Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANGAN seluas 200 meter persegi itu bersekat-sekat kaca. Terletak di salah satu lantai gedung Departemen Perindustrian dan Perdagangan, di situlah pertama kalinya sebelas anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha berkantor. ”Sangat sederhana,” kata Sutrisno Iwantono, bekas anggota Komisi yang pada tahun 2000 berkantor di sana. Di ruang itu, ujarnya, yang ada hanya meja dan kursi anggota.
Tahun pertama, praktis isi kantor, ya, hanya para anggota Komisi. Adapun staf lain ”dipinjam” dari Departemen Perdagangan. ”Setelah setahun, baru dibuka penerimaan karyawan, antara lain untuk posisi investigator dan panitera,” kata lelaki yang biasa dipanggil Iwan ini. Sesuai dengan undang-undang, masa tugas Komisi lima tahun.
Pada tahun pertama berdiri, ada lima laporan yang diterima Komisi. Dua di antaranya ditangani hingga mencapai putusan, yakni tender pengadaan cashing di PT Caltex Pacific Indonesia dan dugaan monopoli PT Indomarco Prismatama. Semua hasil kerja Komisi dilaporkan ke presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Tugas Komisi ini, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, adalah memeriksa pelaku bisnis yang diduga melanggar undang-undang antimonopoli itu.
Setahun nebeng di kantor orang, baru pada 2001 Komisi menempati kantor sendiri di Jalan Juanda, Jakarta Pusat. Pada 2002, salah satu perkara yang ditangani Komisi adalah kasus tender penjualan saham PT Indomobil Sukses Internasional. Dalam kasus ini, Komisi membatalkan tender penjualan itu karena dinilai terjadi persekongkolan dalam tender.
Di tingkat kasasi, putusan tersebut oleh Mahkamah Agung dinyatakan tidak sah. Penyebabnya sangat sederhana. Dalam mukadimah putusan tertulis, ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” ”Mahkamah berpendapat kalimat demikian hanya boleh dipakai Mahkamah Agung,” kata Iwan.
Komisi juga mendapat perhatian publik saat menangani kasus penjualan dua tanker Pertamina yang menyeret nama mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi. Pada kasus ini, Komisi menyatakan Pertamina, Goldman Sachs, dan Frontline Ltd. bersekongkol dalam tender penjualan tanker itu. Kendati di tingkat kasasi putusan Komisi dikuatkan, di tingkat peninjauan kembali putusan ini dibatalkan.
Menurut Iwan, kendati baru seumur jagung, Komisi telah mendapat kepercayaan dari masyarakat dan pelaku bisnis. Itu, ujarnya, bisa dilihat dari makin banyaknya pengaduan yang masuk. Banyak putusan Komisi yang mendapat pujian karena dinilai berani dan mencerminkan keberpihakan pada masyarakat.
Berbeda dengan periode pertama, pada periode kedua sistem penerimaan keanggotaan Komisi berubah: terbuka bagi siapa pun dan tak perlu diusulkan organisasi. Pada 2005, dari 250 calon yang mendaftar, terpilih 13 orang. Soal jumlah, undang-undang hanya menyatakan minimal tujuh orang. Menurut Tresna Priyana, anggota Komisi periode 2006-2011, selain mendapat gaji antara Rp 10 juta dan Rp 12 juta, semua anggota Komisi mendapat fasilitas kendaraan sedan Corolla Altis.
Salah satu putusan mengejutkan yang dijatuhkan Komisi periode II ini adalah menyatakan Temasek telah mempraktekkan monopoli karena melakukan kepemilikan silang di PT Telkomsel dan PT Indosat. Putusan Komisi: memerintahkan perusahaan Singapura itu melepas sahamnya di salah satu perusahaan di Indonesia dan membayar denda Rp 25 miliar.
Putusan ini belakangan dikuatkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan bahkan memerintahkan Temasek mengurangi saham hingga 50 persen di Telkomsel dan Indosat dalam tempo 12 bulan. Di tingkat kasasi, Komisi juga menang. Hanya, soal jumlah saham yang wajib dilepaskan itu, Mahkamah mengeluarkan putusan lain. Mahkamah membatasi pelepasan saham masing-masing calon pembeli maksimal 10 persen. Artinya, putusan ini menguntungkan Temasek.
Di mata Koordinator Indonesia Corruption Watch Teten Masduki, masyarakat menuntut Komisi Pengawas Persaingan Usaha menjadi lembaga yang bersih dan bisa dipercaya. ”Kalau KPPU kotor, kepercayaan bisnis akan rusak,” ujarnya. Munculnya kasus Iqbal itu, ujar Teten, membuktikan lembaga ini perlu perbaikan dalam sistem rekrutmennya dan kontrol terhadap anggotanya.
Salah satu yang menurut Teten bisa mengundang ”bahaya” adalah kewenangan sekaligus Komisi dalam melakukan penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan. Karena itulah, ujar Teten, undang-undang yang mengatur Komisi perlu direvisi. ”Ya, undang-undang itu memang harus diamende-men,” kata Sutrisno Iwantono.
Martha W. Silaban, Ramidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo