SEORANG pria setengah baya turun dari angkutan umum di Desa Caringin. Kepalanya tertutup peci. Pakaiannya lusuh. Lelaki asing berkumis tebal itu mencari ojek menuju Kampung Cikangkung, Kecamatan Cisewu, Kabupaten Garut, Jawa Barat, yang jaraknya 25 km dari Caringin. Siapakah dia? Tunggu dulu. Kapolsek Cisewu, Lettu. Soenarya, juga mendengar info orang asing yang menuju Cikangkung itu. Ia mau bergerak. Belum sempat ia beranjak, ada dua orang tukang ojek yang melapor. "Pak, di rumah Kakek Sarwita ada tamu dari Jakarta," kata tukang ojek. Rumah yang dimaksud memang berada di Kampung Cikangkung. "Siapa dia?" tanya Soenarya. "Namanya Agus," jawab pengojek. Wajah Soenarya berseri. Hari itu, 1 Mei, sore hari. Tiga hari sebelumnya, lima orang tim serse Polda Metro Jaya dan dua orang dari Polres Garut datang ke Kampung Cikangkung, Cisewu -- sekitar 200 kilometer dari Bandung. Yang diburu tim ini adalah Agus. Kabarnya, ia bersembunyi di rumah istri mudanya, Nyonya Saadah, anak Sarwita. Sayang, waktu itu polisi tak menemukan orang yang dicarinya. "Akang Agus ke Surabaya," kata Saadah, 33 tahun, saat itu. Polisi menangkap ibu beranak tiga ini lantaran diduga mengetahui di mana keberadaan Agus. Siapa, sih, Agus? Nama lengkapnya adalah Agus Naser Atmadiwirja. Kepala SMA Muhammadiyah II Kemayoran, Jakarta, itu dicurigai punya kaitan dengan tewasnya Nyonya Diah, istrinya sendiri. Seperti yang ramai diberitakan, mayat terpotong tujuh yang ditemukan di depan kampus IKIP Rawamangun pada 8 April itu sudah diidentifikasikan sebagai Nyonya Diah, sehari-hari guru TK Trisula. Agus menghilang dari rumahnya, Jalan Percetakan Negara, Jakarta, sejak 19 April. Padahal, polisi belum menuduh Agus terlibat dalam pembunuhan itu. "Kalau tak salah, mengapa harus menghilang," kata Direktur Serse Mabes Polri, Brigjen. Koesparmono Irsan. Karena itulah polisi curiga dan melacak ke mana perginya Agus. Termasuk mengirim tim ke Cisewu itu. Mendengar nama Agus disebut-sebut tukang ojek, Lettu. Soenarya layak gembira. Namun, ia sedikit repot. Soalnya, di sore itu di kantornya hanya ada seorang anak buahnya, Koptu. Dadang. Enam anak buah lainnya sedang bertugas mengamankan tarawih. Tapi Soenarya tak kehilangan akal. Ia lantas mengontak beberapa oran hansip dan Kepala Desa Cisewu, Ici Cahyadi. Sekitar pukul 19.30, tim dadakan ini menuju ke rumah Sarwita. Setiba di rumah panggung ukuran 5 x 8 meter itu, beberapa hansip ditugasi mengepung. Ici Cahyadi masuk ke dalam rumah dan menanyakan apakah benar Agus berada di rumah itu. "Ada, sedang makan, Pak," kata Sarwita. Namun, saat Sarwita melongok ke ruang makan, mantunya sudah lenyap. Tapi istrinya membisikkan bahwa Agus ngumpet di lumbung padi. Petugas segera menyerukan agar Agus menyerah. Sampai ketiga kali seruan itu diulang tak ada jawaban. Baru setelah mertuanya meminta agar Agus menyerah karena sekeliling rumah sudah dikepung, lelaki berkulit kuning itu nongol. "Ia tampak tenang seperti wajah priayi," kata Soenarya. Polisi kemudian meminta identitas lelaki ini. Setelah jelas bahwa Agus itulah yang dicari selama ini, borgol dilingkarkan ke tangannya. Tapi benarkah Agus itu tersangka pembunuh Nyonya Diah sebagaimana yang diumumkan polisi kemudian? Banyak yang ragu. Apalagi pembunuhan itu, dalam keterangan polisi, dilakukan di rumahnya pada 7 April pagi sekitar pukul 07.00 sampai 09.00. "Saya kurang yakin Bu Diah dibunuh di dalam rumah," kata Dimyati, tetangga sebelah rumah. Sebab, pagi selepas sahur itu, Dimyati tak mendengar suara ribut-ribut, apalagi lolong kesakitan. Kartobi, ayah Nyonya Diah, juga ragu. Sebab, katanya, kehidupan Agus-Diah tampak harmonis. "Ke mana-mana selalu berdua. Ke kamar mandi pun Diah diantar," ujar Kartobi, yang tinggal di Ciwidey, Bandung. Ia tak berbasa-basi. Ia menceritakan apa yang dilihatnya. Soal keharmonisan itu, memang banyak tetangga Nyonya Diah membenarkarmya. Bahkan ada pemeo, kalau ingin bahagia dan harmonis, "contohlah pasangan Agus-Diah". Pemeo seperti itu tak salah. Dua puluh enam tahun berkeluarga, pasangan ini tak pernah terlihat ribut-ribut. Semua serba indah. Setelah diungkapkan polisi gambaran itu pun buyar. Agus ternyata kawin lagi. Bini mudanya itu tak lain, ya, Saadah. Ketika dikawini Agus, Saadah berstatus janda beranak dua. Ceu Adah -- begitu ia dipanggil -- masih ada hubungan famili dengan korban. Bagaimana mungkin Agus yang pendiam itu bisa jadi pembunuh berdarah dingin dan berlaku amat sadistis -- kalau nanti terbukti benar. Rentetan peristiwa yang mengerikan itu begini: Sebuah mayat terpotong tujuh (tanpa badan) ditemukan di depan kampus IKIP Rawamangun. Wajah korban disayat, hidungnya dipapras. Jari tangannya dibuang. Pembunuh agaknya sadar betul bahwa sidik jari gampang diidentifikasi untuk mengetahui identitas korban. Benar. Sebab, penyidik kemudian hanya bisa memastikan bahwa korban seorang wanita berumur sekitar 45 tahun. Rambut berombak, sebagian memutih, dan bekas disemir. Kulit kuning mulus. Polisi mula-mula mencurigai mayat itu Nyonya Yuli Kaledara. Kecurigaan ini didasari laporan Abraham (Bram) yang menyebutkan bahwa ibunya, Nyonya Yuli, dan istrinya, Yohana, meninggalkan rumah sejak 5 April. Bram, walau belum mengecek ciri-ciri mayat terpotong itu di RSCM, merasa yakin korban itu ibunya. Dugaan Bram dikuatkan oleh kesaksian sanak famili dan kenalan Yuli. Alasannya: wajah korban ada tahi lalat, rambut berombak, dan beberapa helai di antaranya memutih. Entah dari mana ujung pangkalnya, Bram kemudian yakin bahwa si pembunuh ibunya tak lain ayah tirinya, Sersan Mayor (AL) Jones R. Manoe. Laporan Bram ini disampaikan ke POM ABRI, Garnisun Ibu Kota, juga ke polisi. Akibatnya, Manoe harus dikawal ke mana-mana, dan diawasi oleh kesatuannya, Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil). Tuduhan itu, untungnya, tak membuat Manoe marah. Sebab, istrinya berada di Australia mengurus bisnis. Dan Manoe memang benar. Nyonya Yuli pulang ke Jakarta dalam keadaan sehat. Yohana, yang dikabarkan hilang, pun ternyata berada di Surabaya. Kecurigaan pada keluarga itu, konon, adanya saksi yang melihat si pembuang mayat di depan Kampus IKIP Rawamangun itu memakai Jeep CJ-7. Tak jelas siapa yang dimaksudkan. Nah, kebetulan Bram (si pelapor) mempunyai Jeep CJ-7 berwarna hijau gelap. Ketika jip itu diperiksa, memang ditemukan bekas darah. Golongan darah itu pun kebetulan cocok dengan golongan darah mayat potong tujuh itu: A. Belakangan baru ketahuan bahwa istri Bram, Yohana, yang juga bergolongan darah A, keguguran. Ia dibawa ke rumah sakit Koja dengan jip itu. Jadi, jelas kan? Lantas, mayat siapakah itu? Tersebutlah sebuah keluarga di Jalan Percetakan Negara VI No. 40, Rawasari, Jakarta Pusat. Jumat pagi 7 April, sekitar pukul 9, nyonya rumah "menghilang". Sang ayah menanyakan kepada anaknya, "Ke mana ibumu?" Sinta, si anak itu, menjawab, "Lho, bukankah tadi selesai subuh masih tidur bersama Bapak?" Nyonya rumah yang dimaksud itu tak lain Nyonya Diah. Tidak biasanya Bu Guru TK ini pergi tanpa pamit. Biasanya, jika pergi, ia meninggalkan memo yang diselipkan di balik kaca lemari. Kali ini tidak. Sang ayah, tentu saja Agus, konon gelisah. Juga anak-anak mereka. Agus menyuruh Iis (putra sulung) dan Chandra (nomor dua) mencari ibunya. Selepas salat Jumat keduanya pergi ke rumah familinya di Rempoa, Ciputat. Sinta juga dimintanya menghubungi ke rumah famili yang lain. Tak ada hasil. Karena itu, Agus menyuruh Iis mencari ibunya ke rumah kakek Kartobi di Bandung. "Jangan lama-lama, cukup dua-tiga hari saja," pesannya. Kepergian lis ke Bandung ternyata molor. Ia baru balik 10 hari kemudian. Ibunya tak ada di Bandung. Hari itu juga, 18 April, Agus bersama Iis dan dua iparnya datang ke RSCM untuk melihat mayat potong tujuh. Ahli kedokteran forensik dari Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (PPKPH) -- dulu LKUI-RSCM, dr. Abdul Mun'im, lantas memperlihatkan foto-foto korban kepada keluarga Agus. Iis dan dua ipar Agus mengatakan wajah itu mirip Nyonya Diah. Tapi Agus menolak foto wajah korban adalah istrinya. "Petunjuk ini sebetulnya awal yang menentukan pengungkapan identitas korban," kata Mun'im kemudian. Karena masih ragu, Agus diminta melihat sendiri kepala korban. "Bukan. Itu bukan kepala istri saya," ujar Agus tanpa ekspresi, seperti dituturkan Mun'im. Mun'im minta agar Agus membawa foto Nyonya Diah untuk dicocokkan dengan kepala korban. Permintaan itu dikabulkan. Agus menyerahkan foto istrinya itu ke Mun'im siang harinya. "Berdasar pengamatan kami, ternyata profil wajah Nyonya Diah dalam foto cocok dengan profil mayat," kata Mun'im. Mun'im lantas mengontak Polda Metro Jaya. Ia memberi isyarat agar polisi segera mengamankan keluarga Agus. Kejadian berikutnya, secara tak terduga, pada 20 April, potongan badan mayat ditemukan di pinggir pantai dermaga Bicing, Tanjungpriok -- tak jauh dari pangkalan tempat kerja Manoe. Bagian tubuh itu telah membusuk, dikerubuti belatung darat. Isi perutnya hilang. Tapi BH dan celana dalamnya masih melekat. Juga handuk kecil yang berfungsi sebagai peresap darah mens. Soal mens itu klop dengan cerita Sinta, yang mengatakan bahwa ibunya memang tak berpuasa karena "berhalangan" . Pakaian yang ditemukan pada korban, dari kesaksian anak-anak Nyonya Diah, memang milik ibu mereka. Semua itu lebih meyakinkan lagi bahwa mayat terpotong-potong itu adalah Nyonya Diah. Apalagi ada hasil penelitian dr. Mun'im secara medis yang positif: visual, pakaian, media, dan serologi. "Seratus persen itu mayat Nyonya Diah," tutur Mun'im tandas. Toh anak-anak Diah masih belum srek mayat itu ibu mereka. Namun, beberapa tetangganya sudah menduga buruk. Sebab, sehari sebelum menghilang, Nyonya Diah pernah ngomong begini kepada ibu-ibu PKK Rawasari: "Kalau saya meninggal nanti, mungkin akan terkenal se-Indonesia." Entahlah kalau itu sekadar bergurau. Agus ternyata kabur sebelum sempat ditanyai polisi. Ia pamit kepada anaknya akan mencari ibu mereka. Pada 19 April itu, Agus sempat juga mampir ke SMA Muhammadiyah, menyerahkan kunci lemari yang menyimpan soal-soal Ebtanas. Sejak itu pers mulai "menggiring" Agus sebagai tersangka pembunuh. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari keluarga korban, polisi memperoleh keterangan Agus punya dua istri. Bini mudanya itu, Saadah, dikawini pada 1983. Saadah ditempatkan di sebuah rumah petak yang disewa Agus Rp 20 ribu sebulan di daerah Jalan Bangka, Jakarta. Ketika polisi memburu ke rumah sewaan itu, Saadah sudah "mudik" ke kampungnya di Cisewu, 23 April. Saadah sudah menetap di Jalan Bangka sejak 1982, setahun sebelum resmi menikah. Menurut tetangganya, rumah tangga mereka tampak mesra, tak pernah cekcok. Tahun-tahun pertama pasangan ini menghuni rumah petak itu, tetangganya menyangka Agus itu tukang kredit. "Soalnya nggak pernah nginap," katanya. Namun, tiba-tiba sejak 9 April itu Agus menginap di situ hingga seminggu. Dan setiap paginya Saadah punya kesibukan baru: membeli koran Pos Kota. Ibu berpendidikan SD ini, yang biasanya tak pernah memegang koran, jadi kecanduan membaca. "Anaknya nangis saja sampai dibiarkan," kata tetangganya, Sumiati. Kesibukan Ceu Adah mencapai puncaknya saat kedatangan ayahnya, Sarwita, 22 April. "Saya harus pulang kampung karena ibu sakit keras," alasan Adah kepada tetangganya. Anehnya, TV hitam putih 14 inci dijual mendadak Rp 65 ribu. Meja kursi tamu dilego Rp 50 ribu. Dipan kayu usang dibuang begitu saja di lapangan bulu tangkis di belakang rumahnya. Semua pakaiannya dikemasi. Esoknya, 23 April, Adah, anaknya, dan Sarwita pulang ke Cisewu. Lima hari kemudian polisi menangkap Adah di situ. Sementara itu, Agus, yang sudah pernah ke Cisewu 20 April, datang lagi ke sana 1 Mei lalu, dan langsung ditangkap Kapolsek Lettu. Soenarya. Di kantor Polsek Cisewu, Agus membuat pengakuan tertulis (lihat: Pengakuan Pak Guru, Tersangka). Di hadapan Kapolres Garut, Letkol. Somantri, Agus juga mengaku telah membunuh Diah. Alasan pembunuhan, katanya, sebagai suami ia merasa dilecehkan. Ia direndahkan dan diperbudak. Pengakuannya lagi: tanggal 7 April pagi itu mereka cekcok. Ketiga anaknya sedang tak di rumah. Sumbu penyulut adalah soal utang Diah di TK Trisula. Agus berjanji akan melunasi utang itu pada waktunya. Ternyata janji itu tak bisa ditepatinya. Saat itu Diah, yang sudah mencium gelagat bahwa ia beristri dua, bersungut-sungut menumpahkan kemarahan. Agus jengkel. Ia melihat sepotong kayu di balik pintu. Tanpa pikir panjang, kayu itu dihantamkan ke kepala Diah dua kali, hingga membuatnya roboh. Agus lalu membentur-benturkan kepala istrinya ke tembok dan lantai sampai istrinya tewas. Pukul 08.30 bekas darah di lantai dilapnya sampai bersih. Tak lama kemudian anak bungsunya, Sinta, muncul. Tapi mayat sudah disembunyikan di kolong tempat tidurnya. Malah ia pura-pura menanyakan Diah pada anaknya itu. Agus menyuruh dua anak laki-lakinya mencari ihu mereka ke rumah familinya di Rempoa. Anak bungsunya, Sinta, juga disuruh menghubungi famili. Selagi ketiga anaknya tidak di rumah itulah Agus mencincang tubuh istrinya. Dalam pengakuan Agus di Polres Garut itu, kebetulan pula di rumahnya ada dua karung plastik bekas tempat beras. Penjagalan dilakukan sendirian selama dua jam. "Bukan main takutnya," kata Agus. Sebuah karung diisi potongan badan korban, yang sebuah lagi diisi potongan kaki, tangan, dan serpihan-serpihan daging. Merasa bahwa kerjanya belum rapi, jari-jari korban yang bisa dijadikan petunjuk identitasnya dirusak. Wajah korban juga disayat. Kepala korban sengaja dimasukkan tersendiri ke kantung plastik hitam. Pukul 17.00 pengemasan sudah selesai, dan disimpan kembali di kolong tempat tidurnya. Menjelang magrib, Chandra (tanpa Iis) kembali dari Rempoa. Sinta juga sudah berkumpul di rumah itu. Keduanya tetap diajak ngobrol bersama sambil nonton TV. Soal Diah yang hilang tak lagi dibicarakan. Pada saat isya yang dilanjutkan dengan tarawih, Agus tetap tinggal di rumah. Chandra dan Sinta ke masjid. Saat itulah Agus membuang potongan mayat Diah dengan sepeda motor bebek. Karung berisi potongan badan diletakkan di depan, sedang yang berisi potongan tangan dan kaki di belakang. Potongan kepala digantung di setang depan. "Waktu membawa potongan mayat itu, badan saya jadi lemas. Sampai dua kali saya terjatuh dari sepeda motor," pengakuan Agus di Polres Garut. Potongan badan dan telapak tangan itu lantas dibuangnya di tepi sungai dekat Kantor Kecamatan Cempaka Putih. Karung satunya dicampakkan di Jalan Pemuda, dekat Kampus IKIP Rawamangun. Agus sengaja membuang mayat istrinya di situ dengan harapan agar ada yang mengurus dan mcnguburkannya. Saya heran. kok badannya belum ditemukan," kata Agus. Agus mengaku lebih heran ketika potongan badan itu ditemukan di dekat Kolinlamil, Tanjungpriok. Karena itu, ia sempat gembira ketika media massa memberitakan mayat itu sebagai Nyonya Yuli Kaledara. Selasa, 18 April, Agus mengajak lis dan dua iparnya ke RSCM. "Mari, bersama-sama melihat potongan mayat itu," ajak Agus kepada mereka. Ajakan itu sengaja dilakukan untuk sekadar bersandiwara. Ternyata Agus mengaku goyah melihat potongan kepala istrinya. Apalagi beberapa wartawan memburunya dengan berbagai pertanyaan. "Saya mulai goyah. Jawaban-jawaban saya ngawur," katanya. Hari itu juga Agus pamit kepada anak-anaknya untuk ke Surabaya. Tapi semua itu hanya taktik. Sebab, ia ternyata ngumpet ke Cisewu setelah berhasil menjual motor bebeknya Rp 700 ribu. Semalam di tempat bini mudanya itu, Agus pergi lagi. Ia mengembara, meninap di losmen-losmen murahan di Bandung, sampai akhirnya kehabisan duit, dan pulang ke Cisewu. Di situlah ia ditangkap. "Saya siap dihukum sesuai dengan kesalahan saya," ujarnya. Pengakuan Agus ini dikuatkan dengan ditemukannya dua buah barang bukti, golok dan potongan celana jeans di Cisewu. Kepada Kapolsek Cisewu, mula-mula Agus bilang bahwa dua barang bukti itu dibuang di bak sampah rumahnya yang setiap hari diambil tukang sampah. Tapi, di hadapan Kapolres Garut, Agus mengaku golok dan potongan jeans itu disimpannya di rumah Sarwita. Barang bukti itu kemudian memang ditemukan di rumah mertua Agus. "Sedikit pun saya tak curiga, golok itu yang dipakai memotong-motong Diah. Ketika menyerahkan golok itu kepada saya, Agus cuma bilang, 'lumayan untuk mencari kayu bakar'," kata Sarwita. Sedang potongan sobekan jeans, katanya, mungkin terbawa Saadah yang pulang tergesa-gesa. Agus sudah memberi pengakuan. Yang menjadi pertanyaan, benarkah istrinya itu dibunuhnya di rumah sendiri. Tanpa jeritan, tanpa bau anyir darah? Penyidikan memang belum selesai. Padahal, rumah Agus sumpek dan berdempetan dengan rumah tetangganya. "Pengakuan Agus yang spontan itu di luar pemeriksaan penyidik," kata Koesparmono, sambil menambahkan bahwa pemeriksaan terhadap tersangka jadi wewenang Polda Metro Jaya. Menurut Kapolda Metro Jaya, Mayjen. Poedy Sjamsudin, pemeriksaan terhadap tersangka baru saja dimulai. "Karena itu kami belum mengeluarkan pernyataan apa-apa. Pemeriksaan kasus ini belum mencapai hasil yang bulat," katanya. Bahwa tersangka mengaku sebagai pembunuh, belum bisa dijadikan pegangan. Polisi tetap mengarahkan penyidikan sejauh mana kebenaran pengakuan itu dengan bukti-bukti dan saksi-saksi di lapangan. Tentang tidak terdengarnya teriakan dan bau anyir darah, Mun'im punya pendapat. Bau itu bisa berbaur dengan aroma WC yang berdekatan. Sedangkan soal teriakan, lalu lintas yang cukup ramai di depan rumah itu bisa meredam suara jeritan. Mun'im juga menjawab keraguan tentang pengakuan Agus memotong mayat sendirian. "Sangat mungkin terjadi," kata Mun'im. Sebagai pembanding, pembedahan sebuah mayat di RSCM cukup membutuhkan waktu 2 jam -- termasuk mendeskripsikan organnya. Untuk Nyonya Diah, Mun'im memperkirakan bisa dilakukan pelaku dalam tempo setengah jam. Ahli forensik UI itu juga berpendapat, mengangkut potongan mayat ke tempat pembuangan masih mungkin dilakukan sendirian dengan motor. Sebab, potongan kaki, tangan, dan kepala beratnya cuma 25 kilogram. Sedang potongan badan diperkirakan paling berat 40 kilogram. Adakah percikan darah di rumah itu? Memang di sinilah kunci pembuktian. Agus mengaku percikan itu sudah dilapnya hingga bersih. Kepada penyidik di Polda Metro Jaya, Agus mengaku membunuh istrinya di ruang tengah. Ternyata polisi menemukan bercak-bercak darah di tembok dan lantai yang selama ini ditutupi lemari. Bercak darah juga ada di kursi. Kini darah itu diperiksa di RSCM. Menurut sebuah sumber, di Polda Metro Jaya Agus membuat pengakuan yang berbeda dengan pengakuannya di Cisewu maupun Garut. Di sini Agus mengaku membunuh Diah bersama iparnya, Purnama. dan anak Purnama Irwan. Dalam pengakuan Agus, keduanya setuju menghabisi Diah karena Agus menjanjikan sebagian warisannya. Rumah yang ditempatinya itu memang masih belum dibagi atas 7 orang ahli waris, termasuk Agus. Pembunuhan itu dimatangkan 5 April. Masih menurut Agus, pada 7 April pagi, ia bersama Diah, Purnama, dan Irwan ke Pasar Burung di Jatinegara. Di pasar itu Irwan dan Purnama membeli karung plastik. Barang itulah yang dipakai mengarungi Diah. Akibat pengakuan itu, Purnama dan Irwan dijemput polisi pada 10 Mei dinihari. Hari itu juga secara kilat dilakukan rekonstruksi. Namun, setelah disidik, alibi Purnama dan Irwan sangat kuat. Keduanya membantah keras tuduhan itu. Anehnya, setelah dikonfirmasikan, Agus mencabut pengakuan itu. Akhirnya Purnama dan Irwan dilepas. Tampaknya Agus memang aneh. Termasuk ulahnya menolak didampingi pembela. Padahal, ketiga saudara kandungnya sudah menghubungi LBH Jakarta untuk mendampinginya sejak -- pemeriksaan. "Saat ini saya ingin tenang. Saya belum perlu didampingi pembela. Nanti di pengadilan saya mau didampingi," ujar Agus kepada tim pembela LBH. Penolakan tersangka ini sebenarnya sudah diperhitungkan tim pengacara itu. "Kami tidak kaget," kata salah seorang tim pengacara LBH, Abdul Fickar Hadjar. Sebab, kata Fickar, ketika pihaknya menjadi pembela Pak De -- pelaku pembunuhan peragawati Dice -- tersangka juga menolak. Padahal, pihaknya sudah memberikan pengertian kepada tersangka atas pentingnya pembelaan sejak pemeriksaan. "Karena bobot kasusnya, tersangka terkena ancaman hukuman minimal 5 tahun," kata Fickar. Kendati begitu, Fickar (diperkuat pembela Furqon W. Authon dan Widodo Mudjiono) tetap siap mendampingi tersangka, jika sewaktu-waktu dibutuhkan. "Penolakan itu betul-betul murni lahir dari keinginan tersangka sendiri, tidak ada pengaruh dari siapa-siapa," kata Koesparmono. Meski begitu, sebagai penyidik, polisi tetap berkewajiban mengingatkan tersangka agar mau didampingi pembela sejak diperiksa. Pemeriksaan memang belum tuntas. Juga suasana berkabung belum pupus. Sebelum salat Ied, Ahad lalu, jemaah di Masjid An-Nur -- beberapa puluh meter dari rumah Diah -- memanjatkan doa bagi Nyonya Diah. Dan Rabu pekan ini, ibu-ibu PKK Rawasari, rekan-rekan Nyonya Diah di PGRI, dan guru TK, akan berziarah di pusaranya di TPU Penggilingan, Jakarta Timur. Itulah hari ke-40 kematian Nyonya Diah, yang begitu tragis.Widi Yarmanto, Moebanoe Moera, Ahmadie Thaha, dan Ardian T. Gesuri (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini