Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Harga jari dan tangan buruh

Wen ke alias keke yang buntung 6 jarinya akibat kecelakaan kerja di bengkel indometal, bandung, hanya menerima tunjangan rp 600 ribu. ia menuntut rp 100 juta. djaelani memenangkan ganti rugi rp 7 juta.

12 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARGA sebuah jari tangan ternyata tidak mahal. Sekitar Rp 100 ribu. Buktinya, Kantor Departemen Tenaga Kerja Bandung baru-baru ini hanya memutuskan uang tunjangan Rp 604.800 bagi seorang buruh bengkel teknik Indometal, Wen Ke alias Keke, 28 tahun, yang enam jari tangannya buntung akibat kecelakaan kerja di perusahaan itu. Karena tidak puas dengan harga yang dianggapnya murah itu, Keke dua pekan lalu menggugat pemilik Indometal dan Dapartemen Tenaga Kerja untuk membayar ganti rugi Rp 100 juta. Lelaki muda jebolan SMP itu diterima bekerja di bengkel Indometal pertengahan Maret lalu. Tapi baru seminggu bekerja di perusahaan yang juga memproduksi tempat rem sepeda, bis surat, dan alat perlengkapan ABRI itu, kecelakaan menimpanya. Ketika ia menangani mesin handpress, enam jari tangannya terjepit mesin pengepres logam seberat 25 ton itu. Hari itu juga, ia dibawa majikannya ke rumah sakit. "Jangan dipersoalkan, semua biaya akan ditanggung perusahaan. Kalau perlu, tanganya dioperasi plastik di luar negeri," kata Keke, menirukan salah seorang majikannya, Kuei Ing. Setelah 16 hari di rumah sakit, ia diperkenankan pulang membawa cacat abadinya. Ketika itu ia sadar siapa majikannya. Sebab, sebagian dari biaya rumah sakit, sekitar Rp 600 ribu, ternyata harus dibayar oleh keluarganya. Selain itu, ketika ia mencoba kembali masuk kerja, Awal Mei, ia hanya diberi gaji Rp 20.000. "Padahal, semula saya dijanjikan gaji Rp 60 ribu, tapi karena tidak masuk kerja akibat sakit itu upah saya dipotong," tutur Keke. Sebulan kemudian ia dipanggil oleh salah seorang majikannya, Tjiang Ta Peng alias Edi, dan diberi uang Rp 60.000. "Kamu tidak cocok kerja di sini bukan vaknya," kata Keke, menirukan Edi ketika memberhentikannya. Ia mengaku kaget ketika diberi tahu pemecatan dirinya itu, tapi tidak berani berbuat apa-apa. "Sebenarnya, sebelum saya, sudah lima orang yang mengalami kecelakaan serupa, dan juga diberhentikan dengan pesangon sekedarnya. Tapi karena orang kampung, dan di bawah umur, mereka menerima saja," tambah Keke. Keluarga Keke memang pernah mencoba menghubungi pihak Indometal untuk mendapatkan pesangon yang layak. Tapi gagal. Diam-diam rupanya Indometal sudah menghubungi Kantor Depnaker Bandung untuk menyelesaikan soal itu. Tanpa mendengar Keke, 27 Juli, Depnaker memutuskan Keke berhak mendapatkan pesangon Rp 604 ribu. Beberapa hari kemudian Keke dipanggil oleh Kantor Depnaker Bandung. "Saya kaget karena di panggilan itu disebutkan kalau saya tidak datang akan dipidana," tambahnya. Karena takut atas ancaman itulah Keke menghubungi Pengacara Attila Graziani Sjafei. Berdasarkan nasihat pengacara itu pula. Keke menolak pesangon yang ditetapkan Depnaker dan menggugat ganti rugi Rp 100 juta. "Depnaker itu tidak berhak mengadili dan memutuskan begitu. Perusahaan harus mempunyai tanggung jawab moral atas kecelakaan yang dialami buruh dalam pekerjaannya," kata Attila. Pihak Depnaker Bandung, ketika dihubungi TEMPO, mengatakan sebenarnya pihaknya dan juga pengusaha belum memutuskan Keke di-PHK-kan. Ia hanya diputuskan berhak mendapat tunjangan Rp 600 ribu. "Itu tunjangan. Bila ada kekeliruan, setelah mendengar pihak pekerja, ketetapan itu bisa diubah," kata pejabat Depnaker yang tidak bersedia disebut namanya itu. Panitera Kepala P4D Jawa Barat, H.M. Pasni, juga sependapat dengan rekannya di Kantor Depnaker Bandung. "Saya menyesalkan sikap Keke. Ia boleh saja menolak pesangon itu, tapi ajukan ke P4D. Jangan tahu-tahu menyewa pengacara," katanya. Sementara itu, pihak Indometal, melalui kuasanya, Eddy Wijaya, menganggap kecelakaan itu semata-mata karena kelalaian Keke. Setelah kecelakaan terjadi, kata Eddy, pihaknya juga telah membawa Keke ke rumah sakit dan membiayai pcngobatannya. Kecuali itu, sesuai dengan ketentuan undang-undang, kasus itu sudah pula dilaporkan ke Depnaker. Dan pihak Indometal pun bersedia membayar tunjangan sesuai dengan keputusan Depnaker. Indometal, masih menurut Eddy, juga bersedia menerima Keke bekerja kembali. Tapi, katanya, justru Keke yang menolak dan kemudian tidak datang lagi ke tempat bekerja. Tapi belakangan melalui pengacaranya, Keke malah menuntut Rp 15 juta, dan karena tidak dipenuhi, menggugat ganti rugi Rp 100 juta. "Menurut pandangan kami, jumlah tuntutan itu tidak masuk akal dan tidak berdasarkan hukum," tulis Eddy, yang mengaku kecelakaan seperti itu baru pertama kali terjadi di Indometal. Bukan hanya perusahaan nasional saja yang enggan membayar mahal untuk kecelakaan kerja yang dialami buruhnya. Perusahaan asing Johnson & Son, misalnya, pernah pula diperkarakan buruhnya, Djaelani, gara-gara mencampakkan karyawannya itu telah terjadi kecelakaan yang menyebabkan si buruh cacat. Kecelakaan yang dialami Djaelani, 27 tahun, di perusahaan, yang memproduksi obat nyamuk Raid dan penyegar ruangan Glade itu lebih parah. Pada Maret 1980, buruh mingguan itu terbakar akibat diesel pabrik itu meledak. Karena itu, Djaelani terpaksa dirawat selama 40 hari di rumah sakit, dengan dua kali operasi plastik. Tapi akibatnya ia cacat seumur hidup. Selain bekas-bekas luka bakar di wajah dan kedua tangannya, dua jari kelingkingnya sampai kini bengkok. Ia sebenarnya masih berharap mendapat biaya perawatan selanjutnya dari perusahaan yang berkantor pusat di Amerika itu. Tapi sekembalinya ke tempat pekerjaan, malah ia diminta menandatangani kontrak kerja selama 6 bulan. Djaelani menolak. Akibatnya ia diberhentikan. Akhirnya, melalui LBH Jakarta Djaelani menggugat ke pengadilan.(TEMPO, 4 Mei 1985). Ternyata, upayanya itu berhasil. Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang memeriksa kasus itu mewajibkan Johnson & Son membayar ganti rugi Rp 7 juta dan gaji selama 6 bulan Rp 144 ribu. Vonis itu Maret lalu dikukuhkan Mahkamah Agung. "Saya terharu dan ya senang juga,' kata Djaelani, yang sampai kini masih menganggur, pekan lalu. Karni Ilyas., Laporan Biro Jakarta & Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus