Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tragedi Sampagul Di Kaki Katharina

Ngatiyem alias ningsih, 20, anak sandimin bekerja sebagai hostes restoran sampagul, kisaran sumatera utara. dibunuh pemilik restoran yang merangkap germo. uang ningsih digelapkan sang germo. (krim)

20 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU setengah kilometer arah ke barat dari pinggiran kota Kisaran (Kab. Asahan, Sumatera Utara) ada sebuah bukit. Di pinggirnya mengalir Sungai Silau yang membelah kota Kisaran. Romantis juga di sana sehingga tak heran di hari Minggu, bukit yang bernama Katharina itu (karena tak jauh dari sana terletak Rumah Sakit Katharina milik PT Uni Royal Kisaran) ramai dikunjungi muda mudi untuk bersantai. Selain itu, bukit Katharina ini punya fungsi lain lagi, yaitu tempat melepas nazar. Konon di sana dulunya ada seorang keramat bernama Datuk Ibrahim, yang pada akhir hayatnya menjelma menjadi buaya yang keramat mendiami Sungai Silau, di sebelah bukit itu. Pada musim Toto yang lalu bukit ini ramai tempat orang mencari nomor. Tak jelas siapa yang membangunnya, di puncak bukit ada sebuah kelenteng kecil yang senantiasa diasapi dengan gaharu oleh orang-orang yang berlepas nazar (umumnya orang Tionghoa). Lebih setahun terakhir ini, di kaki bukit tersebut berdiri sebuah restoran yang kemudian diberi merk SAMPAGUL milik BES, 43 tahun. Untuk membuat restorannya ramai disinggahi pengunjung, pelayannya terdiri dari wanita-wanita cantik, yang kemudian disinyalir berpraktek luar dalam. Karena itu restoran Samosir berulangkali jadi sasaran team Gurdak kantor bupati Asahan (Team Gurdak dibentuk dalam rangka merealisir tekad Bupati Asahan H. Abdul Manan Simatupang untuk mengharamkan Asahan dari pelacur, TEMPO, 14 Agustus 1976). Tapi berkat kelihaian BES yang dibantu isterinya M, 30, tak sekalipun team Gurdak berhasil mengkaut WTS dari sana. Di Bawah Bangku Dan praktek restoran itupun berlangsung terus, meski menurut Camat Kisaran, Zulkarnaen BA kepada TEM PO restoran itu tidak punya izin. Dan akhir akhir ini bukit Katharina dijuluki anak-anak muda dengan "Bukit Samosir". Sering terdengar dialok antara tukang beca dengan langganan yang kebetulan nampaknya orang luar begini: "Mau santai, ke bukit Samosir saja, di sana aman dari gerebekan". Inilah yang terjadi pada Jumat siang 22 Oktober 1976. Serombongan petugas polisi dari Komdis 2061 Kisaran dipimpin langsung oleh Komandan Distrik Kapten Katiran, Carnat Kisaran Zulkarnaen BA, dr. Darmansyah dari RS Kisaran tak ketinggalan Kepala Kampung Sei Renggas, berkumpul di restoran milik BES. Sekitar jam 11.00, atas petunjuk BES dan M, rombongan menuju ke belakang restoran. Lebih kurang 30 meter di belakang restoran, ditemukan bangku-bangku dari kayu yang nampaknya digunakan sebagai tempat sang hostes berkencan dengan langganannya. M berhenti. Kepada Kapten Katiran, berkata: "Di bawah bangku inilah pak, dia saya kuburkan". Segera bangku-bangku itu dibongkar petugas dan kemudian tanah digali. Kira-kira pada kedalaman hampir satu meter, ditemukanlah sesosok mayat wanita yang membersitkan bau sengit. Mayat itu dalam posisi telentang, masih memakai baju longdress warna merah jambu berbunga, dibungkus dengan tikar. Wajahnya memang sulit untuk dikenali karena sudah hancur. Tapi bahwa dia wanita, dapat dikenali dari rambutnya yang panjang dan payudaranya yang besar. Mayat itu ditaksir sudah dua bulan dikubur. Mayat yang sudah busuk ini kemudian dibawa ke Rumah Sakit Umum Kisaran untuk diperiksa. Menurut dr. Darmansyah Harahap, Kepala RSU Kisaran kepada TEMPO pada 22 Oktober, sulit untuk mengetahui sebab musabab kematian si mayat, karena ketiadaan alat-alat di RSU Kisaran. Karena itu menurutnya alat-alat dalam yang penting dari mayat itu (termasuk rahimnya) dikirimkan ke Laboratorium Pathologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU Medan, guna pemeriksaan yang lebih selektif dan akurat . Siapa wanita yang sudah menjadi mayat membusuk itu? Dia adalah Ngatiyem (20 tahun), anak Sandimin (50 tahun), karyawan PTP V Sungai Dadap yang tinggal di kampung Tanjung Alam, Kecamatan Air Batu. Karena kesulitan hidup yang menghimpitnya (maklumiah karyawan rendah perkebunan) maka pak Sandimin terpaksa dengan rela melepas anak gadisnya itu pergi bekerja di kota Kisaran sebagai babu di rumah Zakaria, seorang pegawai kantor bupati Asahan. Buk Samprah Kurang jelas apa sebabnya, sekitar 5 bulan yang lalu Ngatiyem pindah kerja selaku pelayan sekaligus hostes, di warung Sampagul. "Weslah, pokoke jogo awakmu sing apik-apik (maksudnya: jaga dirimu baik-baik)", begitu petuah pak Sandimin suatu kali ketika anaknya itu menerangkan bahwa dia sudah pindah kerja di warung Sampagul. Nasehat tersebut diberikannya, karena ia mendengar hal yang kurang baik tentang restoran tempat anaknya bekerja. Ada juga yang membesarkan hati Sandimin, yaitu anaknya nampak sudah pandai berdandan cara kota dan pakaiannya cantik-cantik. Tambahan lagi ketika dia pulang sebulan menjelang puasa yang lalu, adik-adiknya dibelikan baju baru. "Tentu gaji Ngatiyem besar kerja di sana", pikir pak Sandimin seperti dituturkannya pada TEM PO pada 22 Oktober yang lalu. Tapi kebesaran hati Sandimin berobah jadi kekhawatiran, ketika menjelang lebaran yang lalu Ngatiyem tak pulang ke kampungnya. Timbul kecurigaan di hati Sandimin sekeluarga ketika sampai pada Lebaran anaknya tak kunjung muncul. Maka pergilah abang ipar Ngatiyem, bernama Saeran menyusul ke warung Sampagul. Dapat keterangan langsung dari BES bahwa Ningsih (nama panggilan Ngatiyem setelah jadi hostes di warung remang-remang itu) sudah pulang ke kampung sejak puasa yang lalu. Tentu jawaban itu menghebohkan keluarga Sandimin. Kejadian itu dilaporkan pada Kepala Kampung Tanjung Alam, yaitu Kajiso. Atas inisiatif si kepala kampung kejadian itu dilaporkan pada polisi Komdis 2061 Kisaran. Polisi pun campur tanganlah. Usut sana usut sini, pencarian selalu kebentur jalan buntu. Keterangan, baik dari BES maupun M sulit diperoleh. Si pemilik restoran suami isteri selalu lebih banyak tutup mulut. "Ningsih sudah pulang kampung bulan puasa yang lalu setelah itu mana lagi kami tahu", hanya itu keterangan diperoleh. Sampai pada suatu hari. Seorang pedagang kain keliling yang dikenal dengan nama Buk Samprah, menyingkap tabir misteri raibnya hostes Ningsih alias Ngatiyem. Si ibu ini katanya bertemu dengan Suryani, seorang bekas hostes teman Ngatiyem. Si hostes bercerita bahwa temannya Ngatiyem berbadan dua, lalu atas perintah BES dan isterinya, Ngatiyem disuruh menggugurkan kandungannya dengan meminum sejenis obat, tak jelas obat jenis apa. Setelah itu perut Ningsih alias Ngatiyem selalu mulas. Tak itu saja, menurut Suryai alias Butet, mereka sering jadi objek pemerasan BES dan M. Uang Butet sebayak Rp 10 ribu, dari hasilnya melayani tamu tak pernah dibayar. Demikian juga dengan Ningsih. Sebanyak Rp 20 ribu uangnya juga kena lalap sang germo. Suryani Suatu hari menjelang puasa, menurut penuturan Suryani pada Samprah, Ningsih yang perutnya sedang kumat dipaksa M melayani tamu. Dia menolak dengan alasan perutnya sakit, akibatnya terjadi pertengkaran. Ketika itulah Ningsih bermaksud mau berangkat dari sana dan meminta uangnya yang Rp 20 ribu itu. M mengatakan, uang itu telah habis untuk dibayarkan pada oknum tertentu supaya restoran mereka jangan dirazia. Pertengkaran jadi sengit, akhirnya M menendang perut Ningsih. Setelah itu sakit Ningsih bertambah parah dan meninggal dunia pada suatu malam. Kemudian ia dikuburkan M dan BES di belakang rumah (restoran). Berbekal keterangan Samprah ini, polisi mencari Suryani guna memperoleh petunjuk lebih lanjut. Kiranya sang hostes tak ada lagi di Sampagul. Menurut keterangan sudah minggat ke Medan. Akhirnya BES lah yang dipegang polisi. Pada 21 Oktober pagi, BES ditangkap atas perintah Kapten Katiran. Di hadapan polisi BES mengelak harus bertanggung jawab atas kematian Ningsih. "ltu semua isteri saya yang tahu", kelahnya membela diri. Siang itu juga M dicari. Ternyata tak ada lagi di restoran Sampagul, sudah kabur. Polisi segera memburu. Akhirnya M ditemukan di Kampung Tanah Datar, Kecamatan Talawi, 25 Km dari Kisaran. Wanita itu melarikan diri dengan digonceng sepeda motor oleh seorang lelaki. Kejar mengejar pun terjadi. Akhirnya siburonan tertangkap juga malam itu, sekira jam 23.00. Dari mulut M diketahui di mana hostes Ningsih dikubur. M dan BES pun disekap di dalam sel untuk pemeriksaan selanjutnya. "Ini jelas suatu pembunuhan yang keji dan berencana", ujar Lettu 1. Simanjuntak, Kepala Reserse Komando Distrik 2061 Kisaran pada TEMPO pada 30 Oktober yang lalu di kantornya. Hanya apa motifnya belum begitu jelas. Yang sudah pasti dari pengakuan para tersangka, hostes Ningsih memang sedang mengandung. Karena itu keras dugaan kalau kematian itu karena usaha abortus yang salah cara, di samping sebab-sebab lain seperti yang diterangkan hostes Suryani pada Buk Samprah tadi. Memang seperti diakui Lettu 1. Simanjuntak, BES dalam pemeriksaan selalu mengelakkan tanggungjawabnya atas kejadian itu. Dan isterinya pun nampak kompak mengakui seolah-olah dialah yang bertanggung jawab sedangkan suaminya tidak tahu menahu. Menurut M pada polisi cerita kematian hostes Ningsih begini. Pada 26 Agustus Ningsih sakit perut -- apa penyebab penyakit itu tak dijelaskannya . Malamnya sakit Ningsih bertambah gawat, maka sekira jam 23.00 disuruhlah BES bersama Paring, 16 tahun, pembantu mereka, mencari beca guna membawa si sakit ke rumah sakit. Keduanya pergi naik sepeda motor. Entah apa sebabnya sampai jam 01.00 yang mencari beca tak kunjung datang dan Ningsih meninggal dunia. Keterangan Paring Sendirian saja -- masih pengakuan M -- mayat Ningsih digendong M. Kemudian dikuburkan di dalam lobang sampah yang memang telah ada seminggu sebelumnya. Sekitar jam 02.00 sudah 27 Agustus 1976, BES dan Paring baru datang dengan beca, dan ditunggu M di samping Bukit Katharina. "Sudahlah becanya pulangkan saja, Ningsih sudah kuantar ke rumah sakit dengan beca yang kebetulan singgah di sini", kata M pada suaminya. Keterangan itu jelas tak bisa diterima. "Itu sudah diatur kan", ujar Lettu Simanjuntak. Yang nampak lebih mirip ialah keterangan Paring, si pembantu di restoran itu, yang rumahnya hanya berjarak 100 meter dari situ. Menurut Paring, seperti yang diungkapkan Lettu Simanjuntak pada TEMPO, seminggu sebelum kejadian, Paring disuruh BES menggali lobang yang katanya untuk tempat sampah. Timbul juga tandatanya di benak anak muda tanggung ini, karena lobang itu sesuai dengan petunjuk BES, seluas 2 kali 1 meter dan dalamnya hampir satu meter. "Macam liang lahat saja", begitu kira-kira pikir Paring. Namun kerja itu diteruskannya juga tanpa banyak bertanya. Pada malam kejadian itu, sebagaimana biasanya, dia tidur di tingkat dua restoran. Malam itu mereka hanya 4 orang yaitu Paring sendiri, BES, M dan Ningsih. Sedangkan pembantu yang lain, Sudiman dan seorang lagi wanita bernama Asri, entah mengapa disuruh BES mengungsi ke rumah tetangga mereka yang bernama Lepak. "Malam ini mau ada razzia jadi kamu ngungsi dulu", begitu perintah BES pada mereka. Sekira jam 23.00, Paring dibangunkan dari tidurnya. Dan didengarnya suara mengerang kesakitan. "Ayok cari beca, untuk bawa Ningsih ke rumah sakit" ajak BES dan mereka pun berangkat dengan sepeda motor.Hampir satu jam kemudian beca mereka bawa, tapi M sudah menunggu di jalan raya. "Ningsih sudah diantar ke rumah sakit", ujarnya pada BES. Merekapun masuk ke dalam rumah berbisik-bisik. Apa yang dibicarakan tak terdengar oleh Paring: Kemudian dia disuruh pulang. "Kau tidur di rumah saja malam ini", perintah BES padanya. Mengherankan juga bagi Paring. "Orang lain tak ada di sini kok saya disuruh pulang", pikirnya. Malam itu Paring tak bisa tidur. Dia asyik berpikir, apa salahnya sampai dia disuruh pulang malam itu. Lebih kurang satu jam kemudian dia mendengar suara jeritan sayup-sayup sampai: "Aduh... mak-ee mati aku". "Itu suara Ningsih", pikir Paring. Tapi dia sudah dikirim ke rumah sakit, apa sudah pulang? Kemudian datang pula pikiran lain di benaknya. "Mungkin itu kuntilanak penjaga bukit". Beberapa saat kemudian terdengar pula suara gonggongan anjing milik BES. Timbul pula tandatanya di diri Paring. "Di rumah hanya ada pak BES dan ibu, kok ada gonggongan anjing. Apa ada orang datang". Karena Paring ingin tahu, dia keluar dari rumahnya seorang diri. Di kejauhan di belakang rumah majikannya dilihatnya sorotan lampu senter. Paringpun megendap-endap mengintip. Dari jarak lebih kurang 50 meter dilihatnya seorang wanita berbaju rok di belakang rumah BES dan juga ada seorang lelaki memegang senter. "Oh ibu sama pak BES, ngapain mereka di belakang rumah?" pikir Paring lagi. Tapi dia tak mengusut persoalan itu dan terus pergi tidur. Keesokan harinya pagi-pagi dia sudah ke rumah BES. Sebagaimana biasa pagi itu Paring membersihkan rumah dan halaman. Ketika mau membuang sampah dilihatnya lobang sampah sudah tertutup. Ditanyanya M: "Buk... lobang sampah kok ditutup?" M menjawab, semalam anjing mereka yang bernama Toto masuk ke dalam lobang sampah. Jadi atas perintah BES lobang itu ditutup. "Tapi semalam sore masih belum ditutup, kapan ditutupnya?" Paring bertanya. Dengan wajah cemberut M berkata: "Kalau tak percaya tanyalah sama bapakmu (maksudnya BES)". Melihat M kurang senang atas pertanyaannya itu Paring pun lantas diam saja. "Baru sekarang saya tahu kalau di dalam lobang sampah itu Ningsih yang dikubur", ujar Pariing pada Polisi. Jadi dari keterangan Paring, jelas kira-kira bagaimana duduk kejadian itu. Beberapa orang tetangga dekat Samosir juga mendengar jeritan di malam kejadian itu di belakang Restoran Sampagul. Sehingga mereka mereka-reka kalau Ningsih sebenarnya masih hidup ketika dikubur BES dan isterinya. Di samping BES dan M, ada seorang lagi yang ditahan polisi, yaitu BS (18 tahun), pelajar STM Pcmda Asahan kelas III, anak kandung BES. Dia ditahan sejak 21 Oktober yang lalu. Kiranya setelah Ningsih dikubur di bekas lobang pembuangan sampah tadi, di atasnya dibuat bangku-bangku dari kayu tempat bersantai. Dengan begitu orang tak menyangka kalau di bawah bangku tempat para tetamu bercumbu dengan hostes adalah kuburan Ningsih. Nah, BS-lah yang membuat bangku-bangku itu sehingga keras dugaan kalau dia terlibat dalam kasus itu. "Jadi perkaranya sudah hampir jelas", ujar Lettu I. Simanjuntak pada TEMPO. Menurut Simanjuntak, petunjuk dari hasil pemeriksaan alat-alat tubuh bahagian dalam Ningsih yang dibawa ke Laboratorium Pathologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU Medan memang pegang peranan penting juga. Apalagi menurut letnan polisi itu, di samping alat-alat tadi juga turut diperiksa sebungkah tanah berwarna hitam yang persis berada di bawah pantat mayat Ningsih. Diduga tanah itu menjadi hitam karena darah yang keluar dari rahim Ningsih lantaran abortus, atau boleh jadi juga karena tendangan yang diberikan M. BES, si pemilik Sampagul punya cerita unik juga. Dari arsip polisi diketahui pada 1964 yang lalu ia dihukum 4 tahun penjara karena melakukan pembunuhan terhadap seorang lelaki bernama Jotar Pane di Kampung Sungai Baleh, Kecamatan Tanjung Tiram, (Kabupaten Asahan). Pembunuhan itu terjadi karena rebutan seorang perempuan pesanan. Tahun 1967 dia keluar penjara Labuhan Ruku setelah habis masa hukumannya. Entah bagaimana ia berhasil menjadi pentolan organisasi tani SOKSI di Tanjung Tiram, dan turut terlibat dalam kasus rebut-rebutan tanah di Ujung Kubu, yang peristiwanya sempat juga bikin pusing kepala Bupati Asahan H. Abdul Manan Simatupang. Diobrak-abrik Kejadian matinya hostes Ningsih alias Ngatiyem dengan cara menyedihkan itu cukup jadi buah bibir masyarakat Kisaran. Apalagi koran-koran Medan menyiarkan berita itu dalam halaman utama dan menyolok. Dan pada 28 Oktober yang lalu, lebih kurang 50 pemuda dan pemudi sekira jam 15.00 berkumpul di restoran Sampagul. Bangunan restoran yang permanen itu dilempari batu dan kayu, pagarnya diobrak abrik sampai-sampai tiang pintu gerbang restoran yang terbuat dari batu roboh berantakan. Dinding bangunan dapurnya yang terbuat dari papan bolong-bolong, atap sengnya semua berantakan penyet dan pesot karena hujan batu. Sedang tiang antena televisi sempat bengkok-bengkok. Konon massa yang mengamuk itu sempat berteriak: "Ganyang BES, agen lendir". Sempat juga ada yang bcrusaha mau membakar restoran itu sehingga anak dan orang tua BES yang menunggu rumah itu mengunci pintu, bersembunyi sambil berteriak: "Tolong . . . tolong . . .sudahlah itu". Untunglah polisi dengan cepat turun tangan mengamankan situasi, sehingga kejadian yang lebih fatal dapat terelakkan. Dua orang ditahan karena kejadian itu. Fahrijal, 16 tahun pelajar Sekolah Tehnik Negeri Kisaran dan seorang lagi Madiyah, 15 tahun juga pelajar. Menurut Lettu 1. Simanjuntak tak ada latar belakang apa-apa dalam kejadian itu. Juga tak ada yang mendalangi. "Mereka hanya terpancing emosi karena solider atas kejadian itu" ujar Simanjuntak. Begitupun, menurutnya hukum mesti ditegakkan. Itu berarti kedua pemuda tanggung yang masih pelajar itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hakim. "Karena mereka main hakim sendiri" kata Simanjuntak serius.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus