Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Dendam Untuk Penembakan Misterius

Prada Komaedi dibantu Serda Sulanto menghabisi nyawa Suparno. Motifnya balas dendam, karena ayah Komaedi, Markam, & kedua kakaknya menjadi korban petrus gara-gara Suparno yang dikenal sebagai informan.(krim)

2 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMATIAN ayah dan dua orang kakak rupanya, sangat membekas dalam jiwa Prada Komaedi dari kesatuan Brigif di Srondol, Semarang. Soalnya, kematian mereka tidak wajar. Mayat ketiganya ditemukan di pinggiran desa tempat tinggal korban dengan bekas luka tembak di kepala. Penduduk menyebutnya sebagai korban penembakan misterius - pada tahun 1983 itu "Petrus" memang gencar mencari sasaran. Komaedi curiga, kematian sang ayah, Markam, dan kedua saudaranya, Jauhari, 30, dan Karyono, 26, karena ulah tetangganya, Suparno, yang dikenal sebagai informan. Dendamnya menyala. Ia menyusun rencana untuk menghabisi Suparno. Ia meminta bantuan kenalannya, Serda Sulanto, 34, yang bertugas di Gombong, dan dua orang lain. Akhirnya, memang, Suparno terbunuh. Dan hari-hari ini, Komaedi dan Sulanto diadili di Mahkamah Militer di Semarang. Oleh Oditur Letkol A.R. Haryo, keduanya dituduh berkomplot untuk melakukan suatu pembunuhan berencana. Dua orang lainnya - yaitu Slamet dan Sunardi, keduanya sipil, telah diadili lebih dahulu. Mereka masing-masing dijatuhi hukuman 8 tahun dan 4 tahun penjara, dan September lalu pengadilan tinggi menguatkan putusan itu. Pembunuhan atas Suparno, 50, menurut Oditur, terjadi pada tanggal 12 Maret 1984. Di malam itu, Sulanto dan Slamet mendatangi rumah Suparno di Desa Kawengan. Keduanya mengaku disuruh Komandan Koramil Semarang Selatan, yang memang sudah dikenal Suparno, agar ayah 12 anak itu datang menghadap. Tanpa curiga, Suparno ikut dan dinaikkan ke mobil. Sulanto ketika itu sempat kebingungan sebab Komaedi dan saudara misannya, Sunardi, tak ada lagi di mobil. Mereka agaknya sengaja menghindar karena takut dikenali. Maklum, rumah Suparno hanya berjarak sekitar 200 meter dari rumah Markam, ayah Komaedi. Tapi, karena sudah dijanjikan bayaran Rp 200 ribu, Sulanto tetap membawa calon korban. Baru beberapa menit mobil yang dikemudikan Slamet berjalan, Sulanto menghantamkan tangkai dongkrak ke tengkuk korban. Suparno, yang bertubuh kekar, ternyata belum tewas. Beberapa menit kemudian ia bangkit, tapi Sulanto dan Slamet segera mengikat lehernya dengan tali. Untuk beberapa saat korban tak bergerak-gerak. Saat mobil melaju kembali, ternyata ia masih bisa meronta-ronta dan mencoba bangkit. Kali itu Sulanto betul-betul panik. Kontan ia mencabut sangkur dan menusukkannya bertubi-tubi ke tubuh korban. Toh, Suparno tetap belum mati. Saat mobil berhenti, karena salah satu bannya kempis, Suparno masih mencoba bangkit dan hendak melawan. Tapi sia-sia. Sulanto keburu menghantam kepalanya dengan dongkrak, dan korban pun menemui ajalnya. Mayatnya dilempar ke jurang di daerah Bedono, Magelang. Namun, dua hari kemudian mayatnya ditemukan. Istri korban, Siti Amsiah, langsung menduga si penjemput Suparno tempo hari tak lain suruhan pihak keluarga Markam. Di malam kejadian, ia memang sempat melihat Sunardi berdiri dekat mobil yang digunakan membawa suaminya. Ia melapor kepada pihak berwajib. Akibatnya, para tersangka ditangkap. Komaedi, yang bertubuh tinggi tegap, dengan tegas mengakui semua kesalahannya. Begitu juga Sulanto. Komaedi menganggap bahwa yang dilakukannya semata untuk menjunjung tinggi martabat orangtuanya. Sang ayah, Markam, di Desa Kawengan tergolong petani yang cukup berada karena memiliki sawah cukup luas. Menurut tetangga, Markam memang beberapa kali pernah terlibat pencurian kecil-kecilan. Namun, ia sudah insaf dan rajin pergi ke masjid. Pada Juli 1983, menurut Mbok Markam, suaminya didatangi Suparno dan empat lelaki lain. Markam disuruh ikut bersama mereka. Sekitar 15 menit kemudian mereka kembali lagi, dan menanyakan Jauhari dan Karyono yang ketika itu sedang sembahyang Jumat. Usai sembahyang, kedua kakak beradik itu diseret dan dinaikkan ke dalam jip. Dua hari kemudian, penduduk gempar karena mereka menemukan Markam dan kedua anaknya telah menjadi mayat dengan luka tembak di kepala. Tak ada lain, Suparnolah yang dituding sebagai penyebab kematian tu. Di saat pemakaman, misalnya, Suparno tak hadir. Juga, kata Mbok Markam, tetangganya itu pernah menghubunginya setelah suami dan dua anaknya dibawa pergi. "Ia mengatakan bisa membebaskan ketiganya asal diberi imbalan uang. Saya menolak karena memang sedang tidak punya uang," kata Mbok Markam. Ia lalu menceritakan perangai Suparno itu kepada anaknya, Komaedi, yang tinggal di asrama. Meski bertetangga, keluarga Markam dan Suparno tampaknya memang tak begitu akur. "Sebabnya apa, kami tak tahu. Padahal dulunya Kang Markam dengan Parno hubungannya sangat dekat," kata Mbok Markam lagi. Siti Amsiah tak hendak berkomentar atas ketidakakuran itu. Ia hanya mengatakan bahwa suaminya, Suparno, mempunyai pergaulan luas. "Bapak sering dimintai tolong petugas keamanan untuk memberi laporan tentang keadaan desa ini," ia berkata. Di Kawengan, lelaki setengah baya yang tetap kelihatan tegap itu dikenal pemberani dan cukup disegani. Dulunya, kata seorang tetangga, Suparno pernah pula berurusan dengan polisi karena tersangkut perkara kejahatan. Kini, Markam dan Suparno tak ada lagi. "Dendam memang bisa berakibat macam-macam," ujar Letkol Mansyur Yusuf, pimpinan majelis hakim, mengomentari persidangan atas diri Komaedi dan Sulanto. Akan halnya Komaedi, yang dendamnya sudah terlampiaskan, merasa lega. "Saya pasrah, mau dihukum berapa atau diapakan saja terserah," katanya. Surasono Laporan Yusro M.S. (Jawa Tengah)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus