CERITA dimulai dari dendam Abdurahman. Penduduk Bogor ini 30
tahun, memang sudah lama menaruh hati tak enak terhadap Jaksa
Saragih dari Kejaksaan Negeri Bogor. Isterinya, Dina, katanya
pernah beberapa bulan meninggalkannya gara-gara hidup bersama
dengan Saragih.
Di samping itu ada persoalan adiknya, Ahmad, yang sedang kena
perkara di Kejaksaan. Abdurahman merasa telah mengeluarkan uang
sogokan sampai Rp 450 ribu, yang katanya diterimakan ke tangan
Saragih melalui seorang perantara. Tapi adiknya tak kunjung
dibebaskan. Itu semua yang membawanya membuat pengaduan ke
Opstib. Tapi, sayang, kali ini kail Opstib tak mengkait.
Mulanya soal kerjasama dagang beras antara Ahmad, Assegaf dan
Wangsa Diharja. Ahmad, katana, telah memberikan uang Rp 4 juta
-- pinjaman berbunga dari orang lain, Saadiah -- Kepada Wangsa
sebagai modal jual-beli. Perjanjiannya manis jika untung dibagi
rata dan bila rugi ditanggung bersama.
Tapi urusan jadi berengsek. Begitu menerima modal hidung Wangsa
mendadak hilang dari peredaran. Ahmad paling kalang-kabut.
Betapapun dia menunjukkan bukti penerimaan uang dari Wangsa itu
tak menghindarkannya dari tagihan Saadiah. Dengan berbagai cara
Ahmad telah membayar hutangnya sekitar Rp 235 ribu. Namun
Saadiah tetap mengadukan Ahmad ke kejaksaan.
Ahmad dipanggil ke kantor kejaksaan, 15 Maret lalu, dan langsung
ditahan. Untuk suatu perkara utang-piutang -- perdata? Mungkin
sewajarnya demikian, tapi Kejaksaan ternyata dapat menemukan
"aspek pidana" dalam kasus begitu. Dan kemudian ternyata,
menurut Abdurahman, Jaksa Saragih melalui seorang perantara
menyatakan kesediaannya "membereskan" perkara. Imbalannya Rp 2
juta.
Praktek semacam dilakukan Saragih itu, menurut Haji Princen
sebagai pembela Ahmad, berlaku menyolok di Kejaksaan Negeri
Bogor. Menurut laporan yang diterimanya, begitu surat Princen
kepada TEMPO minggu lalu, dari 140 tahanan di Lembaga
Pemasyarakatan Bogor terdapat kurang lebih 50 orang yang ditahan
hanya karena urusan perdata. Cara-cara penahanan demikian,
katanya merupakan "penyanderaan terselubung". Pengadilan telah
dimintanya agar turun tangan mengakhiri praktek jelek tersebut.
Bahkan Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan Umum, Soegiri
Tjokrodidjojo SH, kepada Harian Kompas menyatakan tengah
meneliti kegiatan kejaksaan di Bogor.
Melalui perantara juga, menurut Abdurahman, secara bertahap dia
telah menyerahkan uang sampai sejumlah Rp 450 ribu. Tapi
tanda-tanda Ahmad akan bebas pun tak nampak. Ditambah dengan
dendam lama, yang menyangkut isterinya, Abdurahman bermaksud
menyergap Jaksa Saragih.
Mula-mula dia mengatur pertemuan dengan Saragih, 20 April
kemarin, di sebuah restoran di Bogor. Segala sesuatunya telah
dipersiapkan: di sana petugas Opstib, telah duduk di kursi
belakang, menunggui jebakan.
Tapi Saragih, setelah sementara waktu bicara dengan Abdurahman,
ternyata bertindak cermat. Dia tahu ada seseorang -- "saya
mengenalinya sebagai anggota Tekab (tim anti banditisme)" kata
Saragih kepada TEMPO belakangan -- mengawasi pertemuannya.
Itulah sebabnya sebuah amplop berisi uang Rp 500 ribu yang
diberikan Abdurahman di akhir pertemuan tak diterimanya. Jebakan
Opstib tak mengena.
Dari restoran Saragih terus ke Kantor Polisi Bogor (Korem 821).
Dia tak ingin pertemuannya dengan Abdurahman dilaporkan Tekab
jadi perkara yang bukan-bukan. Juga untuk menunjukkan
ketidak-senangan hatinya dijebak-jebak segala.
Oh, Dina
Tapi kedatangan ke sana sebenarnya tak perlu. Sebab sang
Komandan Polisi ternyata menyatakan telah mengetahui
selengkapnya apa yang dibicarakan antara Saragih dengan
Abdurahman. Tak jelas adakah polisi merekamnya atau memancarkan
apa yang terjadi di restoran langsung ke kantor polisi.
Tapi itu tak membuat Saragih jadi jeri. Sumbarnya: "Jangankan
hanya opstib, sampai ke langit ketujuh pun saya berani
mempertanggungjawabkan." Dia merasa tak menerima suap apalagi
memeras. Kejadian di restoran tempo hari, katanya, seharusnya
menjadi perkara lain: suatu usaha penyuapan yang dilakukan
Abdurahman terhadap petugas negara.
Apakah Saragih hendak memunculkan perkara jadi demikian?
"Tidak," katanya. Perkara penyuapan, katanya, delik biasa --
bukan harus melalui pengaduan untuk jadi sesuatu perkara. "Dan
alat negara yang sudah mengetahui hal itu," lanjutnya, "harusnya
dapat mengambil tindakan."
Akan hubungannya dengan Dina, isteri Abdurahman yang muncul
dalam kasusnya, Saragih menyangkal: "Kenal pun tidak." Apalagi
sampai melarikannya. "Sebelum masyarakat menghukum, kalau saya
memang melakukan hal itu," katanya, "keluarga saya yang akan
menghukum lebih dulu." Saragih adalah salah seorang ketua
perkumpulan marga Saragih di Bogor.
Dina punya versi lain. Wanita ini mengakui ia punya hubungan
dengan Saragih. Selama 4 bulan katanya, Saragih menempatkannya
di sebuah rumah kontrakan. Hubungan mereka putus Januari
kemarin, menurut Dina. Sayang Saragih tak sempat dihubungi soal
ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini