Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Dendam Abdurahman

Jaksa Saragih dari kejaksaan negeri Bogor dianggap melakukan praktek terselubung. Bermula dari peristiwa adik & istrinya, Abdurahman bersama petugas obstib berusaha menyergap saragih, tapi gagal.(krim)

26 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CERITA dimulai dari dendam Abdurahman. Penduduk Bogor ini 30 tahun, memang sudah lama menaruh hati tak enak terhadap Jaksa Saragih dari Kejaksaan Negeri Bogor. Isterinya, Dina, katanya pernah beberapa bulan meninggalkannya gara-gara hidup bersama dengan Saragih. Di samping itu ada persoalan adiknya, Ahmad, yang sedang kena perkara di Kejaksaan. Abdurahman merasa telah mengeluarkan uang sogokan sampai Rp 450 ribu, yang katanya diterimakan ke tangan Saragih melalui seorang perantara. Tapi adiknya tak kunjung dibebaskan. Itu semua yang membawanya membuat pengaduan ke Opstib. Tapi, sayang, kali ini kail Opstib tak mengkait. Mulanya soal kerjasama dagang beras antara Ahmad, Assegaf dan Wangsa Diharja. Ahmad, katana, telah memberikan uang Rp 4 juta -- pinjaman berbunga dari orang lain, Saadiah -- Kepada Wangsa sebagai modal jual-beli. Perjanjiannya manis jika untung dibagi rata dan bila rugi ditanggung bersama. Tapi urusan jadi berengsek. Begitu menerima modal hidung Wangsa mendadak hilang dari peredaran. Ahmad paling kalang-kabut. Betapapun dia menunjukkan bukti penerimaan uang dari Wangsa itu tak menghindarkannya dari tagihan Saadiah. Dengan berbagai cara Ahmad telah membayar hutangnya sekitar Rp 235 ribu. Namun Saadiah tetap mengadukan Ahmad ke kejaksaan. Ahmad dipanggil ke kantor kejaksaan, 15 Maret lalu, dan langsung ditahan. Untuk suatu perkara utang-piutang -- perdata? Mungkin sewajarnya demikian, tapi Kejaksaan ternyata dapat menemukan "aspek pidana" dalam kasus begitu. Dan kemudian ternyata, menurut Abdurahman, Jaksa Saragih melalui seorang perantara menyatakan kesediaannya "membereskan" perkara. Imbalannya Rp 2 juta. Praktek semacam dilakukan Saragih itu, menurut Haji Princen sebagai pembela Ahmad, berlaku menyolok di Kejaksaan Negeri Bogor. Menurut laporan yang diterimanya, begitu surat Princen kepada TEMPO minggu lalu, dari 140 tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Bogor terdapat kurang lebih 50 orang yang ditahan hanya karena urusan perdata. Cara-cara penahanan demikian, katanya merupakan "penyanderaan terselubung". Pengadilan telah dimintanya agar turun tangan mengakhiri praktek jelek tersebut. Bahkan Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan Umum, Soegiri Tjokrodidjojo SH, kepada Harian Kompas menyatakan tengah meneliti kegiatan kejaksaan di Bogor. Melalui perantara juga, menurut Abdurahman, secara bertahap dia telah menyerahkan uang sampai sejumlah Rp 450 ribu. Tapi tanda-tanda Ahmad akan bebas pun tak nampak. Ditambah dengan dendam lama, yang menyangkut isterinya, Abdurahman bermaksud menyergap Jaksa Saragih. Mula-mula dia mengatur pertemuan dengan Saragih, 20 April kemarin, di sebuah restoran di Bogor. Segala sesuatunya telah dipersiapkan: di sana petugas Opstib, telah duduk di kursi belakang, menunggui jebakan. Tapi Saragih, setelah sementara waktu bicara dengan Abdurahman, ternyata bertindak cermat. Dia tahu ada seseorang -- "saya mengenalinya sebagai anggota Tekab (tim anti banditisme)" kata Saragih kepada TEMPO belakangan -- mengawasi pertemuannya. Itulah sebabnya sebuah amplop berisi uang Rp 500 ribu yang diberikan Abdurahman di akhir pertemuan tak diterimanya. Jebakan Opstib tak mengena. Dari restoran Saragih terus ke Kantor Polisi Bogor (Korem 821). Dia tak ingin pertemuannya dengan Abdurahman dilaporkan Tekab jadi perkara yang bukan-bukan. Juga untuk menunjukkan ketidak-senangan hatinya dijebak-jebak segala. Oh, Dina Tapi kedatangan ke sana sebenarnya tak perlu. Sebab sang Komandan Polisi ternyata menyatakan telah mengetahui selengkapnya apa yang dibicarakan antara Saragih dengan Abdurahman. Tak jelas adakah polisi merekamnya atau memancarkan apa yang terjadi di restoran langsung ke kantor polisi. Tapi itu tak membuat Saragih jadi jeri. Sumbarnya: "Jangankan hanya opstib, sampai ke langit ketujuh pun saya berani mempertanggungjawabkan." Dia merasa tak menerima suap apalagi memeras. Kejadian di restoran tempo hari, katanya, seharusnya menjadi perkara lain: suatu usaha penyuapan yang dilakukan Abdurahman terhadap petugas negara. Apakah Saragih hendak memunculkan perkara jadi demikian? "Tidak," katanya. Perkara penyuapan, katanya, delik biasa -- bukan harus melalui pengaduan untuk jadi sesuatu perkara. "Dan alat negara yang sudah mengetahui hal itu," lanjutnya, "harusnya dapat mengambil tindakan." Akan hubungannya dengan Dina, isteri Abdurahman yang muncul dalam kasusnya, Saragih menyangkal: "Kenal pun tidak." Apalagi sampai melarikannya. "Sebelum masyarakat menghukum, kalau saya memang melakukan hal itu," katanya, "keluarga saya yang akan menghukum lebih dulu." Saragih adalah salah seorang ketua perkumpulan marga Saragih di Bogor. Dina punya versi lain. Wanita ini mengakui ia punya hubungan dengan Saragih. Selama 4 bulan katanya, Saragih menempatkannya di sebuah rumah kontrakan. Hubungan mereka putus Januari kemarin, menurut Dina. Sayang Saragih tak sempat dihubungi soal ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus