BABI bikin heboh lagi. Kali ini berawal dari tersebarluasnya hasil survei Dr.Ir. Tri Susanto, ahli pangan yang meragukan kehalalan beberapa jenis dan merk makanan. Karena menyangkut masalah akidah muslim, dampaknya sangat dahsyat. Heboh soal haram-halal makanan sebetulnya tidak cuma terjadi di Indonesia. Di Malaysia pun terjadi. Bedanya, di sana isu ini bergaung dalam kurun panjang. Lebih dari sepuluh tahun. Isu ini di Malaysia mula-mula muncul di tahun 1977. Yang melansirnya adalah Persatuan Pengguna Pulau Pinang (Consumers Association of Penang atau CAP), sebuah organisasi konsumen independen yang dikenal sangat radikal. Stafnya lebih dari seratus orang dan memiliki penerbitan tabloid bulanan beroplah lebih dari 100 ribu, yang terbit dalam tiga bahasa (Melayu, Inggris, dan Cina). Maka, CAP merupakan salah satu organisasi konsumen terbesar dan terkuat di Asia. Sebelum CAP mengungkapkan, konsumen di sana tak mengetahui arti gelatin dan pemakaiannya yang luas dalam produk makanan. Melalui Utusan Konsumer, CAP terus mendesak pemerintah agar memberi kejelasan status halal-haramnya gelatin. Lima tahun kemudian, 1982, Bagian Agama Jabatan Perdana Menteri secara resmi menyatakan bahwa gelatin haram bagi muslim. Tidak cuma yang berasal dari babi, tapi juga dari sapi. Sebab, meskipun berasal dari hewan halal, cara penyembelihan sapi di Eropa dan AS diragukan. Puaskah CAP? Ternyata tidak. Mereka bahkan lebih mengintensifkan kampanyenya. Tidak lagi makanan yang memakai label bergelatin yang diserang, tapi makanan yang dalam labelnya tak tertera tulisan gelatin. Mereka meneliti itu dan mempublikasikan hasilnya. Misalnya, dari salah satu pengujiannya terhadap tepung jelly atau agar-agar, dari 20 merk yang diuji, 13 di antaranya bergelatin. Namun, isu haram-halal di Malaysia berbeda dengan di Indonesia. Di negara yang berpenduduk multietnis itu, halal-haram tidak hanya menyangkut umat Islam. Sebab, di sana juga hidup kaum Hindu Sikh, Budha, serta vegetarian yang mengharamkan produk hewan tertentu atau seluruhnya. Jadi, gelatin, kemudian juga shortening, tanpa kejelasan asal-usul menjadi sangat meragukan konsumen dari banyak golongan. Hanya dengan mencantumkannya secara jelas pada label, lengkap dengan asal-usulnya, menjadi jelas apakah haram bagi kelompok tertentu tapi halal bagi kelompok lain. Dan sebaliknya. Sampai tingkat ini, yang dituntut CAP adalah sesuatu yang sangat universal dalam perjuangan gerakan konsumen. Yakni hak untuk memperoleh informasi secra terbuka dan jelas. Karena itu, mereka melakukan pengujian sendiri dan tidak mempercayai begitu saja informasi produsen. Organisasi konsumen di mana pun akan melakukan hal yang sama. Tapi CAP lebih ekstrem. Jangankan dengan produsen, bersekutu dengan kerajaan (pemerintah) pun -- suatu hal yang dalam masalah tertentu masih dilakukan -- seperti diharamkan bagi CAP. Kalau diperhatikan lebih dalam, ada hal menarik pada gerakan di Malaysia itu. Seluruh produk yang diteliti CAP adalah produk impor atau rakitan dalam negeri tapi dilakukan oleh perusahaan asing. Notabene, semua produk perusahaan multinasional. Di tahun 1985-86, Nestle -- yang enam makanannya diteliti CAP -- berang. Raja industri makanan ini membantah keras dan menuduh CAP memfitnah dan memutarbalikkan fakta. Tetapi CAP, dengan keyakinan hasil pengujiannya, balik menuduh Nestle tidak jujur. Adakah, di balik itu, maksud-maksud mendiskreditkan suatu produk atau perusahaan tertentu demi produk atau perusahaan lainnya? Ataukah cuma kebetulan? Adakah di balik itu upaya untuk memajukan industri pribumi yang memang belum maju? Ataukah itu motif agama atau ras? Tidak jelas. Biarpun dipimpin oleh seorang Melayu yang berjenggot dan bersarung, aktivis CAP adalah campuran orang-orang dari berbagai agama dan etnis -- Melayu, Cina, maupun India. Dan sekali lagi, dalam pandangan gerakan konsumen, walaupun banyak yang tak menyetujui keradikalan CAP, tindakan CAP adalah wajar. Terlepas dari motif mana yang paling kuat mendasari aksi CAP, beberapa perubahan terjadi di Malaysia. Pada beberapa produk yang menggunakan gelatin, tidak saja tercantum labelnya, tapi dilengkapi dengan asal-usulnya. Misalnya beef gelatin pada permen bermerk Polo. Restoran atau rumah makan yang dikelola bukan muslim, baik keturunan Cina atau India Hindu, bila menjajakan makanan muslim, akan menempelkan sertifikat: "Makanan yang disajikan di situ disiapkan secara Islam." Dan di awal 1988, di tempat-tempat tertentu di Malaysia, saya menemukan beberapa papan iklan besar, billboard, menjajakan produk-produk dalam negeri spesial bagi muslim. Dengan jelas, meski tetap bernada promosi, iklan itu menyatakan kaum muslim tidak perlu ragu untuk mengkonsumsi produk itu. Baik makanan, kosmetik, maupun sabun. Satu merk yang saya ingat adalah Zaitun. Di Indonesia, setelah heboh babi sekarang ini, entah perubahan apa yang bakal terjadi. Akankah di sini lahir gerakan konsumen yang seradikal CAP? Lalu perusahaan-perusahaan makanan akan mencantumkan gelatin dan shortening pada label produknya, lengkap dengan asal-usulnya? Tetapi bukan tidak mungkin, heboh ini berlalu begitu saja tanpa menghasilkan perubahan apa-apa -- seperti heboh bakso babi pada 1984 di Bandung. ZAIM SAIDI, Sarjana Teknologi Pangan dan Gizi IPB, Staf Peneliti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. (Kolom ini ditulis atas permintaan TEMPO).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini