Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA yang janggal dari hasil survei lembaga jajak pendapat belakangan ini. Sejumlah lembaga penelitian—Lembaga Survei Indonesia, Reform Institute, dan Cirus Surveyors Group—menyebutkan tingkat keterpilihan Partai Demokrat berada pada posisi teratas setidaknya dalam tiga bulan terakhir. Lembaga lain, Lingkaran Survei Indonesia dan Lembaga Survei Nasional, mengumumkan hasil berbeda: yang unggul adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Padahal penelitian itu dilakukan pada periode waktu yang relatif sama, dengan metodologi yang juga kurang-lebih tak banyak beda. Semua penelitian mengklaim menarik sampel secara acak, menyebar responden di banyak provinsi, dengan tingkat kesalahan penarikan sampel dalam batas yang bisa ditoleransi. Mestinya, jika sebuah jajak pendapat dilakukan dengan teknik dan waktu yang sama—plus diselenggarakan dengan jujur dan beretika—hasilnya tak akan jauh berbeda.
Jujur? Beretika? Itulah yang kini jadi omongan orang. Mengakali hasil jajak pendapat memang perkara mudah. Yang paling gampang adalah ”memainkan” angka-angka di layar komputer. Kalau mau sedikit canggih: responden dipilih tanpa random—meski kepada publik fakta itu disembunyikan. Supaya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menang, misalnya, responden diperbanyak di sekitar Blitar, tempat Bung Karno dimakamkan. Kalau mau Partai Demokrat unggul, responden dicurahkan di Pacitan, kampung Susilo Bambang Yudhoyono.
Bisa juga kongkalikong dilakukan ketika menyusun daftar pertanyaan. Umpamanya, supaya Partai Bekicot menang, nama partai itu diletakkan di urutan nomor satu dalam lembar jawaban. Misal lain, agar Partai Durian Runtuh dipilih responden, dalam pengantar pertanyaan disebutkan sejumlah keunggulan organisasi politik itu.
Motif main sabun mudah ditebak: lembaga polling memperoleh order dari partai yang mendapat keuntungan dari hasil jajak pendapat ”abal-abal” itu. Harapannya: publik terpengaruh dan memilih partai tersebut pada pemilu kelak.
Praktek kotor ini harus dihentikan. Idealnya, penyelenggara jajak pendapat tidak boleh merangkap menjadi konsultan politik agar tak ada konflik kepentingan. Kalaupun peneliti tergiur masuk bisnis konsultasi—karena bisnis ini, alamak, menjanjikan uang berlimpah—mereka harus menyatakannya secara terbuka. Tak boleh ada patgulipat, misalnya meminjam nama sanak famili agar kepemilikan saham di badan konsultasi tak diketahui publik. Sponsor klien terhadap sebuah polling harus dibuka kepada publik. Dengan demikian, masyarakat bisa memperkirakan tingkat kredibilitas jajak pendapat itu.
Usul sebagian orang agar dibentuk badan akreditasi untuk menyeleksi penyelenggara jajak pendapat juga terasa tidak pas. Soalnya, tidak ada jaminan badan itu bersih dari ”pelbagai campur tangan”. Selain itu, jajak pendapat tak boleh dikontrol oleh satu tangan kecuali kita ingin akses publik terhadap keragaman survei terhambat.
Akhirnya terpulang pada kesadaran para penyelenggara polling. Mereka harus sadar bahwa integritas adalah perkara prinsipiil yang tak bisa ditawar-tawar. Jajak pendapat ”pesanan” yang dibikin dengan cara akal-akalan, selain merontokkan kredibilitas, juga mencederai demokrasi. Pasar akan menjauh dan publik pun akhirnya tak mau percaya lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo