MALAPETAKA tenggelamnya kapal penumpang KM Tampomas II di Laut Masalembo -- dalam perjalanan Jakarta-Ujungpandang -- dengan korban 600 jiwa agaknya mulai pupus dari ingatan orang. Tapi perkara korupsi dalam pembelian kapal malang itu rupanya tidak dilupakan Mahkamah Agung. Baru-baru ini peradilan tertinggi itu menolak kasasi Direktur PT PANN (Pengembangan Armada Niaga Nasional) Nuzwari Chatab, dan Direktur Pembelian PANN H. Mandagi, sebagai pihak pembeli, serta Santoso Sumarlie dan George Hendra, selaku presiden direktur dan direktur Komodo Marine, pihak penjual. Seperti juga di peradilan banding, majelis hakim agung tetap berpendapat, keempat terhukum terbukti korupsi ketika transaksi pembelian Tampomas dilakukan. Berdasarkan putusan itu Nuzwari tetap harus menjalani hukuman tiga tahun penjara, H. Mandagi kena dua tahun, George Hendra dan Santoso Sumarlie masing-masing tiga tahun penjara. "Tapi, dengan hukuman itu, mereka belum harus masuk penjara dan masih bisa berupaya untuk mendapat grasi untuk herziening," kata Ketua Muda Mahkamah Agung bidang Pidana, Adi Andojo Sutjipto. Dua majelis hakim agung, diketuai Soerjono dan Siti Rosma Achmad, dalam putusannya, menolak permohonan kasasi keempat terhukum. Nuzwari Chatab, misalnya, tetap menyangkal, negara dirugikan akibat pembelian Tampomas. Alasan Nuzwari, berdasarkan pemeriksaan BPK, neraca PT PANN dan pernyataan Menteri Perhubungan ketika perkara dilangsungkan, negara tidak dirugikan sepeser pun dalam pembelian kapal itu. Tapi semua keberatan itu ditolak majelis hakim agung. "Keberatan mengenai penilaian hasil pembuktian tidak bisa dipertimbangkan di tingkat kasasi," kata majelis. Soal kerugian negara itu memang sempat menjadi topik hangat ketika sidang-sidang perkara Tampomas berlangsung. Sebab, ketika itu, tiba-tiba Menteri Perhubungan mengirimkan surat rahasia kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyatakan bahwa negara tidak rugi apa-apa dalam pembelian Tampomas itu. Apalagi, sebelumnya, ternyata neraca rugilaba PT PANN -- badan usaha milik negara itu -- menyebutkan untung dalam transaksi itu sebesar Rp 947 juta. Sementara itu Pelni, yang menerima kapal itu, juga untung Rp 134 juta. "Jika pemilik sendiri menyatakan tidak rugi, kenapa kejaksaan merasa negara rugi?" begitu kata pembela Nuzwari Chatab, almarhum, Azwar Karim, ketika itu. Toh, majelis hakim tetap menganggap negara rugi, dan Nuzwari bersalah. Sebab, Nuzwari yang menandatangani Protocol of Deliver bersama George Hendra pada 27 Mei 1980. Padahal, surat penyerahan kapal itu, menurut majelis, tidak sesuai dengan Memorandum of Agreement yang ditandatangani tiga bulan sebelumnya. Dalam memorandum itu disebutkan bahwa kapal yang akan diserahkan itu kapal penumpang. Dan ternyata, yang diterima PT PANN adalah kapal feri. "Jadi, barang yang dibeli berharga Rp 100, tapi yang diterima hanya seharga Rp 90," ujar Jaksa Penuntut Umum Bob Nasution, ketika itu. Sialnya, kapal yang termasuk kualifikasi feri itu, 25 Januari 1981, terbakar ketika dioperasikan. Kapal yang sarat dengan penumpang tidak terselamatkan: terkubur bersama nakoda dan sekitar 600 orang penumpangnya di dasar Laut Masalembo. Akibat kecelakaan itulah kesalahan pihak PT PANN, Pelni, dan bahkan Ditjen Perhubungan Laut itu diutak-utik, sehingga akhirnya bermuara di peradilan. Dari keempat terhukum, sampai pekan lalu, baru Nuzwari Chatab yang mengetahui vonis peradilan tertinggi itu putusan yang lain belum sampai ke pengadilan bawahan. Insinyur perkapalan tamatan Delf, Belanda, itu tidak banyak komentar atas vonis itu. "Karena sudah merupakan keputusan, saya terima dengan ikhlas. Tapi saya akan mengajukan grasi ke Presiden," kata Nuzwari Chatab. KI, Laporan Erlina S. & Bunga S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini