KARENA menduga tanah kakaknya dibeli orang terlalu murah, Miskam nekat membunuh anak si "pembeli" seorang bocah berusia 4 1/2 tahun, Musringah. "Biar orangtuanya merasakan bagaimana rasanya orang sakit hati jika kehilangan sesuatu," kata Miskam. Akibat kejahatan itu, Miskam, 26 tahun, Rabu dua pekan lalu divonis hakim 9 tahun penjara di Pengadilan Negeri Banjarnegara, Jawa Tengah. Tindakan Miskam membunuh anak kecil itu sangat mengejutkan warga Desa Leksono, Banjarnegara. Soalnya, bujangan bertubuh tegap dan berkulit hitam itu selama ini dikenal pendiam dan alim. Sejak kecil pemuda itu suka mengaji dan memberi khotbah di masjid. Pada 20 November 1987 malam, sekitar pukul 19.00, ia bertamu ke rumah Sunarso, yang masih terhitung familinya. Layaknya famili, ia tak segan-segan membantu Sunarso, yang ketika itu lagi mengupas jagung. Sejam kemudian ia baru pulang tanpa menunjukkan tanda apa-apa. Tapi, hanya beberapa langkah dari rumah Sunarso, Miskam berhenti sejenak. Tiba-tiba sesuatu mengusik pikirannya: kabar tentang Sunarso, yang membeli tanah kakaknya Nisem, dengan harga murah. Dia pun kembali mengetuk pintu rumah Sunarso. Begitu pintu terbuka, Miskam berlari ke ruang dalam dan mencengkeram leher anak Sunarso, Suratno, 12 tahun. Anak itu diseretnya keluar rumah. Kemudian kepala anak itu dibentur-benturkannya ke tumpukan bata di halaman rumah. Sunarso, yang masih terkesima melihat tingkah Miskam, berhasil menyelamatkan putranya. Tapi Miskam kembali berlari ke dalam rumah dan menyambar, Musringah, yang saat itu sedang duduk di kursi. Tentu saja bocah itu kaget dan menjerit-jerit di gendongan Miskam. Tapi lelaki itu tak peduli, anak itu dilarikannya ke sawah, sekitar 75 meter dari rumah Sunarso. Di pinggir sawah itu, kepala Musringah dibentur-benturkannya ke tembok irigasi. Keluarga Sunarso, yang mengejar Miskam bersama warga desa, kehilangan jejak. Miskam dan Musringah tak ditemukan, kendati seluruh kampung telah ditelusuri. Baru menjelang tengah malam, Miskam ditemukan di rumahnya. Semula Miskam mengatakan tak tahu di mana Musringah berada. Tapi setelah didesak warga, ia terpaksa menunjukkan tempat disembunyikannya anak itu. Ternyata, setelah warga sampai di tempat itu, Musringah telah meninggal. "Musringah diletakkan di semak-semak dan tubuhnya ditutupi dengan daun-daun kering," tutur Jaksa Dink Abdurachman, yang menuntut Miskam 12 tahun penjara. Di persidangan, Miskam mengaku membunuh anak itu karena sakit hati. Ia, katanya, kecewa karena diam-diam kakaknya, Nisem, menjual tanah warisan dari ayahnya yang 3.500 m2 itu kepada Sunarso dengan harga Rp 1,5 juta. "Tanah itu dijual terlalu murah," kata Miskam, yang berpendidikan kelas II SMP itu. Selain itu, katanya, ia sakit hati karena tanah tadi dijual kakaknya tanpa diketahuinya. "Satu-satunya cara, salah satu anak Sunarso harus dihabisi. Biar ia merasa bagaimana rasanya orang sakit hati jika kehilangan sesuatu," kata Miskam polos. Ternyata, Miskam telah salah sangka. Sebab, menurut Sunarso, ia tak pernah membeli tanah Nisem. Yang dilakukannya, katanya, hanya mengukur tanah itu atas permintaan Nisem. "Saya tidak tahu tanah itu akan dijual kepada siapa," kata ayah tiga anak itu. Bahkan seandainya ia diminta membeli tanah itu, ia mengaku tak sanggup. "Duit saya dari mana," kata Sunarso, pedagang sayur dan buah-buahan. Nisem -- kakak satu ayah lain ibu dengan Miskam -- menyesalkan kelakuan Miskam yang gegabah itu. "Mestinya ia tanya dulu kepada saya. Saya memang akan menjual tanah itu, tapi tidak kepada Sunarso," kata Nisem. Kepada Sunarso, katanya, ia hanya minta tolong untuk menjualkan tanah itu. Selain itu, ia membantah tanah itu warisan dari ayahnya. "Tanah yang saya jual itu pemberian ibu kandung saya, jadi bukan tanah warisan," tutur Nisem. Tapi salah sangka itu telah menyebabkan Musringah kehilangan nyawanya. Miskam pun harus dipenjara selama 9 tahun. "Selain merampas nyawa, perbuatan Miskam itu mengakibatkan penderitaan lahir batin bagi keluarga korban," kata Hakim S. Djawardi, yang mengadili kasus itu. Miskam sendiri kini menyadari kesalahannya. Sebab itu, ia tak banding dan menerima hukuman itu. "Saya betul-betul menyesal saya telah berbuat dosa besar. Saya ingin bertobat kepada Allah di penjara," katanya. Sebuah bukti lagi, betapa gampangnya orang sekarang ini menjadi kalap dan kemudian menyesali perbuatannya. WY dan Slamet Subagyo (Biro Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini