali-kali. Heriana pun roboh. Tak puas, seperti sudah kerasukan, mereka melucuti Heriana sampai bugil. Syukri mengangkatnya ke tepi sungai. Dan Syaiful membenamkan kepala bocah itu. Tersedak, Heriana yang sekarat kembali meronta dan menggigit paha dan tangan Syaiful. Tapi itulah tenaganya yang terakhir. Setelah dengan buas Syaiful mencelupkan kepalanya lagi berkali-kali, Heriana pun terdiam. Untuk menghapus jejak, jasad Heriana mereka tenggelamkan ke dasar sungai. Baju dan celana korban mereka sembunyikan di sebuah liang sarang kerungkong (kepiting tanah?Red.). "Kami seperti ditikam dari dalam selimut," ujar Zainal Abidin, paman Heriana. Ayah dan ibu Heriana tak lagi sanggup melukiskan kesedihannya. Sampai kini, Toke Nurdin masih diguncang trauma, sedangkan istrinya jadi gila. Nezar Patria, Zainal Bakri (Lhokseumawe)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus