MANILA geger lagi. Tentara bikin ribut dengan ulah yang lebih seru. Dalam tempo 18 bulan terakhir, tidak kurang dari lima putch besar kecil dicobanya. Semua sia-sia. Letusan bedil mereka tidak menggoyahkan dukungan rakyat pada Cory Aquino. Tapi, mengapa pemerintah Filipina tidak berhasil mengatasi ribut yang berulang kali dengan tuntas? Pemerintahan Cory dibentuk lewat revolusi. Banyak pihak berperan menumbangkan rezim Marcos dan membangun pemerintahan baru. Termasuk tentara. Sebagian besar pendukung revolusi Februari itu menghendaki tatanan kenegaraan yang berwajah baru. Demokratis, damai, menghindari kekerasan dalam memecahkan masalah nasional. Peran yang tidak kecil dalam revolusi Februari dimainkan oleh tentara. Maka, Aquino tidak bisa lain harus mengakomodasikan kepentingan tentara dalam pemerintahan. Akibatnya, koalisi yang dibentuk untuk menegakkan pemerintahan Aquino menjadi tampak cemongan -- rainbow coalition. Koalisi gado-gado ini, yang menampung segala rupa aliran politik, menjadi sumber pertengkaran di setiap sidang mingguan Kabinet Aquino. Sesungguhnya, akar masalah keributan tentara sangat mendasar. Selama 14 tahun di bawah pemerintahan Marcos, tentara Filipina terbiasa dengan keharusan mengonsolidasikan jajarannya. Maklum, di zaman Marcos pun tentara dirongrong oleh ancaman perpecahan karena faksionalisme, akibat politik spoil dan favoritisme dalam penunjukan komandan dan panglima. Karena itu, kesatuan dan keutuhan merupakan obsesi tentara Filipina, khususnya dalam memandang jajaran. Di sisi lain, kepemimpinan Aquino lebih didukung oleh basis massa yang mendambakan tatanan demokratis. Massa pendukung Aquino percaya pada keragaman (plurality), dan menganggap sah kehadiran dissent dalam tatanan masyarakat berbudaya dan demokratis. Karena itu, obsesinya ialah rekonsiliasi politik antara berbagai kekuatan yang bersengketa untuk kemudian membangun konsolidasi politik secara nasional. Tidak heran bila angkatan bersenjata Filipina merasa "asing" dengan cita-cita dan impian politik populis yang dicanangkan Aquino dan sebagian besar pendukung sipilnya. Ada empat soal dasar yang pelik untuk diselesaikan antara pendukung sipil dan militer dalam pemerintahan Aquino. Pertama, tentu saja masalah penanggulangan pemberontakan (baik NPA maupun Moro) dan makna rekonsiliasi politik yang dicanangkan dalam program pemerintahan people power. Kedua, kebijaksanaan yang tegas dalam menghadapi pangkalan militer dan bantuan Amerika Serikat di Filipina. Ketiga, soal pengusutan kasus kekejaman dan pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan sejumlah perwira militer. Keempat, soal alokasi anggaran belanja negara berapa besar yang dianggap pantas untuk tentara. Pemerintahan Aquino bertekad untuk mengakhiri pemberontakan dengan dua pendekatan: Pertama, memperbaiki kondisi ekonomi rakyat kecil yang ia anggap sebagai akar masalah yang dipakai dalih pemberontakan. Kedua, mengadakan dialog dengan para pmberontak untuk mewujudkan gencatan senjata, kemudian meletakkan dasar-dasar bagi perdamaian sejati. Aquino beranggapan karena suasana kediktatoran sudah dibasmi, dan segala sesuatu bisa dibicarakan dengan terbuka serta adil, maka tidak ada alasan bagi komunis maupun separatisme Moro untuk melanjutkan gerakan bersenjata. Suatu anggapan tang tentu sangat naif di mata tentara. Karena itu, langkah-langkah yang ditempuh Aquino ke arah gencatan senjata dan perundingan dengan pemberontak ditanggapi sinis oleh tentara. Biarpun persetujuan gencatan senjata dapat dicapai dengan pihak Front Demokratik Nasional (koalisi gerakan bersenjata melawan pemerintah) pada 10 Desember 196, tentara sesungguhnya menentang tercapamya kesepakatan itu. Tahu gelagat bakal runyam dan sia-sia, Front Demokratik Nasional membatalkan kesepakatan sesudah peristiwa pembantaian demonstran di Jembatan Mendiola, dengan dalih Aquino tidak bisa menguasai tentara. Perbedaan pandangan dalam menghadapi pemberontakan ini barangkali akan menjadi sumber konflik laten antara tentara dan kaum populis Filipina. Dalam soal pangkalan militer Amerika di Filipina, Aquino sudah membuat pendirian yang jelas: sampai 1991 kontrak dihormati. Pandangan tentara Filipina lain. Pangkalan Amerika itu penting. Karena itu, perlu dipertahankan demi keamanan regional. Sikap tentara ini mudah dipahami, bila diingat peran bantuan militer Amerika Serikat pada angkatan bersenjata Filipina, sebagai bagian dari tebusan yang dibayar untuk tetap beroperasinya pangkalan militer di Subic dan Clark itu. Sebaliknya, Aquino. Ia ingin melihat ketergantungan yang laten itu segera diakhiri. Hubungan Filipina dan Amerika Serikat segera dilempangkan sebagai dua negara berdaulat. Bukan sebagai induk dan satelit -- baik di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun pertahanan keamanan. Yang lebih pelik adalah tekad Aquino untuk mengakhiri kekejaman dan pelanggaran hak asasi manusia dalam segala konduk kenegaraan. Langkah ini diawali dengan pengusutan jejak kekejaman dan pelanggaran itu melalui pembentukan Komisi Presiden tentang Hak Asasi Manusia. Yang terkena sasaran pertamanta tentu saja banyak oknum angkatan bersenjata. Wong pada zaman Marcos mereka itu dipakai sebagai aparat kaersi politik. MereR bertindak atas perintah. Karena itu, militer semula menuntut amnesti total bagi para pelanggar hak asasi ini. Tapi tuntutan itu ditolak, karena premis politik pemerintahan Aquino ialah menegakkan kebenaran dan memberantas kebatilan. Itulah popular demand pendukung politik utama pemerintahannya. Maka, tuntutan militer lalu encer menjadi desakan agar ada perlakuan yang sama terhadap kekejaman, baik itu dilakukan angkatan bersenjata maupun Tentara Rakyat Baru (komunis) Filipina. Bahkan tentara akhirnya melangkah, membentuk banser-banser pembalas kekejaman komunis. Lahirlah pasukan vigilantes yang kontroversial. Negara yang dirundung utang dan stagnasi ekonomi itu juga punya problem anggaran belanja. Pada zaman pemerintahan Marcos, angkatan bersenjata menikmati alokasi anggaran 10-22% dari APBN. Di zaman bokek, titik berat alokasi anggaran belanja pemerintahan Aquino ialah pada sektor kebutuhan pokok: ekonomi, pelayanan sosial, dan pelayanan umum -- masing-masing sekitar 30, 24, dan 10 persen. Jangan heran bila pekik perjuangan angkatan bersenjata: Filipina memiliki belanja militer terendah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Dalam situasi begini tentara merasa dianaktirikan. Karena itu, gegeran tentara Filipina kali ini mengandung dimensi politik dalam negeri yang pekat memang sulit dibayangkan, reformasi politik mendasar yang dicita-citakan Aquino tanpa diikuti oleh reformsi doktrin hankamnasnya. Tapi reformasi doktrin hankamnas tidaklah sesederhana menulis manifesto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini