Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dimana Barang Bukti Itu

Yap Thiam Hien, menuntut pengadilan agar menetapkan 'Kejaksaan Agung' telah melakukan penggelapan, apabila kejaksaan tak dapat membawa barang bukti berupa 171 peti tekstil yang disita dari PT. Mulia Rohani. (hk)

10 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MR Yap Thiam Hien, advokat, menuntut sesuatu yang janggal kedengarannya: pengadilan diminta agar menetapkan "Kejaksaan Agung telah melakukan penggelapan . . . " Yaitu, bila kejaksaan tak dapat membawa ke 171 peti tekstil -- yang pernah disita dari kliennya, PT Mulia Rohani -- ke hadap majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat minggu-minggu ini. Kejaksaan tersinggung. Tuntutan, menurut Jaksa Suharto SH -- penuntut umum perkara Mulia Rohani -- nerupakan penghinaan terhadap kejaksaan -- kami akan menuntutnya." Yap tak takut. "Silakan! Saya sudah biasa dituntut oleh jaksa," katanya. Ada apa ini? Cerita soal barang bukti. Dari gudang PT Mulia Rohani di Jakarta dan Surabaya, antara 1975 sampai 1976, Tim 902 (anti penyelundupan) Kejaksaan Agung telah menyita 171 peti tekstil yang disangka keras barang selundupan. Penanggungjawab Mulia Rohmi, Gobindram, diseret ke pengadilan. Ia didampingi pengacara Yap sebagai pembelanya. Sebelum pengadilan dibuka, melalui iklan di koran, Yap sudah mulai 'menghantam' kejaksaan. Khalayak ramai diserukan dan diwanti-wanti agar tidak mengadakan sesuatu transaksi dengan Kejaksaan Agung untuk tekstil sitaan eks Mulia Rohani. Memangnya kejaksaan telah menawar-nawarkan barang sitaan? Memang tidak. Yap, katanya, sekedar mengingatkan barangkali saja diam-diam ada maksud demikian. Sebab, begitu iklan Yap, meskipun herulangkali minta penjelasan, "belum juga kami memperoleh jawaban dari Kejaksaan Agung mengenai ke mananya/di mananya barang-barang itu." Yang jelas, begini katanya kepada TEMPO, "saya tak menemuinya dalam berkas perkara sebagaimana mestinya barang sitaan untuk diajukan sebagai bukti." Itulah sebabnya kejaksaan dituntut untuk memberi "penjelasan dan pertanggunganjawab. " Geleng Ke mana barang-barang yang ditanyakan Yap itu? "Ada dalam berkas perkara!" kata Jaksa Suharto, "lihat saja nanti pada waktunya." Hakim Prasetyo Buntoro SH, yang memimpin sidang pengadilan, juga menyatakan: "Barang-barang itu akan kelihatan nanti pada waktu pemeriksaan barang bukti." Namun Yap tetap geleng kepala -- tak percaya: "Kalau memang ada, coba mana tunjukkan sekarang!" Ketidakpercayaan Yap bukan mengada-ada. Sebab, pengalamannya kerap membuktikan, kejaksaan sering tidak memberkas semua barang sitaan sebagai bukti -- dan buntutnya jadi sering ruwet bila yang berhak menuntutnya kembali setelah perkara selesai. Sebab, pencairan dan pengembalian barang sitaan di luar barang bukti yang tak masuk dalam berkas perkara -- jarang kelihatan selancar dalam kasus Proyek Pluit. Endang Wijaya alias A Tjai memang belum selesai diadili -- tuduhannya tetap: subversi, korupsi dan manipulasi kredit bank dan pajak sekitar Rp 23 milyar. Tapi banyak barang dalam perkara itu, misalnya 1055 rumah, lebih dari 100 mobil, sampai kantor berikut inventarisnya dilepas dari sitaan. Alasannya, menurut Surat. Perintah Jaksa Agung (27 Desember 1978), ternyata barang tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan perkara. Bahkan perusahaan A Tjai sendiri, PT Jawa Building Indah Co, dicairkan dan diperkenankan kembali melanjutkan pembangunan Proyek Pluit. Seorang anggota tim pemeriksa kasus A Tjai menjelaskan: Barang-barang yang sekarang dibebaskan itu, katanya, dulunya disita untuk mengamankan keuangan negara. Bukan barang bukti yang termasuk dalam berkas perkara. Dengan diangkatnya dari sitaan, diharapkan, pembangunannya dapat berjalan terus dan dapat mengembalikan uang negara. Bagaimana dengan A Tjai -- setelah kerugian negara dapat ditutup? Ketua Majelis Hakim yang mengadilinya, H.M. Soemadijono SH, mengangkat pundak. Dia tak tahu menahu soal itu. "Saya hanya membacanya di koran," katanya. "Urusan saya hanya yang menyangkut barang bukti yang ada dalam berkas perkara saja. "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus