Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai pendatang baru di Badan Pemeriksa Keuangan, karier Gatot Supiartono, 54 tahun, tergolong berjalan mulus. Modalnya, antara lain, kemampuan khusus dia di bidang audit investigasi. "Bila menyangkut dugaan pelanggaran oleh aparat hukum, dia ahlinya," kata seorang kolega Gatot, Kamis pekan lalu.
Tiga pekan ini nama Gatot jadi pembicaraan ramai di BPK serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, "almamater"-nya. Bukan lantaran mengungkap penyelewengan duit negara, melainkan terkait dengan pembunuhan Holly Angela alias Niken Hayu Winanti. Holly, 37 tahun, adalah istri siri Gatot. Dia meninggal setelah dianiaya di kamar apartemen di Tower Ebony, Kalibata City, Jakarta Selatan, pada 30 September lalu.
Salah seorang tersangka pembunuh Holly, Surya Hakim, mengaku mendapat perintah dari Gatot. Setelah menjalani pemeriksaan selama 12 Jam, Rabu pekan lalu, Gatot langsung ditahan penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya. Sang investigator andal resmi menjadi tersangka.
Gatot bergabung dengan BPK pada 2005. Sebelumnya, dia meniti karier di BPKP. Sebelum masuk BPKP pusat, ia bertugas di sejumlah kantor perwakilan BPKP, antara lain Padang.
Sewaktu bergabung dengan BPK, Gatot langsung masuk eselon II. Jabatan pertama dia Inspektur Utama Pengawasan Khusus. Gatot lalu dipromosikan ke eselon I-B, dengan jabatan Auditor Utama Keuangan Negara I. "Kemampuan investigasi dia layak diacungi jempol. Wajar bila kariernya melesat," kata sumber Tempo di BPK.
Posisi Gatot sebagai pejabat eselon I di BPK setara dengan Kepala Badan Reserse Kriminal di Markas Besar Kepolisian RI atau Jaksa Muda Pidana Khusus di Kejaksaan Agung. Bidang yang dia geluti sangat strategis. Wewenang Gatot di antaranya mensupervisi pemeriksaan keuangan di bidang politik, hukum, pertahanan, dan keamanan.
Lembaga besar yang diperiksa Gatot antara lain Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Luar Negeri, Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, serta Badan Intelijen Negara.
Gatot, misalnya, pernah mengaudit kasus simulator kemudi di Direktorat Lalu Lintas Polri dan kasus penyelamatan Bank Century. Sewaktu terjadi pembunuhan Holly, Gatot punya alibi. Dia tengah bertugas di Australia mengaudit Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Melbourne.
Andal dalam hal investigasi, di mata beberapa pegawai BPK, Gatot dianggap kurang luwes ketika bekerja sama dalam tim. "Dia mudah sekali mengeluarkan orang, terutama yang ia anggap tak memenuhi standar," ucap seorang auditor BPK yang tak mau disebut namanya.
Karakter Gatot yang kadang temperamental juga membuat beberapa orang sakit hati. Kebiasaan Gatot memarahi dengan kata kasar bila anak buah salah kurang disukai koleganya. Suatu hari, misalnya, Gatot pernah memarahi seorang pejabat eselon II dengan menyebutnya tak pantas menduduki jabatannya.
Tentu saja tak semua orang alergi dengan gaya Gatot. Seorang bekas anak buahnya memberi testimoni berbeda. Menurut dia, Gatot memang tegas dan tidak suka basa-basi. Sewaktu menilai orang lain, Gatot biasa berbicara blakblakan. Yang jelas, kata dia, Gatot tidak pernah mempersulit orang. "Pak Gatot suka memberi solusi bila bawahan mengalami kendala," ujarnya. Testimoni ini bahkan beredar di milis sejumlah alumnus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, tempat dulu Gatot menimba ilmu.
Gatot pun masih menjalin hubungan baik dengan beberapa bekas bawahan yang ia akui punya kecakapan mumpuni. Setelah pindah ke BPK, Gatot masih suka bertandang ke BPKP untuk berdiskusi seputar audit investigasi. Dia bahkan pernah meminta beberapa mantan anak buahnya di BPKP masuk ke BPK. "Tapi itu ditolak BPKP," kata teman Gatot di BPKP pusat.
Di tengah rutinitas kerja, Gatot kerap meluangkan waktu untuk melepaskan diri dari tekanan dan beban pekerjaan. MengunÂjungi tempat hiburan adalah salah satu pilihannya. Tempat yang kerap dikunjungi Gatot antara lain Grand Manhattan Club di lantai 1-3 Hotel Borobudur, Jakarta. Dia sudah beberapa tahun menjadi anggota klub di sini.
Mantan auditor BPK yang juga anggota klub di Manhattan bercerita, bagi orang seperti Gatot, pergi ke tempat hiburan kadang merupakan bagian dari tugas. Menurut dia, ada juga informan yang merasa terlindungi jati dirinya ketika berbicara di tempat hiburan.
Demi kepentingan tugas atau kesenangan pribadi, anggota klub bisa menghabiskan uang Rp 8-15 juta sekali datang ke klub sekelas Manhattan. Biaya itu termasuk untuk sewa kamar karaoke, membayar minuman, dan memberi tip kepada perempuan yang menemani. Di Manhattan, biaya minimum pemesanan satu kamar karaoke adalah Rp 1,5 juta. "Biaya bisa membengkak untuk minum, makan, dan tip," ujarnya.
Pejabat seperti Gatot, menurut si mantan auditor, biasanya tak sembarangan memilih tempat hiburan. Mereka menuntut jaminan keamanan dan privasi. Keamanan bukan semata dari gangguan fisik, melainkan juga dari kemungkinan terjebak dalam razia. "Tempat harus steril dari narkotik. Bila ada razia, aman," katanya.
Di Manhattan pula untuk pertama kali Gatot dan Holly bertemu sekitar lima tahun lalu. Setelah beberapa kali berjumpa, hati Gatot rupanya tertambat pada Holly. Sewaktu pacaran, sekitar 2008, keduanya pernah pelesiran ke Singapura. Foto-foto mereka berdua saat pelesiran ke Negeri Singa dan beberapa tempat lain ditemukan polisi di apartemen Holly. Pada 2011, keduanya melangsungkan pernikahan siri di Bandung.
Pengelola Grand Manhattan Club tak bisa memastikan Gatot sebagai anggota tetap klub. "Banyak sekali nama Gatot yang menjadi anggota di sini," ucap Andi, petugas di meja resepsionis, kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Andi pun mengaku tak mengenal Holly, yang fotonya beredar di berbagai media.
Holly pernah beberapa kali berkunjung ke kantor Gatot di gedung BPK. Biasanya perempuan itu datang seperti tamu pada umumnya. Belakangan, rekan kerja dan anak buah Gatot tahu bahwa Holly adalah istri siri Gatot.
Setelah menikah dengan Holly, Gatot masih kerap mengunjungi beberapa tempat hiburan malam. Sebaliknya, dia meminta Holly membatasi pergaulan. Tapi upaya Gatot "mengarantina" Holly tak mempan. Beberapa pedagang di Apartemen Kalibata City kerap melihat Holly berduaan makan dengan lelaki selain Gatot. Salah satunya Elriski, pelaku pembunuhan yang tewas setelah terjatuh dari kamar Holly di lantai 9.
Seorang pemilik restoran di Apartemen Kalibata City bercerita, sehari sebelum pembunuhan, Holly memesan dua porsi makanan dan dua bungkus rokok ke restorannya. "Padahal, setahu saya, suami dia sedang di luar negeri," kata perempuan yang tak mau disebut namanya itu.
Gatot rupanya sudah tahu tentang "pergaulan luas" istri sirinya itu. "Soal itu kadang menjadi sumber pertengkaran," ujar seorang sumber.
Pengacara Gatot, Afrian Bondjol, mengaku tak mengetahui aktivitas Gatot di klub malam. "Itu ranah pribadi yang tak terkait dengan kasus," kata Afrian.
Di luar sisi gelap pribadinya, menurut rekan-rekan kerjanya, hubungan Gatot dengan istri sahnya, Hasti Herbudianti, tampak harmonis. Gatot menikahi Hasti saat berumur 40 tahun. Kini dia memiliki seorang anak lelaki berusia 9 tahun dari Hasti. "Hasti aktif dalam kegiatan Dharma Wanita," ujar seorang kolega.
Gaji terakhir dan aneka tunjangan yang diterima Gatot sekitar Rp 40 juta per bulan. Dalam laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2010, Gatot mencantumkan kekayaan sebesar Rp 3,537 miliar dan US$ 100.369. Jumlahnya meningkat dari laporan tahun 2006, sebesar Rp 1,95 miliar dan US$ 101.465. Gatot memiliki tanah dan bangunan di Jakarta, Bekasi, Purworejo (Jawa Tengah), dan Pekanbaru.
Gatot bersama Hasti dan anaknya terakhir tinggal di Perumahan Taman Pulo Indah, Jalan Boulevard Utara, Cakung, Jakarta Timur. Tapi, sejak Gatot diberitakan terkait dengan kasus pembunuhan Holly, rumah itu selalu kosong. Lampu teras menyala ketika Tempo mengunjungi rumah itu, Kamis siang pekan lalu. Sampah dedaunan berserakan di pelataran rumah seluas 160 meter persegi itu. Di balik pagar, di depan garasi, terparkir sepeda motor berpelat nomor merah B-6952-PNQ.
Menurut Ketua Rukun Tetangga Bambang Sulistyono, keluarga Gatot tinggal di perumahan itu sejak Juni 2004. Sebelumnya, mereka pindahan dari Rawamangun. Selama tinggal di kompleks itu, Gatot dan istrinya bergaul baik dengan warga lain. "Dia ramah, tak pernah ada masalah," kata Bambang, Kamis pekan lalu.
Yuliawati, Jajang Jamaluddin, Febriyan, Afrilia Suryanis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo