Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Semakin Jauh Dari Kedubes

Lia sudah mampu berdiri sendiri dalam hal keuangan. Tak perlu lagi bantuan dari pemerintah AS. Hanya seorang guru dan direktur pelaksananya masih orang AS.

9 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIA (Lembaga Indonesia Amerika) pernah dicurigai. "Bahkan pernah memasuki masa membahayakan, sampai ada yang berpikir apakah kegiatan LIA perlu diteruskan." Itu kata Paul Gardner, Wakil Dubes AS dalam bahasa Indonesia yang lancar, ketika menyambut peresmian gedung LIA yang baru 30 Nopember. Gedung baru berlantai 4 di Jalan Pramuka Jakarta yang diresmikan Menlu a.i. Maraden Panggabean dan makan ongkos Rp 400 juta itu semakin jauh letaknya dari Kedubes AS di Jalan Merdeka Selatan. "Makin jauh dalam arti geografis dan kiasan," kata Gardner lagi. Karena LIA sekarang sudah tidak mendapat bantuan dari pemerintah AS. "LIA sudah bisa menghidupi dirinya sendiri," katanya. Meskipun dalam urusan parkir kendaraan, masih semrawut seperti di gedung lama di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Berdiri 1958, lembaga yang bergerak dalam bidang kebudayaan, perpustakaan dan kursus bahasa Inggeris itu sejak 1975, menurut J. Sigit, Wakil Direktur Pelaksana LIA, sudah mampu 100% di bidang keuangannya. "Selain mereka tak mau terus-terusan membantu, kita juga mau berdiri sendiri agar lebih bebas," katanya. Dalam dewan pengurus yang menentukan beleid LIA selain terdiri dari 5 orang Indonesia, ada 4 orang swasta Amerika. Bahkan direktur pelaksananya sampai saat ini selalu orang Amerika yang digaji pemerintah AS. Tapi dalam hal bantuan buku untuk perpustakaan . LIA yang kini memiliki 8.000 buku itu misalnya, lewat dewan pengurus, LIA bisa menolak jika isinya dianggap tidak cocok. "Kami punya kebebasan juga," kata Ismael M. Thajeb, terakhir Dubes RI di Jenewa, kini ketua Dewan Pengurus LIA yang sekarang. Namun dengan gedung baru yang memiliki 30 lokal, lembaga yang punya 107 orang guru itu pada penerimaan siswa baru setiap 4 bulan sekali masih tetap hanya menerima 1000 orang. Dengan formulir pendaftaran yang juga terbatas 3 ribu lembar saja. "Padahal yang ingin kursus setiap kali naik," kata Sigit. Karena itu untuk melayani instansi pemerintah maupun swasta LIA kini punya 35 kelas-luar. Dengan rata-rata murid 15 orang, kelas-luar itu memungut per grupnya Rp 56 ribu. Sedang bagi kelas biasa di LIA per orangnya dipungut Rp 10.500 untuk mahasiswa dan pegawai negeri dan Rp 15 ribu untuk swasta. Tahun depan, golongan pertama itu akan dinaikkan jadi Rp 15 ribu juga. "Terpaksa, karena kebijaksanaan 15 Nopember kemarin," kata Sigit. Kursus itu selain tingkat dasar yang 6 tingkat (2 tahun) bisa dilanjutkan ke tingkat post intermediate classes (3 tingkat) dan advanced courses (3 tingkat). Tingkat terakhir itu untuk mempersiapkan para siswa yang menulis riset. Setelah tingkat itu para siswa masih bisa mengikuti satu semester lagi untuk menambah kemampuan menterjemahkan dari bahasa Indonesia ke Inggeris. Kelas Bulog "Rata-rata siswa LIA bisa menangkap pelajaran sesuai dengan kelasnya," kata Ny. Harsono, guru LIA yang mengajar kelas-luar di Bulog. Sementara Nyonya Soenarso, pengajar di kelas biasa merasa mudah memberikan pelajaran kepada siswanya yang terdiri dari mahasiswa, pejabat dan Ibu rumah-tangga. "Tak usah terlalu memikirkan metode pendidikannya," katanya. Nyonya ini adalah satu dari 15 orang guru tetap LIA. Selebihnya merupakan sambilan. "Memang ada satu dua guru yang kurang baik. Tapi rata-rata memuaskan," kata Ny. Toruan, siswa tingkat advanced Isteri pengusaha swasta itu mengaku ikut kursus karena ingin berani berhadapan dengan orang asing. "Kan Indonesia negara pariwisata. Mungkin bahasa Inggeris saya bisa bermanfaat untuk tugas suami saya," katanya. Selain di Jakarta, LIA terdapat juga di Medan dan Surabaya. Berdiri tahun 1968, LIA Surabaya memulai kursus Inggerisnya setahun kemudian. Siswa kursus tetap dipertahankan 1200 orang. Siswa baru bisa masuk bila ada dari siswa lama yang keluar. Gaji ke 42 orang gurunya diambil dari uang kursus yang menurut Ny. Joan M. Gibbons, Direktur USICA Surabaya, rata-rata per orang Rp 3.500 sebulan. Hanya ada seorang guru Amerika yang dibiayai pemerintah. Dengan bakal ditutupnya konsulat AS Surabaya mulai tahun depan (bersama 13 konsulat AS lainnya di berbagai negara), Ny. Gibbons belum bisa menjelaskan apakah LIA Surabaya akan terus dilanjutkan atau tutup. "Kami sampai saat ini belum diberitahu apa-apa," kata seorang guru. LIA di kedua tempat itu masih mendapat bantuan penuh pemerintah AS.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus