Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Disorot Karena Namanya: Endang Wijaya

Hak asmilasi Endang Wijaya dibatalkan Menkeh Ismail Saleh. Disambut baik oleh LBH & Albert Hasibuan. menurut Hudioro & Oemar Senoadji proses asmilasi hak semua napi termasuk Endang Wijaya.

22 Februari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENDANG Wijaya alias A Tjai, terpidana korupsi dengan hukuman 10 tahun penjara, bagai tak henti-hentinya dirundung malang. Ia ditangkap Opstib ketik Jaya-Jayanya membangun proyek perumahan di Pluit, kena operasi"sabet" Laksusda Jaya ketika mendapat tahanan luar yang diberikan hakim, dan kini dipenjarakan kembali oleh Menteri Kehakiman Ismail Saleh ketika menikmati "proses asmilasi"-nya di luar penjara. Akibat perintah Menteri Kehakiman, untuk menghentikan proses asmilasi, sampai awal pekan ini Direktur Utama PT Jawa Building Indah itu masih diperiksa Irjen Kehakiman. Seperti diberlakukan bagi narapidana-narapidana lainnya, Endang Wijaya, 5 Desember lalu, boleh menghirup udara bebas walau terbatas. Ia diperkenankan bekerja kembali di perusahaannya, dalam rangka proses asmilasi, yaitu satu tahun menjelang masa hukumannya selesai. Bedanya, kalau narapidana lain cukup mendapat izin dari kepala penjara, Endang Wijaya tidak. Permohonannya diteruskan Kepala LP Cipinang Hari Marsudi kepada Kepala Kanwil Kehakiman Jakarta. Dari sana terus disampaikan lagi ke Dirjen Pemasyarakatan Hudioro. Yang terakhir itulah yang menandatangani surat izin itu setelah, kata Dirjen Hudioro, meminta pertimbangan Dewan Pembina Pemasyarakatan. Begitulah, menurut Hudioro, sejak itu setiap pagi Endang Wijaya pergi ke kantornya di Pluit dan sorenya kembali lagi ke LP. Ia, konon, mendapat "jabatan" sebagai "pengawas lapangan" di proyek perumahan Pluit, sesuai dengan permintaan resmi PT Jawa Building Indah. Tapi Menteri Kehakiman, yang memang tidak diberi tahu tentang proses asmilasi Endang Wijaya itu, mencium bau tidak enak. Kabarnya, ada laporan bahwa dalam menjalani proses asmilasinya Endang Wijaya tidak selalu balik ke penjara. Harian Sinar Harapan, misalnya, melaporkan terpidana itu tetap saja keluar LP untuk "bekerja" 9 Februari Ialu, padahal hari itu kantor PT Jawa Building tutup karena bertepatan dengan Tahun Baru Imlek. Menurut sumber TEMPO di Jawa Building, Endang Wijaya tidak pernah muncul di kantornya, di proyek perumahan mewah itu. Sebagai petugas lapangan, kata sumber itu, Endang tidak pula bekerja seperti layaknya seorang mandor yang berkubang debu. "Sebagai bos, belum tentu setiap hari ia berkeliling mengontrol proyek. Kalaupun ia mengontrol, pekerjaan itu cukup dilakukannya dari atas mobil sedannya," ujar sumber itu. Semua itulah mendorong Ismail Saleh bertindak. Selain memerintahkan Endang Wijaya dikembalikan ke penjara -- dicabut izin asmilasinya--Menteri Kehakiman juga menyalahkan Dirjen Pemasyarakatan Hudioro dan menegur pejabat tinggi pemasyarakatan. Sebab, menurut Ismail Saleh, sebelum memberikan izin, pejabat pemasyarakatan seharusnya mempertimbangkan lebih dulu segala segi menyangkut narapidana yang akan diberi izin. "Harusnya dilihat dulu segala aspeknya, termasuk aspek psikologis masyarakat. Dengan demikian, tidak semua narapidana otomatis berhak mendapatkan asmilasi," ujar Menteri Kehakiman. Untuk Endang Wijaya, misalnya Ismail Saleh menganggap tidak perlu ada proses asmilasi. Sebab, orang semacam dia, mana mungkin akan menganggur apabila keluar penjara, apalagi melarat? Tujuan proses asmilasi itu, kata Ismail Saleh, adalah untuk membiasakan narapidana kriminal, seperti perampok atau pembunuh, untuk hidup secara baik-baik kembali di masyarakat, dan tentu saja agar masyarakat juga secara berangsur menerima bekas napi itu kembali di tengah mereka. Tindakan Menteri itu serta-merta disambut oleh berbagai komentar kalangan hukum. LBH Jakarta, misalnya, menyatakan bahwa tindakan Ismail Saleh itu akan menumbuhkan dan meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan aparatnya. Proses asmilasi yang dikenakan terhadap Endang Wijaya, menurut LBH, tak lain hanya merupakan keistimewaan yang secara moral tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebab, katanya, tidak semua narapidana bisa mendapatkan kenikmatan itu. Karena itu pula LBH menamakan proses asmilasi Endang Wijaya itu sebagai tindakan memerdekakan sebelum masa hukumannya selesai. Anggota DPR dari Komisi III Albert Hasibuan, memang menganggap proses asmilasi sangat penting bagi narapidana. Tapi tidak untuk orang semacam Endang Wijaya."Ketentuan itu hanya cocok untuk orang-orang yang secara ekonomi dinilai tidak mampu, agar nanti ia bisa kembali bekerja. Untuk orang semacam Endang Wijaya, tanpa proses asmilasi pun ia sudah diterima kembali oleh masyarakatnya," kata Albert. Menurut pengacara itu, ramainya soal Endang Wijaya hanyalah akibat masih simpang siurnya penafsiran terhadap peraturan tentang asmilasi yang ada. Persoalannya memang terletak dalam peraturan yang diterbitkan Direktur Jenderal Pemasyarakatan, 8 Februari 1965, yang tidak menyebutkan "tingkat ekonomi" sebagai pengecualian bagi narapidana yang menjalani proses asmilasi menjelang bebas. Pengecualian hanyalah diberikan bagi narapidana yang dihukum karena subversi, G-30S/PKI, dan perkara-perkara narkotik. Juga terhadap residivis. Dan, tentu saja, juga tidak dikenakan terhadap terpidana mati. Dan Endang Wijaya, seperti kata Dirjen Pemasyarakatan, tidak termasuk kepada narapidana yang dikecualikan itu. Terpidana terkenal itu telah pula memenuhi berbagai syarat untuk asmilasi: di antaranya jaminan dari keluarganya, telah menjalani hukuman lebih dari separuh masa hukuman, permintaan dari perusahaan yang akan menampungnya bekerja, dan tentu saja berkelakuan baik selama di dalam LP. Selain memenuhi syarat awal itu, kata Hudioro, Endang Wijaya selama proses asmilasi ternyata juga mematuhi ketentuan yang digariskan LP. Misalnya, pulang ke LP setiap pukul 16, dan setiap bulan menyetorkan sebagian gaji yang didapatkannya, Rp 750.000, untuk LP. "Pokoknya, semua sudah sesuai dengan aturan. Saya tidak tahu kesalahan apa yang dilakukannya sehingga ia diperintahkan kembali ke LP," ujar Hudioro lebih lanjut. Hudioro juga tidak menganggap suatu kesalahan bila terpidana itu diizinkannya bekerja di Jawa Building. Sebab, memang tidak ada ketentuan yang melarang napi menjalani proses asmilasi, dengan bekerja kembali di tempatnya semula. Bahkan ada narapidana yang dalam proses asmilasinya diizinkan sekolah. "Banyak yang sudah mendapatkan hak semacam itu, kenapa justru untuk Endang Wijaya menjadi ramai?" tanya Hudioro. Bekas Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Agung Oemar Senoadji juga menganggap proses asmilasi yang diterima Endang Wijaya sebagai hal yang wajar saja. "Bukankah menghukum seseorang itu dalam rangka membina- bukan untuk membalas dendam? Dan jangan pula mengaitkan pemberian asmilasi itu dengan kaya miskinnya seseorang, atau lagi melihat dia itu Cina atau Arab. Bagi saya persoalannya adalah hukum an sich," ujar Oemar, yang kini aktif sebagai guru besar hukum pidana di UI. Proses asmilasi yang sudah dikenal di negara maju sejak habisnya Perang Dunia II, menurut Oemar Senoadji, sebenarnya merupakan kesempatan istimewa bagi narapidana yang lebih didasarkan kepada kemanusiaan dan kepercayaan. Hanya saja, menurut Oemar, sampai saat ini di Indonesia belum ada undang-undang khusus yang mengatur hal itu, selain ketentuan dari Dirjen Pemasyarakatan. Sebab itu pula. katanya, asmilasi itu sepenuhnya wewenang Dirjen Pemasyarakatan. Dirjenlah kata Oemar, yang mengetahui persis siapa-siapa orang yang berhak mendapatkan dan siapa yang tidak. "Begitulah sikap saya ketika menjadi menteri kehakiman. Sebagai menteri, saya mempertanggungjawabkan semua itu jika dipertanyakan," ujar Oemar. Proses asmilasi memang bukanlah hah istimewa untuk Endang Wijaya semata Banyak narapidana kelas berat yang sebelumnya sudah menikmati hak itu. Bahkan juga Taufik yang terkenal dengan kasus perampokannya. Ada narapidana yang menggunakan kesempatan asmilasi itu untuk bersekolah. Salah seorang di antara mereka terdapat A.R.N. Marbuat yang divonis Pengadilan Negeri Solo, 1972, dengan hukuman 14 tahun penjara karena terbukti membunuh. Pada 1979, Marbuat meminta izin untuk kursus di Teologi Baptis di Jalan Gunung Sahari, Jakarta, dalam proses asmilasinya. Permohonannya dikabulkan kendati sekolahnya berlangsung dari pukul 15.00 sampai pukul 21.00. Hasilnya, sekeluar dari LP, Marbuat menjadi pendeta di Gereja Polonia, Matraman Raya. Belakangan ia bahkan sempat menjadi pendeta di Gereja LP Cipinang. Bekas Bendaharawan Dinas Kesehatan Semarang, Hadi Susanto, juga mendapat proses asmilasi. Setiap hari terpidana 3 tahun 6 bulan penjara karena korupsi itu bekerja di toko elektronik di Jalan Siliwangi, Semarang, dengan penghasilan Rp 30 ribu sebulan -- separuh disetorkannya ke LP. Setiap hari Hadi Susanto mengaku harus kembali lagi ke LP untuk menyelesaikan sisa hukumannya sampai Mei mendatang. "Jadi, walau saya di luar LP, status saya tetap narapidana," ujar Hadi, yang di pengadilan terbukti membawa lari uang instansinya Rp 20 juta. Persoalannya, kenapa dalam kasus Endang Wijaya, orang menjadi ribut. Jawabannya tidak lain: karena ia bernama Endang Wijaya. Kecurigaan memang lebih gampang timbul terhadap dia dan orang-orang yang mengurusnya. Sejak dulu. Karni Ilyas Laporan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus