RAPBN 1993-94 belum dapat mengimbangi credit crunch di sektor perbankan untuk dapat memacu tingkat laju pertumbuhan ekonomi, menambah likuiditas perekonomian, mendorong ekspansi kredit perbankan, ataupun menurunkan tingkat suku bunga. Keterbatasan anggaran negara itu bersumber dari kelemahan sistem pajak dan penerimaan negara kita yang masih kaku, inefisien, dan regresif. Karena kelemahan itu, Pemerintah tidak dapat mengontrol berbagai faktor yang mempengaruhi sumber-sumber penerimaannya. Sementara itu, beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri Pemerintah akan mencapai puncaknya pada tahun ini. Penurunan net transfer, yang merupakan selisih antara pemasukan pinjaman baru dan pengeluaran bunga dan cicilan pokoknya, menurunkan dampak multiplier dan moneter RAPBN 1993-94. Kebijaksanaan moneter sejak awal Orde Baru bersifat akomodatif terhadap kebijaksanaan ''anggaran berimbang yang dinamis''. Dewasa ini, ruang gerak kebijaksanaan moneter semakin terbatas karena sistem perbankan nasional masih berada dalam periode transisi untuk menyesuaikan diri dengan era deregulasi. Masa transisi menjadi semakin sulit karena lemahnya infrastruktur sosial kita, belum berkembangnya pasar uang dan modal, serta tingginya kredit macet. Salah satu kelemahan infrastruktur sosial dewasa ini, otorita moneter masih memerlukan waktu agar mampu menjalankan tugas pokoknya sebagai bank sentral. Bank Indonesia pun masih perlu waktu untuk dapat meningkatkan kemampuannya dalam membuat kebijaksanaan moneter serta menjalankannya secara efisien. Dalam era deregulasi, kebijaksanaan moneter seyogianya dilakukan dengan menggunakan mekanisme pasar dan bukan melalui mekanisme komando maupun gebrakan-gebrakan. Otorita moneter pun belum berhasil mengembangkan pasar uang dan modal yang efisien. Kualitas transparansi dan mekanisme kerjanya masih perlu diperbaiki, sedangkan jenis instrumen serta volume transaksinya perlu ditambah. Karena belum adanya pasar finansial yang efisien, perbankan dan dunia usaha tidak mungkin dapat memobilisasi dana investasi jangka panjang maupun mengatasi masalah likuiditas jangka pendek. Tanpa adanya pasar finansial seperti itu tidak mungkin otorita moneter dapat melakukan kebijaksanaan moneter melalui operasi pasar (open market operation), seperti yang diharapkan oleh deregulasi. Di balik keterbatasan dampak RAPBN 1993-94 dan kebijaksanaan moneter yang telah diuraikan di atas, diperkirakan bahwa tingkat laju pertumbuhan ekonomi, stok jumlah uang beredar dan kredit, akan mulai meningkat kembali pada tahun 1993. Menurut perkiraan, tingkat laju pertumbuhan ekonomi akan meningkat dari 5,6% (1992) menjadi 6,3% (1993). Menurut sektor ekonomi, tingkat laju pertumbuhan di sektor pertanian meningkat dari 2,2% menjadi 3,6%, dan di sektor industri meningkat dari 7,2% menjadi 8,7%. Karena kesulitan yang masih akan dialami oleh industri keuangan dan perdagangan, tingkat laju pertumbuhan industri jasa-jasa diperkirakan menurun dari 5,5% menjadi 4,9%. Tekad Pemerintah untuk mengendalikan tingkat laju inflasi 5%-7% setahun dan meneruskan deregulasi akan memelihara stabilitas nilai tukar rupiah sehingga mengurangi keperluan untuk melakukan devaluasi. Karena keterbatasan kebijaksanaan fiskal dan moneter, harapan untuk memacu tingkat laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 1993 bersumber dari peningkatan produksi di sektor pertanian, ekspor nonmigas, investasi modal swasta, serta peningkatan efisiensi ekonomi nasional. Tingkat suku bunga yang mahal dan kenaikan tingkat harga barang kebutuhan pokok akhir-akhir ini membatasi peningkatan pengeluaran konsumsi masyarakat maupun investasi swasta nasional. Tambahan pembelanjaan peningkatan kegiatan ekonomi swasta, pada tahun 1993, terutama diharapkan akan bersumber dari pemasukan langsung modal dari luar negeri. Sumber lainnya adalah dari ekspansi kredit cabang bank asing serta bank campuran. Peranan pasar (market share) kelompok bank asing, di pasar kredit, telah semakin meningkat dari 5,4% (1988) menjadi 7,8% (1991). Nasabah mereka yang terpenting adalah perusahaan asing yang merupakan produsen dan eksportir terpenting komoditi ekspor nonmigas kita. Di luar kredit program, ekspansi kredit oleh kelompok bank nasional (bank negara dan swasta) belum banyak meningkat pada 1993. Kelompok bank ini masih akan mengalami kesulitan untuk memenuhi CAR, LLL, LDR, dan KUK. Penghapusan kredit macet mengurangi keuntungan maupun cadangan mereka. Keadaan semakin bertambah berat karena lesunya perekonomian. Sementara itu, rentetan kejadian di bursa efek Jakarta dan berbagai bank swasta nasional telah mulai menimbulkan disintermediasi. Adanya erosi kepercayaan pada efek-efek dan perbankan menyebabkan masyarakat mengalihkan penyimpanan bentuk kekayaannya dari bentuk kekayaan finansial ke dalam bentuk kekayaan lainnya. Untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, makin diperlukan upaya yang lebih serius untuk menanggulangi kendala prasarana fisik, mempercepat deregulasi di sektor riil, dan pengadaan barang oleh sektor negara. Dalam rangka deregulasi ini, BUMN perlu ditata kembali agar menjadi lebih efisien. Sementara itu, perbaikan infrastruktur sosial, seperti sistem akuntansi dan sistem hukum nasional, perlu ditingkatkan. Adanya kepastian dan ketertiban hukum untuk memelihara transparansi dan kesehatan persaingan pasar merupakan prasyarat pokok bagi tercapainya sasaran deregulasi. Sasaran tersebut adalah untuk meningkatkan efisiensi perekonomian dan meningkatkan tabungan nasional, apakah dalam bentuk rupiah atau devisa. Meningkatnya keperluan untuk memperbaiki infrastruktur sosial, antara lain, tercermin dari lemahnya enforcement rangkaian Undang- Undang Perpajakan Tahun 1983-1985 maupun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang PerABbankan. Sistem hukum yang lemah menyebabkan rangkaian undang-undang tidak lebih dari ''macan kertas''.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini