Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi atau MK menyatakan perlunya penyempurnaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau UU Pemilu. Hal tersebut disampaikan Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan MK atas perkara sengketa Pilpres 2024 pada Senin, 22 April.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menyatakan terdapat beberapa kelemahan dalam UU Pemilu sehingga menimbulkan kebuntuan dalam upaya penindakan terhadap pelanggaran pemilu. Suhartoyo mengatakan UU Pemilu belum memberikan pengaturan terkait dengan kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kampanye yang dilakukan sebelum dan setelah masa kampanye dimulai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia juga mengatakan terdapat beberapa kelemahan tak hanya dalam UU Pemilu tetapi juga Peraturan KPU (PKPU), maupun Peraturan Bawaslu.
"Pada akhirnya menimbulkan kebuntuan bagi penyelenggara pemilu, khususnya bagi Bawaslu, dalam upaya penindakan terhadap pelanggaran pemilu," kata Suhartoyo saat membacakan pertimbangan putusan yang diajukan pasangan calon capres dan cawapres nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Dia menyebut, demi memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pelaksanaan pemilu maupun pilkada selanjutnya, pemerintah dan DPR di masa datang penting menyempurnakan UU Pemilu, UU Pilkada, ataupun peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait dengan kampanye.
Lembaga Kepresidenan Masuk Kajian Revisi UU Pemilu
Menanggapi hal tersebut, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia mengatakan lembaga kepresidenan masuk dalam kajian revisi UU Pemilu yang sedang dibahas di DPR. Doli menanggapi peran presiden dalam penyaluran bantuan sosial atau bansos yang berdampak pada perolehan suara salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.
"Bahwa kemudian ke depan kita harus mengatur semua kelembagaan kita termasuk lembaga kepresidenan, saya kira itu perlu menjadi salah satu kajian kita dalam revisi undang-undang atau penyempurnaan sistem politik dan sistem pemilihan kita," kata Doli di Sekretariat Negara Jakarta, Kamis, 25 April 2024.
Namun demikian, Doli menegaskan asumsi dan persepsi bahwa Presiden Joko Widodo melakukan intervensi atau cawe-cawe tidak terbukti, berdasarkan pertimbangan hukum, karena aspek yuridis memang berbasis bukti dan kesaksian, bukan praduga atau asumsi.
Mengenai penyempurnaan undang-undang dalam penyelenggaraan Pemilu, Doli mengatakan Komisi II DPR telah mengusulkan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada sejak awal masa bakti 2019. Namun akhirnya terkendala pandemi Covid-19 yang membuat penyempurnaan UU Paket Politik yang telah disusun belum juga tuntas.
Revisi UU Pemilu Mencakup 3 Hal
Adapun menurut Wakil Ketua Komisi II DPR Yanuar Prihatin, setidaknya revisi UU Pemilu harus mencakup tiga hal. Pertama, UU Pemilu harus direvisi menyangkut aturan teknis yang menegaskan ulang jadwal cuti khusus untuk para pejabat saat ingin kampanye politik, durasi waktu atau jumlah harinya harus jelas dan jadwal cuti wajib dilaporkan ke KPU dan Bawaslu secara resmi.
Menurut dia, sorotan MK agar perjalanan dinas pejabat negara diatur ulang supaya tidak berhimpitan dengan jadwal kampanye itu layak ditindaklanjuti.
"Saya kira sangat penting untuk mengatur ulang kampanye para pejabat negara setingkat presiden/wakil presiden dan menteri ini. Selama ini mereka sadar atau tidak sadar sering kali menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat untuk kepentingan elektoral," kata Yanuar dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, 23 April.
Kedua, kata dia, sanksi yang berat atas pelanggaran tersebut harus jelas, terukur, dan nyata. Sanksi menjadi kewenangan Bawaslu dan wajib dipatuhi oleh pejabat yang bersangkutan jika terbukti melanggar.
"Selama ini, tanpa sanksi yang berat dan jelas, presiden dan para menteri bisa seenaknya mempengaruhi pilihan politik rakyat dengan menggunakan fasilitas negara dan memanfaatkan kewenangannya secara terbuka untuk tujuan elektoral," ujar politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini.
Ketiga, pembagian bansos, beasiswa, sertifikat tanah, uang, dan peresmian-peresmian sarana atau prasarana yang berdampak pada masyarakat harus diatur ulang waktunya agar tidak tumpang tindih pada masa-masa kampanye.
"Tentu saja masih banyak aspek lainnya yang harus direvisi dalam UU Pemilu, termasuk lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku politik uang dalam pemilu. Fenomena ini harus dicari akar masalahnya agar konstruksi UU Pemilu mampu menjawab soal ini," tuturnya.