SALAHKAH bila hakim membebaskan terdakwa dalam perkara korupsi? Jawabnya bisa macam-macam. Yang pasti, dua petinggi hukum, Menteri Kehakiman Ismail Saleh dan Jaksa Agung Hari Suharto, secara terus terang mengungkapkan kekecewaannya atas vonis bebas hakim-hakim. Akhir bulan lalu, di depan DPR, Jaksa Agung mengeluh tentang 34 perkara korupsi yang dibebaskan sejak tahun lalu. Pekan lalu, Ismail Saleh, yang juga bekas jaksa agung, menimpalinya, "Kalau Pak Hari kecewa, saya pun merasa kecewa. Vonis seperti itu akan mendorong orang berbuat korupsi." Jaksa Agung Hari Suharto tidak memperinci kasus-kasus mana. Ia hanya menyebutkan bahwa 34 perkara yang mengecewakan itu merupakan bagian dari 418 kasus. "Untuk semua vonis bebas itu, kami naik kasasi," ujar Hari Suharto. Pasti, di antara kasus-kasus itu, terdapat dua perkara yang mendapat sorotan luas masyarakat, yaitu perkara korupsi Jos Soetomo di Samarinda dan Lurah Suyadi di Catur Tunggal, Sleman, Yogyakarta. "Raja Kayu" Jos Soetomo, yang semula dianggap koruptor kelas kakap, April lalu dibebaskan majelis hakim yang diketuai Abdul Kadir Mappong dari tuduhan memanipulasikan pajak dan iuran hasil hutan Rp 4,6 milyar. Barulah, awal bulan ini, dalam perkara ekonomi, Jos diganjar hakim 1 tahun penjara. Perusahaannya, PT Kayan River Timber Product (KRTP), dianggap terbukti menyelundupkan dua buah kapal ponton. Lurah Suyadi juga lolos dari tuduhan korupsi, Rp 500 juta, melalui vonis hakim. Majelis hakim yang diketuai Mohamad Dinar September lalu, berkeyakinan bahwa Suyadi tidak mengkorupsi uang penjualan tanah-tanah di desanya (TEMPO, 22 September). Padahal, menurut Menteri Kehakiman Ismail Saleh, kasus-kasus itu digarap kejaksaan ketika ia masih menjadi jaksa agung. "Semua perkara itu saya ajukan ke pengadilan, karena yakin akan berhasil," ujar Ismail Saleh. Menurut Ismail Saleh, untuk menggarap satu kasus korupsi, kejaksaan membutuhkan waktu berbulan-bulan. Semua yang terlibat dipanggil dan diperiksa. Setelah berita acaranya dibuat, barulah hakim mendapat "hasil bersih"-nya. "Jadi, hakim hanya tahu perkara itu dari berkas yang dibuat jaksa. Dan mereka hanya bertemu terdakwa beberapa kali di sidang," ujar Ismail Saleh. Sebab itu, menurut Ismail Saleh, vonis bebas hakim untuk perkara korupsi itu mengundang tanda tanya - "Keadilan sudah menjadi tanda tanya?" katanya, sambil tangannya membuat tanda tanya di awang-awang. Memang diakuinya bahwa hakim mempunyai kebebasan penuh untuk mengadili. "Tetapi itu tidak berarti kebebasan semau gue. Bukan berarti: saya ini 'kan hakim yang bebas, karena itu pula putusan saya bebas," ujar Menteri, sambil tertawa. Menteri tidak langsung menuduh ada hakim yang "ada main" dalam kasus-kasus korupsi. Ia hanya "mengingatkan soal moral". "Pengadilan itu 'kan benteng terakhir. Jadi, moral penjaga bentengnya harus kuat," kata "atasan" para hakim itu. Sebab itu, Ismail Saleh berjanji akan meneliti, ada apa di balik vonis-vonis itu. "Jika terbukti berbuat cela. . . Iebih baik mereka tidak jadi hakim saja," kata Ismail Saleh lagi. TAPI, hakim-hakim yag memutus bebas perkara korupsi tenang-tenang saja menghadapi kritik atasannya ini. Semua hakim itu menyatakan bahwa keputusannya berdasarkan "keyakinan" murni. Mappong, misalnya, ketika membebaskan Jos, sempat balik bertanya, "Kalau tidak ada bukti, apakah seseorang bisa dihukum?" (TEMPO, 14 April). Mohamad Dinar, yang membebaskan Lurah Suyadi, membantah keras bahwa ia menerima imbalan untuk putusannya itu. "Putusan kami berdasarkan keyakinan hukum dan keadilan, bersih dari pengaruh apa pun," kata Dinar, September lalu. Menurut seorang anggota majelisnya, pekan lalu, bebasnya Suyadi itu sebenarnya akibat jaksa yang hanya menuduh berdasarkan perkiraan. "Untuk menyalahkan seseorang, tidak cukup dengan perkiraan saja. Apaiagi Suyadi berhasil membuktikan dirinya tidak korupsi," kata hakim itu. Namun, menurut sumber TEMPO, kecurigaan Ismail Saleh terhadap aparat bawahannya itu sudah diteliti oleh tim-tim yang dikirim Irjen Departemen Kehakiman. Majelis hakim yang mengadili Jos Soetomo dan Suyadi, menurut sumber itu, merupakan dua majelis yang diteliti dengan sangat saksama oleh pemeriksa. Hasilnya: "Silakan tanya Menteri Kehakiman. Kami masih melakukan penelitian, belum bisa memberi kesimpulan," kata Irjen Kamil Kamka. Sumber TEMPO mengatakan bahwa hampir semua hakim, termasuk majelis Mappong dan Mohamad Dinar, terbukti bersih. Konon, semua hakim itu bisa mempertangungjawabkan keputusan-keputusan mereka. "Kesimpulannya, vonis bebas itu lahir dari bukti-bukti yang terungkap di sidang ," ujar sebuah sumber di sebuah kanwil Departemen Kehakiman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini