SATU setengah kilometer arah ke barat dari pinggiran kota
Kisaran (Kab. Asahan, Sumatera Utara) ada sebuah bukit. Di
pinggirnya mengalir Sungai Silau yang membelah kota Kisaran.
Romantis juga di sana sehingga tak heran di hari Minggu, bukit
yang bernama Katharina itu (karena tak jauh dari sana terletak
Rumah Sakit Katharina milik PT Uni Royal Kisaran) ramai
dikunjungi muda mudi untuk bersantai. Selain itu, bukit
Katharina ini punya fungsi lain lagi, yaitu tempat melepas
nazar. Konon di sana dulunya ada seorang keramat bernama Datuk
Ibrahim, yang pada akhir hayatnya menjelma menjadi buaya yang
keramat mendiami Sungai Silau, di sebelah bukit itu. Pada musim
Toto yang lalu bukit ini ramai tempat orang mencari nomor. Tak
jelas siapa yang membangunnya, di puncak bukit ada sebuah
kelenteng kecil yang senantiasa diasapi dengan gaharu oleh
orang-orang yang berlepas nazar (umumnya orang Tionghoa).
Lebih setahun terakhir ini, di kaki bukit tersebut berdiri
sebuah restoran yang kemudian diberi merk SAMPAGUL milik BES, 43
tahun. Untuk membuat restorannya ramai disinggahi pengunjung,
pelayannya terdiri dari wanita-wanita cantik, yang kemudian
disinyalir berpraktek luar dalam. Karena itu restoran Samosir
berulangkali jadi sasaran team Gurdak kantor bupati Asahan (Team
Gurdak dibentuk dalam rangka merealisir tekad Bupati Asahan H.
Abdul Manan Simatupang untuk mengharamkan Asahan dari pelacur,
TEMPO, 14 Agustus 1976). Tapi berkat kelihaian BES yang dibantu
isterinya M, 30, tak sekalipun team Gurdak berhasil mengkaut WTS
dari sana.
Di Bawah Bangku
Dan praktek restoran itupun berlangsung terus, meski menurut
Camat Kisaran, Zulkarnaen BA kepada TEM PO restoran itu tidak
punya izin. Dan akhir akhir ini bukit Katharina dijuluki
anak-anak muda dengan "Bukit Samosir". Sering terdengar dialok
antara tukang beca dengan langganan yang kebetulan nampaknya
orang luar begini: "Mau santai, ke bukit Samosir saja, di sana
aman dari gerebekan".
Inilah yang terjadi pada Jumat siang 22 Oktober 1976.
Serombongan petugas polisi dari Komdis 2061 Kisaran dipimpin
langsung oleh Komandan Distrik Kapten Katiran, Carnat Kisaran
Zulkarnaen BA, dr. Darmansyah dari RS Kisaran tak ketinggalan
Kepala Kampung Sei Renggas, berkumpul di restoran milik BES.
Sekitar jam 11.00, atas petunjuk BES dan M, rombongan menuju ke
belakang restoran. Lebih kurang 30 meter di belakang restoran,
ditemukan bangku-bangku dari kayu yang nampaknya digunakan
sebagai tempat sang hostes berkencan dengan langganannya. M
berhenti. Kepada Kapten Katiran, berkata: "Di bawah bangku
inilah pak, dia saya kuburkan".
Segera bangku-bangku itu dibongkar petugas dan kemudian tanah
digali. Kira-kira pada kedalaman hampir satu meter, ditemukanlah
sesosok mayat wanita yang membersitkan bau sengit. Mayat itu
dalam posisi telentang, masih memakai baju longdress warna merah
jambu berbunga, dibungkus dengan tikar. Wajahnya memang sulit
untuk dikenali karena sudah hancur. Tapi bahwa dia wanita, dapat
dikenali dari rambutnya yang panjang dan payudaranya yang besar.
Mayat itu ditaksir sudah dua bulan dikubur.
Mayat yang sudah busuk ini kemudian dibawa ke Rumah Sakit Umum
Kisaran untuk diperiksa. Menurut dr. Darmansyah Harahap, Kepala
RSU Kisaran kepada TEMPO pada 22 Oktober, sulit untuk mengetahui
sebab musabab kematian si mayat, karena ketiadaan alat-alat di
RSU Kisaran. Karena itu menurutnya alat-alat dalam yang penting
dari mayat itu (termasuk rahimnya) dikirimkan ke Laboratorium
Pathologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU Medan, guna
pemeriksaan yang lebih selektif dan akurat .
Siapa wanita yang sudah menjadi mayat membusuk itu? Dia adalah
Ngatiyem (20 tahun), anak Sandimin (50 tahun), karyawan PTP V
Sungai Dadap yang tinggal di kampung Tanjung Alam, Kecamatan Air
Batu. Karena kesulitan hidup yang menghimpitnya (maklumiah
karyawan rendah perkebunan) maka pak Sandimin terpaksa dengan
rela melepas anak gadisnya itu pergi bekerja di kota Kisaran
sebagai babu di rumah Zakaria, seorang pegawai kantor bupati
Asahan.
Buk Samprah
Kurang jelas apa sebabnya, sekitar 5 bulan yang lalu Ngatiyem
pindah kerja selaku pelayan sekaligus hostes, di warung
Sampagul. "Weslah, pokoke jogo awakmu sing apik-apik (maksudnya:
jaga dirimu baik-baik)", begitu petuah pak Sandimin suatu kali
ketika anaknya itu menerangkan bahwa dia sudah pindah kerja di
warung Sampagul. Nasehat tersebut diberikannya, karena ia
mendengar hal yang kurang baik tentang restoran tempat anaknya
bekerja. Ada juga yang membesarkan hati Sandimin, yaitu anaknya
nampak sudah pandai berdandan cara kota dan pakaiannya
cantik-cantik. Tambahan lagi ketika dia pulang sebulan menjelang
puasa yang lalu, adik-adiknya dibelikan baju baru. "Tentu gaji
Ngatiyem besar kerja di sana", pikir pak Sandimin seperti
dituturkannya pada TEM PO pada 22 Oktober yang lalu.
Tapi kebesaran hati Sandimin berobah jadi kekhawatiran, ketika
menjelang lebaran yang lalu Ngatiyem tak pulang ke kampungnya.
Timbul kecurigaan di hati Sandimin sekeluarga ketika sampai pada
Lebaran anaknya tak kunjung muncul. Maka pergilah abang ipar
Ngatiyem, bernama Saeran menyusul ke warung Sampagul. Dapat
keterangan langsung dari BES bahwa Ningsih (nama panggilan
Ngatiyem setelah jadi hostes di warung remang-remang itu) sudah
pulang ke kampung sejak puasa yang lalu. Tentu jawaban itu
menghebohkan keluarga Sandimin. Kejadian itu dilaporkan pada
Kepala Kampung Tanjung Alam, yaitu Kajiso. Atas inisiatif si
kepala kampung kejadian itu dilaporkan pada polisi Komdis 2061
Kisaran. Polisi pun campur tanganlah.
Usut sana usut sini, pencarian selalu kebentur jalan buntu.
Keterangan, baik dari BES maupun M sulit diperoleh. Si pemilik
restoran suami isteri selalu lebih banyak tutup mulut. "Ningsih
sudah pulang kampung bulan puasa yang lalu setelah itu mana
lagi kami tahu", hanya itu keterangan diperoleh.
Sampai pada suatu hari. Seorang pedagang kain keliling yang
dikenal dengan nama Buk Samprah, menyingkap tabir misteri
raibnya hostes Ningsih alias Ngatiyem. Si ibu ini katanya
bertemu dengan Suryani, seorang bekas hostes teman Ngatiyem. Si
hostes bercerita bahwa temannya Ngatiyem berbadan dua, lalu atas
perintah BES dan isterinya, Ngatiyem disuruh menggugurkan
kandungannya dengan meminum sejenis obat, tak jelas obat jenis
apa. Setelah itu perut Ningsih alias Ngatiyem selalu mulas. Tak
itu saja, menurut Suryai alias Butet, mereka sering jadi objek
pemerasan BES dan M. Uang Butet sebayak Rp 10 ribu, dari
hasilnya melayani tamu tak pernah dibayar. Demikian juga dengan
Ningsih. Sebanyak Rp 20 ribu uangnya juga kena lalap sang germo.
Suryani
Suatu hari menjelang puasa, menurut penuturan Suryani pada
Samprah, Ningsih yang perutnya sedang kumat dipaksa M melayani
tamu. Dia menolak dengan alasan perutnya sakit, akibatnya
terjadi pertengkaran. Ketika itulah Ningsih bermaksud mau
berangkat dari sana dan meminta uangnya yang Rp 20 ribu itu. M
mengatakan, uang itu telah habis untuk dibayarkan pada oknum
tertentu supaya restoran mereka jangan dirazia. Pertengkaran
jadi sengit, akhirnya M menendang perut Ningsih. Setelah itu
sakit Ningsih bertambah parah dan meninggal dunia pada suatu
malam. Kemudian ia dikuburkan M dan BES di belakang rumah
(restoran).
Berbekal keterangan Samprah ini, polisi mencari Suryani guna
memperoleh petunjuk lebih lanjut. Kiranya sang hostes tak ada
lagi di Sampagul. Menurut keterangan sudah minggat ke Medan.
Akhirnya BES lah yang dipegang polisi.
Pada 21 Oktober pagi, BES ditangkap atas perintah Kapten
Katiran. Di hadapan polisi BES mengelak harus bertanggung jawab
atas kematian Ningsih. "ltu semua isteri saya yang tahu",
kelahnya membela diri. Siang itu juga M dicari. Ternyata tak ada
lagi di restoran Sampagul, sudah kabur. Polisi segera memburu.
Akhirnya M ditemukan di Kampung Tanah Datar, Kecamatan Talawi,
25 Km dari Kisaran. Wanita itu melarikan diri dengan digonceng
sepeda motor oleh seorang lelaki. Kejar mengejar pun terjadi.
Akhirnya siburonan tertangkap juga malam itu, sekira jam 23.00.
Dari mulut M diketahui di mana hostes Ningsih dikubur. M dan BES
pun disekap di dalam sel untuk pemeriksaan selanjutnya.
"Ini jelas suatu pembunuhan yang keji dan berencana", ujar Lettu
1. Simanjuntak, Kepala Reserse Komando Distrik 2061 Kisaran pada
TEMPO pada 30 Oktober yang lalu di kantornya. Hanya apa motifnya
belum begitu jelas. Yang sudah pasti dari pengakuan para
tersangka, hostes Ningsih memang sedang mengandung. Karena itu
keras dugaan kalau kematian itu karena usaha abortus yang salah
cara, di samping sebab-sebab lain seperti yang diterangkan
hostes Suryani pada Buk Samprah tadi.
Memang seperti diakui Lettu 1. Simanjuntak, BES dalam
pemeriksaan selalu mengelakkan tanggungjawabnya atas kejadian
itu. Dan isterinya pun nampak kompak mengakui seolah-olah dialah
yang bertanggung jawab sedangkan suaminya tidak tahu menahu.
Menurut M pada polisi cerita kematian hostes Ningsih begini.
Pada 26 Agustus Ningsih sakit perut -- apa penyebab penyakit itu
tak dijelaskannya . Malamnya sakit Ningsih bertambah gawat, maka
sekira jam 23.00 disuruhlah BES bersama Paring, 16 tahun,
pembantu mereka, mencari beca guna membawa si sakit ke rumah
sakit. Keduanya pergi naik sepeda motor. Entah apa sebabnya
sampai jam 01.00 yang mencari beca tak kunjung datang dan
Ningsih meninggal dunia.
Keterangan Paring
Sendirian saja -- masih pengakuan M -- mayat Ningsih digendong
M. Kemudian dikuburkan di dalam lobang sampah yang memang telah
ada seminggu sebelumnya. Sekitar jam 02.00 sudah 27 Agustus
1976, BES dan Paring baru datang dengan beca, dan ditunggu M di
samping Bukit Katharina. "Sudahlah becanya pulangkan saja,
Ningsih sudah kuantar ke rumah sakit dengan beca yang kebetulan
singgah di sini", kata M pada suaminya. Keterangan itu jelas tak
bisa diterima. "Itu sudah diatur kan", ujar Lettu Simanjuntak.
Yang nampak lebih mirip ialah keterangan Paring, si pembantu di
restoran itu, yang rumahnya hanya berjarak 100 meter dari situ.
Menurut Paring, seperti yang diungkapkan Lettu Simanjuntak pada
TEMPO, seminggu sebelum kejadian, Paring disuruh BES menggali
lobang yang katanya untuk tempat sampah. Timbul juga tandatanya
di benak anak muda tanggung ini, karena lobang itu sesuai dengan
petunjuk BES, seluas 2 kali 1 meter dan dalamnya hampir satu
meter. "Macam liang lahat saja", begitu kira-kira pikir Paring.
Namun kerja itu diteruskannya juga tanpa banyak bertanya.
Pada malam kejadian itu, sebagaimana biasanya, dia tidur di
tingkat dua restoran. Malam itu mereka hanya 4 orang yaitu
Paring sendiri, BES, M dan Ningsih. Sedangkan pembantu yang
lain, Sudiman dan seorang lagi wanita bernama Asri, entah
mengapa disuruh BES mengungsi ke rumah tetangga mereka yang
bernama Lepak. "Malam ini mau ada razzia jadi kamu ngungsi
dulu", begitu perintah BES pada mereka.
Sekira jam 23.00, Paring dibangunkan dari tidurnya. Dan
didengarnya suara mengerang kesakitan. "Ayok cari beca, untuk
bawa Ningsih ke rumah sakit" ajak BES dan mereka pun berangkat
dengan sepeda motor.Hampir satu jam kemudian beca mereka bawa,
tapi M sudah menunggu di jalan raya. "Ningsih sudah diantar ke
rumah sakit", ujarnya pada BES. Merekapun masuk ke dalam rumah
berbisik-bisik. Apa yang dibicarakan tak terdengar oleh Paring:
Kemudian dia disuruh pulang. "Kau tidur di rumah saja malam
ini", perintah BES padanya. Mengherankan juga bagi Paring.
"Orang lain tak ada di sini kok saya disuruh pulang", pikirnya.
Malam itu Paring tak bisa tidur. Dia asyik berpikir, apa
salahnya sampai dia disuruh pulang malam itu. Lebih kurang satu
jam kemudian dia mendengar suara jeritan sayup-sayup sampai:
"Aduh... mak-ee mati aku". "Itu suara Ningsih", pikir Paring.
Tapi dia sudah dikirim ke rumah sakit, apa sudah pulang?
Kemudian datang pula pikiran lain di benaknya. "Mungkin itu
kuntilanak penjaga bukit".
Beberapa saat kemudian terdengar pula suara gonggongan anjing
milik BES. Timbul pula tandatanya di diri Paring. "Di rumah
hanya ada pak BES dan ibu, kok ada gonggongan anjing. Apa ada
orang datang". Karena Paring ingin tahu, dia keluar dari
rumahnya seorang diri. Di kejauhan di belakang rumah majikannya
dilihatnya sorotan lampu senter. Paringpun megendap-endap
mengintip. Dari jarak lebih kurang 50 meter dilihatnya seorang
wanita berbaju rok di belakang rumah BES dan juga ada seorang
lelaki memegang senter. "Oh ibu sama pak BES, ngapain mereka di
belakang rumah?" pikir Paring lagi. Tapi dia tak mengusut
persoalan itu dan terus pergi tidur.
Keesokan harinya pagi-pagi dia sudah ke rumah BES. Sebagaimana
biasa pagi itu Paring membersihkan rumah dan halaman. Ketika mau
membuang sampah dilihatnya lobang sampah sudah tertutup.
Ditanyanya M: "Buk... lobang sampah kok ditutup?"
M menjawab, semalam anjing mereka yang bernama Toto masuk ke
dalam lobang sampah. Jadi atas perintah BES lobang itu ditutup.
"Tapi semalam sore masih belum ditutup, kapan ditutupnya?"
Paring bertanya. Dengan wajah cemberut M berkata: "Kalau tak
percaya tanyalah sama bapakmu (maksudnya BES)". Melihat M kurang
senang atas pertanyaannya itu Paring pun lantas diam saja. "Baru
sekarang saya tahu kalau di dalam lobang sampah itu Ningsih yang
dikubur", ujar Pariing pada Polisi. Jadi dari keterangan Paring,
jelas kira-kira bagaimana duduk kejadian itu.
Beberapa orang tetangga dekat Samosir juga mendengar jeritan di
malam kejadian itu di belakang Restoran Sampagul. Sehingga
mereka mereka-reka kalau Ningsih sebenarnya masih hidup ketika
dikubur BES dan isterinya.
Di samping BES dan M, ada seorang lagi yang ditahan polisi,
yaitu BS (18 tahun), pelajar STM Pcmda Asahan kelas III, anak
kandung BES. Dia ditahan sejak 21 Oktober yang lalu. Kiranya
setelah Ningsih dikubur di bekas lobang pembuangan sampah tadi,
di atasnya dibuat bangku-bangku dari kayu tempat bersantai.
Dengan begitu orang tak menyangka kalau di bawah bangku tempat
para tetamu bercumbu dengan hostes adalah kuburan Ningsih. Nah,
BS-lah yang membuat bangku-bangku itu sehingga keras dugaan
kalau dia terlibat dalam kasus itu.
"Jadi perkaranya sudah hampir jelas", ujar Lettu I. Simanjuntak
pada TEMPO. Menurut Simanjuntak, petunjuk dari hasil pemeriksaan
alat-alat tubuh bahagian dalam Ningsih yang dibawa ke
Laboratorium Pathologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU Medan
memang pegang peranan penting juga. Apalagi menurut letnan
polisi itu, di samping alat-alat tadi juga turut diperiksa
sebungkah tanah berwarna hitam yang persis berada di bawah
pantat mayat Ningsih. Diduga tanah itu menjadi hitam karena
darah yang keluar dari rahim Ningsih lantaran abortus, atau
boleh jadi juga karena tendangan yang diberikan M.
BES, si pemilik Sampagul punya cerita unik juga. Dari arsip
polisi diketahui pada 1964 yang lalu ia dihukum 4 tahun penjara
karena melakukan pembunuhan terhadap seorang lelaki bernama
Jotar Pane di Kampung Sungai Baleh, Kecamatan Tanjung Tiram,
(Kabupaten Asahan). Pembunuhan itu terjadi karena rebutan
seorang perempuan pesanan.
Tahun 1967 dia keluar penjara Labuhan Ruku setelah habis masa
hukumannya. Entah bagaimana ia berhasil menjadi pentolan
organisasi tani SOKSI di Tanjung Tiram, dan turut terlibat dalam
kasus rebut-rebutan tanah di Ujung Kubu, yang peristiwanya
sempat juga bikin pusing kepala Bupati Asahan H. Abdul Manan
Simatupang.
Diobrak-abrik
Kejadian matinya hostes Ningsih alias Ngatiyem dengan cara
menyedihkan itu cukup jadi buah bibir masyarakat Kisaran.
Apalagi koran-koran Medan menyiarkan berita itu dalam halaman
utama dan menyolok. Dan pada 28 Oktober yang lalu, lebih kurang
50 pemuda dan pemudi sekira jam 15.00 berkumpul di restoran
Sampagul. Bangunan restoran yang permanen itu dilempari batu dan
kayu, pagarnya diobrak abrik sampai-sampai tiang pintu gerbang
restoran yang terbuat dari batu roboh berantakan. Dinding
bangunan dapurnya yang terbuat dari papan bolong-bolong, atap
sengnya semua berantakan penyet dan pesot karena hujan batu.
Sedang tiang antena televisi sempat bengkok-bengkok. Konon massa
yang mengamuk itu sempat berteriak: "Ganyang BES, agen lendir".
Sempat juga ada yang bcrusaha mau membakar restoran itu sehingga
anak dan orang tua BES yang menunggu rumah itu mengunci pintu,
bersembunyi sambil berteriak: "Tolong . . . tolong . . .sudahlah
itu".
Untunglah polisi dengan cepat turun tangan mengamankan situasi,
sehingga kejadian yang lebih fatal dapat terelakkan. Dua orang
ditahan karena kejadian itu. Fahrijal, 16 tahun pelajar Sekolah
Tehnik Negeri Kisaran dan seorang lagi Madiyah, 15 tahun juga
pelajar. Menurut Lettu 1. Simanjuntak tak ada latar belakang
apa-apa dalam kejadian itu. Juga tak ada yang mendalangi.
"Mereka hanya terpancing emosi karena solider atas kejadian itu"
ujar Simanjuntak. Begitupun, menurutnya hukum mesti ditegakkan.
Itu berarti kedua pemuda tanggung yang masih pelajar itu harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hakim. "Karena
mereka main hakim sendiri" kata Simanjuntak serius.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini