MR Yap Thiam Hien, advokat, menuntut sesuatu yang janggal
kedengarannya: pengadilan diminta agar menetapkan "Kejaksaan
Agung telah melakukan penggelapan . . . " Yaitu, bila kejaksaan
tak dapat membawa ke 171 peti tekstil -- yang pernah disita dari
kliennya, PT Mulia Rohani -- ke hadap majelis hakim di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat minggu-minggu ini.
Kejaksaan tersinggung. Tuntutan, menurut Jaksa Suharto SH --
penuntut umum perkara Mulia Rohani -- nerupakan penghinaan
terhadap kejaksaan -- kami akan menuntutnya." Yap tak takut.
"Silakan! Saya sudah biasa dituntut oleh jaksa," katanya.
Ada apa ini? Cerita soal barang bukti.
Dari gudang PT Mulia Rohani di Jakarta dan Surabaya, antara
1975 sampai 1976, Tim 902 (anti penyelundupan) Kejaksaan Agung
telah menyita 171 peti tekstil yang disangka keras barang
selundupan. Penanggungjawab Mulia Rohmi, Gobindram, diseret ke
pengadilan. Ia didampingi pengacara Yap sebagai pembelanya.
Sebelum pengadilan dibuka, melalui iklan di koran, Yap sudah
mulai 'menghantam' kejaksaan. Khalayak ramai diserukan dan
diwanti-wanti agar tidak mengadakan sesuatu transaksi dengan
Kejaksaan Agung untuk tekstil sitaan eks Mulia Rohani. Memangnya
kejaksaan telah menawar-nawarkan barang sitaan? Memang tidak.
Yap, katanya, sekedar mengingatkan barangkali saja diam-diam ada
maksud demikian.
Sebab, begitu iklan Yap, meskipun herulangkali minta penjelasan,
"belum juga kami memperoleh jawaban dari Kejaksaan Agung
mengenai ke mananya/di mananya barang-barang itu." Yang jelas,
begini katanya kepada TEMPO, "saya tak menemuinya dalam berkas
perkara sebagaimana mestinya barang sitaan untuk diajukan
sebagai bukti." Itulah sebabnya kejaksaan dituntut untuk memberi
"penjelasan dan pertanggunganjawab. "
Geleng
Ke mana barang-barang yang ditanyakan Yap itu? "Ada dalam berkas
perkara!" kata Jaksa Suharto, "lihat saja nanti pada waktunya."
Hakim Prasetyo Buntoro SH, yang memimpin sidang pengadilan, juga
menyatakan: "Barang-barang itu akan kelihatan nanti pada waktu
pemeriksaan barang bukti." Namun Yap tetap geleng kepala -- tak
percaya: "Kalau memang ada, coba mana tunjukkan sekarang!"
Ketidakpercayaan Yap bukan mengada-ada. Sebab, pengalamannya
kerap membuktikan, kejaksaan sering tidak memberkas semua barang
sitaan sebagai bukti -- dan buntutnya jadi sering ruwet bila
yang berhak menuntutnya kembali setelah perkara selesai.
Sebab, pencairan dan pengembalian barang sitaan di luar barang
bukti yang tak masuk dalam berkas perkara -- jarang kelihatan
selancar dalam kasus Proyek Pluit. Endang Wijaya alias A Tjai
memang belum selesai diadili -- tuduhannya tetap: subversi,
korupsi dan manipulasi kredit bank dan pajak sekitar Rp 23
milyar. Tapi banyak barang dalam perkara itu, misalnya 1055
rumah, lebih dari 100 mobil, sampai kantor berikut inventarisnya
dilepas dari sitaan. Alasannya, menurut Surat. Perintah Jaksa
Agung (27 Desember 1978), ternyata barang tersebut tidak ada
sangkut pautnya dengan perkara. Bahkan perusahaan A Tjai
sendiri, PT Jawa Building Indah Co, dicairkan dan diperkenankan
kembali melanjutkan pembangunan Proyek Pluit.
Seorang anggota tim pemeriksa kasus A Tjai menjelaskan:
Barang-barang yang sekarang dibebaskan itu, katanya, dulunya
disita untuk mengamankan keuangan negara. Bukan barang bukti
yang termasuk dalam berkas perkara. Dengan diangkatnya dari
sitaan, diharapkan, pembangunannya dapat berjalan terus dan
dapat mengembalikan uang negara.
Bagaimana dengan A Tjai -- setelah kerugian negara dapat
ditutup? Ketua Majelis Hakim yang mengadilinya, H.M. Soemadijono
SH, mengangkat pundak. Dia tak tahu menahu soal itu. "Saya hanya
membacanya di koran," katanya. "Urusan saya hanya yang
menyangkut barang bukti yang ada dalam berkas perkara saja. "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini