SEORANG ibu, Selasa pekan lalu, menulis surat pembaca di ha- rian Kompas. Ia kecewa kepada hakim di Pengadilan Negeri Boyolali, yang hanya menghukum 1,5 tahun kepada pelaku pemerkosaan empat gadis di bawah umur. Vonis ringan yang mengganggu ibu itu memang diputuskan di Pengadilan Negeri Boyolali, Jawa Tengah. Dijatuhkan oleh Hakim Soeryani, pada 16 Desember 1992, kepada terdakwa Redjosuwito, 60 tahun, penduduk Desa Ngesrep, Kecamatan Ngemplak, Boyolali. Jaksa menuduh ia memerkosa empat gadis cilik. Salah satu korbannya, gadis idiot yang diperkosanya berulang kali. Perbuatan itu dilakukan pada tahun 1990 hingga 1992. Putusan pengadilan itu sempat meresahkan para orang tua. Ibu-ibu yang tergabung dalam PKK Boyolali mengirim surat ke pengadilan, minta agar pelaku dihukum berat. Tapi Hakim Soeryani bergeming. Alasannya, berdasarkan visum dokter, dari empat korban pemerkosaan, cuma satu yang selaput daranya koyak. Menurut pengakuan terdakwa, gadis-gadis itu cuma dipermainkannya. Bak menyambut gayung protes tersebut, nun jauh di sebuah kota kecil, Hakim Ismail dari Pengadilan Negeri Lubukbasung, Sumatera Barat, tak memberi ampun seorang pemerkosa. Juli, 35 tahun, Selasa dua pekan lalu dihukumnya 11 tahun penjara karena terbukti memerkosa gadis kecil berusia empat tahun. Di persidangan, Juli, ayah tiga anak, penduduk Dusun Kotomarapak, Desa Tapiankandih, Kabupaten Agam, mengaku te- rus terang. Ia memerkosa Denti (nama samaran) putri tetangga yang juga masih ada hubungan keluarga, karena sudah sebulan lebih memendam birahi. ''Istri saya baru dua hari melahirkan,'' katanya. Niat jahatnya timbul ketika ia hendak ke hutan mencari kayu. Ia melihat Denti yang tak memakai celana dalam. Birahinya menggelegak. Di hutan, gejolak itu tak dapat diredamnya. Ia balik, mencari Denti. Di rumah, Denti hanya ditemani dua adiknya yang masih kecil karena kedua orang tuanya pergi ke hutan mencari kayu. Juli membujuk Denti ke belakang rumah, katanya untuk diobati. Tapi ternyata di situlah Juli melepaskan hajatnya dengan paksa. Dalam keadaan hampir pingsan, Denti, yang tergeletak di tanah, ditinggal lari. Sore hari, orang tua Denti mendapatkan Denti sedang tidur. Sampai tengah malam, Denti tak juga terjaga. Paginya, suami- istri itu panik. Ketika membuka mata dan menatap ibunya, anak itu menjerit histeris, lalu kejang-kejang. Ia terlihat amat ketakutan. Baru beberapa saat kemudian, Denti menggerakkan tangannya, menunjuk kemaluannya yang membengkak dan merah. Denti menyebut sakitnya itu karena ''diobati'' Juli dengan paksa. Hari itu juga ia dibawa ke puskesmas. Hasil visum jelas: ia diperkosa. Kabar itu cepat tersiar. Sejumlah pemuda ramai-ramai menangkap Juli dan mengaraknya ke balai desa. ''Maafkan saya. Saya khilaf, kena hasutan iblis,'' kata Juli berkali- kali kepada mereka yang mengarak. Di persidangan, Juli mula-mula mencoba mungkir. Namun, ketika korban dihadapkan sebagai saksi, Juli langsung pucat dan tak berani menatap. Sedangkan Denti, begitu melihat terdakwa, langsung histeris dan kembali mengalami kejang- kejang. ''Saya memang bersalah, Pak Hakim, tapi tolong jangan dihukum berat karena anak saya masih kecil,'' pinta Juli yang tak mau didampingi pembela. Jaksa Rofli Umar menuntut 10 tahun penjara. Tapi hakim Ismail memvonis 11 tahun penjara. Ismail sadar, hukuman yang dijatuhkannya memang berat. Seingatnya, hukuman itu kedua terberat, setelah putusan hakim Pengadilan Surabaya yang dua tahun lalu memvonis pemerkosa anak dengan hukuman 14 tahun penjara. ''Tapi putusan itu objektif tanpa terpengaruh oleh apa pun, dan hukuman itu sebanding dengan kesalahan terdakwa,'' kata alumni Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya itu. Alasan pemberat, karena terdakwa melupakan ajaran agamanya, menghilangkan rasa berkeluarga, dan tidak berperikema- nusiaan. ''Dilihat dari ajaran agama, hubungan keluarga, umur korban, dan rasa kemanusiaan, terdakwa seharusnya melindungi korban, bukan malah merusaknya,'' ujar Ismail. Seingat dia, sudah ada tujuh pemerkosa yang dijatuhinya hukuman berat (rata-rata di atas 5 tahun). Hal itu ia lakukan agar pelakunya jera dan masyarakat juga tercambuk.'' Pelaku pemerkosaan, katanya, amat berbahaya karena sulit dideteksi. ''Mereka bisa setiap saat muncul, dan mereka ada di mana-mana,'' katanya. Profesor Muladi, ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana Indonesia, mendukung vonis berat bagi pemerkosa yang dijatuhkan Ismail itu. ''Perbuatan pemerkosaan bisa dikategorikan perbuatan yang meresahkan masyarakat. Jika mereka dihukum ringan, pemerkosaan bisa merajalela di negeri ini. Akibatnya, orang merasa selalu terancam,'' katanya kepada Heddy Lugito dari TEMPO. ''Tindak pemerkosaan merupakan pelanggaran, sekaligus pengingkaran hak-hak asasi manusia. Jadi, sudah sepantasnya dihukum berat,'' ujarnya menambahkan. Hingga kini masih banyak hakim yang memvonis ringan pemerkosa, kendati protes berdatangan dari masyarakat, terutama organisasi wanita. Namun, dalam KUHP yang baru nanti, kata Muladi, yang juga anggota Tim Penyusun Rancangan KUHP, pemerkosa akan mendapat ancaman hukuman lebih berat. Sekarang masih ada hakim yang memvonis pemerkosa satu tahun penjara, tapi kelak tak mungkin lagi. Ancaman hukuman minimalnya 3 tahun penjara. Aries Margono, Kastoyo Ramelan (Solo) dan Fachrul Rasyid (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini