ITU kapten pilot pesawat Cessna, Donald Andrew Ahem, tidak tahu
bahwa ganja termasuk barang terlarang di Indonesia. Ia
berpendapat begitu karena pernah melihat perkebunan ganja di
Sumatera Utara. Lewat penterjemahnya ia bilang: "tentu saya
laporkan kepada yang berwajib" bila sebelumnya ia tahu bahwa
barang-barang di pesawatnya termasuk barang larangan, Pesawat
Cessna yang dikemudikannya disewa seorang bernama Allan yang
ditemuinya di Singapura. Bawaannya disebut tea black, semacam
tembakau yang dipakai untuk makan sirih. Karena itu ia langsung
membawa titipan, tanpa memeriksa dan membawa dokumen, Untuk
tujuan Port Moresby. Di lapangan terbang Ngurah Rai, Bali, DAA
mendarat. Ia dan ko-pilotnya David A. Rieffe, melapor pada
petugas imigrasi dan bea cukai untuk menginap di Denpasar. Pada
blanko yang disodorkan petugas DAA menulis "nil" artinya "nihil"
karena tidak membawa penumpang kecuali pilot dan ko-pilotnya.
(TEMPO 21 Agustus).
Begitu pengakuan DAA ketika Pengadilan Negeri Denpasar mulai
menyidangkan perkara itu awal bulan ini. Pilot itu menyangkal
bahwa ia mempersulit pemeriksaan dan mencoba menyuap petugas.
Pemeriksaan terhadap pilot dan ko-pilol tersebut dilakukan
secara berselang-seling dengan pemeriksa yang sama. Persidangan
ini dipimpin Ketua Pengadilan Denpasar sendiri, Sof Larosa SH
didampingi I Gusti Bagus Masri SH dan I Ketut Galung Astika SH.
Jaksa penuntut juga kepala Kejaksaan Negeri Denpasar, R.
Djokomuljo Mangunprawiro SH. Kedua awak pesawat Cessna tadi
dibela oleh Adnan Buyung Nasution SH. Sebelumnya ada dua
pengacara yang akan membela DAA. Namun menjelang sidang, mereka
mengundurkan diri dengan alasan "tidak dapat/tidak mau menjamin
bahwa terdakwa akan dibebaskan"
Rakyat Yang Mana?
Jaksa menuduh kedua terdakwa melakukan tindak pidana subversi
dan ekonomi. Yaitu menyiapkan secara cermat penyelundupan ganja
dari lapangan terbang Penang, Malaysia 6 Agustus lalu. Tiga hari
kemudian mendarat di Bali tanpa mengindahkan ketentuan yang
berlaku di Indonesia. Selain menyita barang bukti berupa ganja
664,10 kilo, jaksa juga menyita 293 barang perhiasan perak dan
56 lukisan kain karena masuk ke Indonesia tanpa izin. Tarik urat
antara jaksa dengan pembela agak keras karena jaksa, menurut
pembela, menuduh pembela menunda-nunda sidang. Sedangkan pembela
merasakan waktu yang diberikan hakim kepadanya terlampau pendek.
Buyung kemudian mendapat waktu 1 hari untuk menyusun tangkisan
atas surat tuduhan jaksa. Sebelum itu pembela sempat berucap
"kata-kata penuntut umum supaya ditarik, karena tidak sopan
dalam persidangan".
Buyung dalam eksepsinya mengetengahkan asas teritorial, yang
menurut hukum pidana Indonesia hanya berlaku di wilayah
Indonesia. Sedangkan pesawat yang ditumpangi DAA dan DAR
berkebangsaan Australia sehingga pesawat itu juga berada dalam
wilayah teritorial Australia. Pembela berpendapat bahwa tuduhan
Jaksa tidak jelas dan tidak benar. Tuduhan subversi, menurut
pembela, di luar proporsi dan sulit diterima akal sehat.
Mengapa? "Sebab, mana mungkin barang yang tidak pernah sampai ke
tangan rakyat Indonesia atau lalulintas ekonomi Indonesia dapat
dikatakan mempunyai pengaruh yang luas dan mengacau ekonomi
rakyat Indonesia". Begitu tangkisan pembela yang juga bertanya:
"rakyat mana yang dimaksud". Pertanyaan ini menyebabkan hakim
memukul-mukul palunya lantaran banyak pengunjung tertawa dan
bertepuk-tangan. Memang perhatian umum besar sekali.
DAA dan DAR juga dituduh melanggar pasal 486 KUHP, yaitu
ketentuan yang mengatur hukuman tambahan bagi recidivist. Sayang
jaksa tidak melampirkan bukti-bukti kapim terdakwa pernah
dihukum, sehingga pembela berkeberatan pasal tersebut ikut
dibawa-bawa dalam tuduhan. Lagi pula menurut pembela, ketentuan
tadi hanya mengenai hukuman yang pernah dijatuhkan oleh hakim di
Indonesia, bukan hakim pengadilan di negara lain. Segala eksepsi
pembela ditolak hakim sehingga pemeriksaan terhadap DAA dan DAR
berjalan terus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini