TIGA warga negara Singapura, Adrian Lim, 46 tahun, bersama istrinya, Tan Mui Choo, 33 tahun, dan "simpanannya", Hoe Kah Hong, 32 tahun, Jum'at dua pekan lalu, mengakhiri hidupnya di tiang gantungan. Mereka, tujuh tahun lalu, menggegerkan Singapura, karena membantai dan mengisap darah dua orang bocah berusia 9 dan 10 tahun. Seluruh tingkat peradilan Singapura menolak memberi keringanan atas "dosa" mereka tersebut. Menjelang fajar menyingsing, Jumat itu, ketiga pembantai anak-anak itu berangkat ke tempat eksekusi di penjara Changi. Di tempat itu, mereka diizinkan mandi dan menyantap hidangan kesukaan mereka untuk terakhir kali. Setelah itu, dengan tersenyum, Lim berjalan menuju tiang gantungan. Kedua wanita "pendampingnya" juga tampak tenang dan santai menghadapi detik-detik terakhir kehidupan tersebut. Semula Lim, bapak beranak dua itu, adalah petugas penagih rekening sebuah perusahaan di Singapura. Tapi, belakangan, ia beralih 2 minat, dan mulai mempelajari black magic, praktek-praktek ilmu gaib, dan berlatih sebagai "perantara" ke dunia luar. Setelah merasa ahli, Lim membuka praktek sebagai dukun di kediamannya, flat di Blok 11 Lorong 7 daerah Toa Payoh. Di situ, ia mengobati pasien-pasiennya dengan obat penenang dan setrum listrik (electric shock treatment). Selain itu, ia juga berjualan jimat dan minyak pelet. Ia mulai dipandang pasiennya sebagai "orang sakti". Dengan kedok dukun itu pula, sekitar 1974, Lim menggaet sejumlah hostes, pelacur, dan para wanita yang minta pertolongan kepada Lim. Kebanyakan wanita itu, semula datang untuk urusan cinta. Dan karena wanita semacam itu percaya kepada takhyul, mereka patuh pada petunjuk Lim. Misalnya, mereka bersedia saja diobati dengan cara Lim: bersanggama dengan Lim. Pada masa-masa itu, Lim seakan-akan mereguk semua keuntungan, baik fulus maupun seksual. Maklum, pasiennya antre. Salah satunya, cewek bar, Tan Mui Choo. Setelah Lim bercerai dengan istri tuanya, ia langsung mengawini Tan. Tapi Tan saja tak cukup bagi Lim. Kemudian lelaki itu mengambil lagi seorang simpanan, Hoe Kah Hong. Ia tertarik kepada Hoe, ketika wanita muda yang sudah bersuami itu mengantarkan saudaranya berobat. Hoe -- yang juga percaya kepada takhyul -- diyakinkan oleh Lim bahwa ia adalah wanita yang ditunjuk dewa menjadi "istri sucinya". Hoe bersedia. Tapi bagaimana dengan suaminya? Gampang. Suami Hoe dibujuk ke rumah Lim, dan dieksekusi dengan setrum listrik bertegangan tinggi. Bagaimana dengan Tan? Wanita yang sangat mengabdi kepada Lim itu, tak keberatan dengan kedatangan Hoe. Malah mereka bekerja sama, bagaikan trio dalam praktek perdukunan itu. Sebelum ada Hoe pun, Tan sering mencarikan daun muda untuk suaminya. Konon, kata Lim, hanya dengan menyantap daun muda secara berkesinambungan itulah, ia bisa tetap bertahan hidup. Tak selamanya gombal Lim berhasil. Pada akhir 1980, Lim diadukan pasiennya, seorang ahli kecantikan, karena mencoba memperkosa wanita itu. Lim sempat diinterogasi polisi, tapi tak sampai diadili. Tuduhan itu dianggap Lim sebagai aib besar. Ia membantah mencoba memperkosa. Yang benar, katanya, ia merayu wanita itu, sebagai pemujaan pada dewa, agar ia mendapat kesaktian. Untuk membuktikan bahwa ia di bawah naungan dewa-dewa itu, ia mengadakan upacara lain, yaitu mengisap darah manusia. Akhir Januari 1981, Lim memerintahkan Tan dan Hoe mencari "sesaji". Hoe menemukan seorang bocah perempuan, Agnes Ng, 9 tahun, yang lagi bermain di halaman gereja Toa Payoh -- dekat tempat tinggal Lim. Murid kelas III SD, yang berambut cepak itu, dibujuk Tante Hoe untuk ikut ke flat Lim. Di sana, Agnes dibius, jemarinya ditusuk. Lim langsung menyeruput tetes darah yang keluar dari jari anak itu. Sesudah itu, Agnes ditenggelamkan dalam bath tub berisi air dan disetrum. Tiga buah kawat beraliran listrik ditempelkan ke kaki dan kepala Agnes. Korban berikutnya, Ghazali bin Marzuki, 10 tahun, berhasil dirayu Hoe untuk dibawa ke rumah Lim, 6 Februari. Di situ, Ghazali mengalami nasib serupa Agnes. Warga Singapura gempar, ketika dua mayat anak-anak itu ditemukan dalam keadaan menyedihkan. Tubuh Agnes didapati dalam sebuah koper di samping lift di dekat rumah Lim. Menyusul mayat Ghazali ditemukan tertelungkup di bawah pagar yang memisahkan blok 10 dan 11 Toa Payoh. Di persidangan, dua tahun kemudian, Lim mengaku membunuh dua anak itu, "sebagai persembahan kepada para dewa". Ia, katanya, memuja dewi Hindu, Kali. Di sidang, tingkah lelaki itu aneh. Lim, umpamanya, menjawab pertanyaan hakim dengan senyum sambil berkata, "Selamat Pagi, Yang Mulia. Saya mengaku bersalah." Pada 25 Mei 1983, Lim bersama dua wanitanya dihukum mati. Lim menerima hukuman itu, sementara Tan dan Hoe, mengajukan banding. Mereka mengaku mengidap penyakit mental. Tetapi permohonan keringanan hukuman ditolak semua peradilan. Begitu pula grasi yang mereka mohonkan dari Presiden. Bahkan para dewa pun, rupanya, tak "turun-tangan" menolong mereka dari tiang gantungan. Bunga Surawijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini