Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dari Sukanto untuk SBY

22 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada lambang apa pun di kepala surat itu. Satu-satunya yang menonjol di bagian itu hanya sebuah nama yang diketik dengan huruf kapital: SUKANTO TANOTO. Di bawah nama sang pengirim tertulis kepada siapa surat itu ditujukan: Presiden Republik Indonesia.

Dalam surat tertanggal 7 Januari 2008 itu, pengusaha yang pernah dinobatkan majalah Forbes sebagai orang terkaya di Indonesia pada 2006 itu mengadukan masalah yang tengah membelitnya, kasus pajak Asian Agri. ”Bahwa permasalahan-permasalahan tersebut yang selalu mengkait-kaitkan nama saya, adalah upaya sistematik yang dilakukan secara emosional oleh pribadi tertentu dengan menggunakan kewenangannya secara kurang bijaksana,” tulis Sukanto.

Sukanto meminta Presiden memberikan kesempatan kepada perusahaannya menyelesaikan persoalan tersebut dengan Direktur Jenderal Pajak. ”Kebijaksanaan dan arahan Bapak Presiden akan sangat memberikan pengaruh dan iklim usaha yang baik bagi dunia hukum dan usaha bangsa ini,” tulis Sukanto di akhir suratnya. Lalu ia membubuhkan tanda tangannya. Fotokopi surat Sukanto tersebut kini berada di tangan beberapa aktivis antikorupsi.

Sejak Direktorat Pajak menelisik dugaan penggelapan pajak yang dilakukan Asian Agri, anak perusahaan Raja Garuda Mas ini memang berkukuh tidak melakukan kejahatan seperti yang diduga aparat pajak. Tapi Direktorat Pajak berpendapat lain. ”Ini ada unsur pidananya,” kata Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution. Karena pendekatan terhadap Direktorat Pajak tak mempan itulah, menurut sumber Tempo di lingkungan Departemen Keuangan, bisa jadi sang pemilik memakai cara lain, ”mengadu” langsung ke Presiden.

Selain Sukanto sebagai pribadi, Asian Agri juga pernah berkirim surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Berkop resmi Asian Agri, surat tersebut dikirim Semion Tarigan, Direktur Utama PT Inti Indosawit Subur, anak perusahaan Asian Agri.

Dalam suratnya pada 3 Mei 2008 itu, selain mendukung proses pemeriksaan yang dilakukan Direktorat Pajak, pihaknya, ujar Semion, berkomitmen melakukan pembayaran jika terdapat koreksi atas pembayaran pajak perusahaannya. ”Kami sangat mengharapkan adanya arahan penyelesaian dari instansi terkait yang fair, cepat, transparan, dan akuntabel, mengingat kepentingan kelanjutan usaha yang telah berjalan lebih dari 25 tahun yang menyerap 24.545 tenaga kerja dan keterlibatan 27.696 KK petani plasma...,” tulis Semion.

Dihubungi pada Rabu pekan lalu, Semion tidak membantah telah mengirim surat ke Yudhoyono. Menurut Semion, ia hanya meminta kasus yang menimpa perusahaannya ini segera rampung. ”Di internal kami jadi tidak enak. Suasananya terganggu.”

Semion menolak jika suratnya itu disebut sebagai upaya Asian Agri meminta kasus mereka diselesaikan secara damai. ”Kalau masih terdapat kekurangan, sebagai wajib pajak kami bersedia membayar,” katanya. Adapun surat yang dikirim Sukanto Tanoto, Semion menyatakan tidak tahu. ”Memang ada dua ya?” katanya. Sama seperti Semion, kuasa hukum Asian Agri, Yan Apul, menyatakan tidak tahu bahwa Sukanto melayangkan surat ke Presiden Yudhoyono.

Dari lingkungan Istana, Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa membenarkan Sukanto pernah berkirim surat ke Presiden. Menurut Hatta, surat itu dikirim Sukanto pada Juni lalu dan sudah dijawab Menteri Keuangan. ”Yang menjadi pegangan Menteri Keuangan itulah sikap pemerintah,” ujar Hatta.

Sejumlah aktivis antikorupsi meminta Presiden menjelaskan perihal surat Sukanto itu. ”Jika surat itu benar ada, Presiden harus menjelaskan ke publik dan memaparkan sikapnya,” ujar Koordinator Informasi Publik Indonesia Corruption Watch, Adnan Topan Husodo.

Bambang Widjojanto, mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, meminta Presiden berhati-hati menanggapi surat semacam itu. Respons sekecil apa pun dari Istana, kata Bambang, berpotensi untuk dimanipulasi. Karena itu, ujarnya, yang menjawab surat itu memang lebih baik bawahan Presiden. ”Isinya juga normatif. Misalnya, selesaikan menurut aturan yang berlaku,” ujarnya.

Rini Kustiani, Agoeng Wijaya, Anton Aprianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus