Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Keadilan Tak Jua Melirik Sengkon-Karta

19 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WARUNG mungil di Jalan Wijayakusuma, Perumnas I, Bekasi, itu tak kunjung buka. Padahal matahari sudah di atas ubun-ubun. Rak-rak di dalamnya juga kosong melompong. Hanya ada beberapa sabun cuci, dua toples permen murahan yang tinggal sejumput, serta kardus yang berserak di lantai. Berimpit dengan warung, di sepetak tanah seluas 90 meter persegi, keluarga almarhum Karta tinggal di sebuah rumah yang dulu dihibahkan pemerintah Bekasi?sebuah bangunan nyaris rubuh yang telah bocor di sana-sini, dengan lumut melapisi sebagian temboknya. Di sebuah siang yang terik pekan lalu, Dita Suntara, 27 tahun, salah satu anak Karta, terlelap di atas sofa lapuk di ruang tamu. Kakaknya, Karyadi, 30 tahun, hanya duduk termenung. Sedangkan ibunya, Sumarni, 65 tahun, sibuk menjemur pakaian di pekarangan depan. Tahun lalu kakak-adik itu terkena pemecatan dan kini menjadi tanggungan Sumarni, bini ketiga dari empat istri Karta. Di zaman paceklik begini, tak mudah bagi Dita, yang lulusan SMP, dan Karyadi, yang cuma jebolan kelas 3 SD, untuk mencari kerja. Terakhir, mereka terpaksa menutup warung yang jadi sandaran hidup. Bukan apa-apa. Isinya telah ludes mereka makan sendiri. Kemalangan Sumarni dan keenam anaknya bermula saat Karta dicokok polisi pada Desember 1974 lampau. Sobatnya, Sengkon, telah lebih dulu diciduk. Keduanya dituduh merampok dan membunuh pasangan Sulaiman-Siti Haya yang bermukim di Bojongsari, Bekasi. Merasa tak bersalah, Sengkon dan Karta menolak menandatangani berita acara pemeriksaan. Tapi, tak tahan menerima siksaan polisi, keduanya lalu menyerah. Berkas perkara mereka lalu dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Bekasi. Pada zamannya, persidangan Sengkon-Karta menyedot perhatian luas. Di pengadilan yang dipimpin Hakim Djurnetty Soetrisno, kedua petani itu berkeras menolak semua dakwaan. Saat itu, ada tiga saksi yang memastikan Karta sedang meringkuk sakit saat pembunuhan terjadi. Toh, Ibu Hakim rupanya lebih mempercayai versi polisi. Maka, pada Desember 1977, Sengkon divonis 12 tahun penjara dan Karta diganjar 7 tahun. Nasib keduanya tentu tak tertolong jika seorang kerabat Sengkon bernama Gunel tak masuk Penjara Cipinang karena mencuri. Di bui, Gunel mengaku kepada Sengkon bahwa dialah yang melakukan pembunuhan. "Saya kasihan pada Sengkon yang sakit-sakitan," kata Gunel. Informasi ini tak disia-siakan Karta. Lewat seorang familinya, pengakuan Gunel dilaporkan ke polisi. Akhirnya, pada Oktober 1980, Gunel dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. Namun itu tak banyak menolong Sengkon-Karta. Sebelumnya, mereka tak mengajukan banding, sehingga vonis dinyatakan telah berkekuatan hukum tetap. Saat itu, kepada TEMPO, Karta cuma bilang, "Saya tidak banding karena tak tahu untuk apa. Saya ini buta hukum." Untung, ada Albert Hasibuan, pengacara dan anggota Dewan yang gigih memperjuangkan nasib mereka. Akhirnya, pada Januari 1981, Ketua Mahkamah Agung (MA) Oemar Seno Adji memerintahkan agar keduanya dibebaskan lewat jalur peninjauan kembali (herziening). Walau begitu, malapraktek hukum itu tak tertebus. Gugatan ganti rugi mereka kepada pemerintah sebesar Rp 100 juta ditolak MA. Nasib keluarga Karta kocar-kacir. Rumah dan tanah mereka seluas 6.000 meter persegi di Desa Cakung Payangan, Bekasi, ludes untuk membiayai perkara. Untuk menyambung hidup, ketika itu Sumarni berjualan opak. Tiap subuh, ia berjalan kaki dua setengah jam untuk menjajakan dagangan hingga ke Pondok Gede, Jakarta. Setelah Karta meninggal dalam kecelakaan sepeda motor pada 1981, nasib Sumarni tak lebih baik. Ia mengumpulkan sen demi sen dari upah menjadi buruh cuci di lima keluarga. Peruntungan keluarga Sengkon setali tiga uang. Sejak Sengkon masuk bui, istrinya, Tuni, membuka warung nasi uduk kecil-kecilan di Desa Jati Rangon, Bekasi. Saat Sengkon dibebaskan, beban Tuni bukan bertambah ringan, malah sebaliknya. Selain tubuhnya habis digerogoti TBC, Karta menderita gangguan jiwa akibat stres berkepanjangan. Pada 1987, karena TBC yang diidapnya di penjara, Sengkon meninggal. Melihat betapa nelangsanya nasib keluarga Sengkon-Karta, Albert Hasibuan menyesalkan sikap pemerintah. Menurut dia, meski belum ada ketentuan yang mengaturnya, negara wajib memberikan ganti rugi yang manusiawi. "Bukannya cuci tangan," katanya. Saat itu, pemerintah memang pernah berjanji berbunga-bunga akan meringankan beban keluarga Sengkon-Karta, khususnya dengan membiayai anak-anak mereka hingga ke universitas. Rupanya itu tinggal janji. Boro-boro jadi sarjana, dari 12 anak Karta, paling tinggi cuma lulus SMP. Yang lain cuma bekerja serabutan sebagai buruh bangunan atau menjadi penjual buah di Pasar Kranji, Bekasi. Iwan Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus