Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejak 1988, setiap 26 Juni diperingati sebagai Hari Anti Narkotika Internasional oleh masyarakat dunia sebagai bentuk keprihatinan terhadap penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang atau narkoba yang menyentuh hampir semua kalangan. Di Indonesia, kejahatan narkotika dianggap sebagai tindak pidana yang serius dan luar biasa. Sehingga negara harus menindak secara tegas dan keras kepada pelakunya, di antaranya yaitu dengan hukuman mati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari laman Badan Narkotika Nasional atau BNN, pelaksanaan hukuman mati bagi pelaku kejahatan narkoba bukan hanya untuk memberikan hukuman setimpal ataupun untuk memberikan efek jera semata kepada oknum lainnya. Hukuman mati tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dan menyelamatkan anak-anak bangsa dari bahaya penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penetapan tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yang menegaskan bahwa hukuman setimpal bagi pelanggar berat kejahatan narkoba berupa hukuman mati. Beberapa pengamat hukum menganggap hukuman mati tersebut melanggar hak asasi manusia, dan bertentangan dengan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Dasar 194515 serta melanggar Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Namun, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi atau MK, penerapan sanksi pidana mati bagi para pelaku tindak pidana narkotika berat dianggap tidak melanggar hak asasi manusia, lantaran para pelakulah yang justru merenggut hak asasi manusia lain dengan menghancurkan generasi muda penerus masa depan.
Menurut MK, hak asasi dalam konstitusi harus digunakan dengan menghargai serta menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Dengan demikian, MK memutuskan bahwa hak asasi manusia harus dibatasi dengan instrumen undang-undang, yakni hak untuk hidup itu tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan.
Alasan lain pertimbangan hukuman mati bagi pelaku kejahatan narkoba yang diputuskan MK adalah lantaran Indonesia telah terikat dengan konvensi internasional narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional dalam Undang-Undang Narkotika. Oleh sebab itu, Indonesia justru berkewajiban menjaga warga negaranya dari ancaman jaringan peredaran gelap narkotika skala internasional, dengan menerapkan hukuman yang efektif dan maksimal.
Dalam konvensi tersebut Indonesia telah mengakui kejahatan narkotika sebagai kejahatan luar biasa serius terhadap kemanusiaan sehingga penegakannya butuh perlakuan khusus, efektif dan maksimal. Salah satu perlakuan khusus tersebut yakni dengan cara menerapkan hukuman berat pidana mati.
Dengan menetapkan kejahatan narkotika sebagai kejahatan luar biasa, maka penerapan hukuman berat melalui pidana mati untuk kejahatan tersebut tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik yang menganjurkan penghapusan hukuman mati.
Berdasarkan International Covenant on Civil and Political Rights disingkat ICCPR, yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia, dalam pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa, setiap manusia memiliki hak kehidupan yang melekat. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak ada yang dapat secara sewenang-wenang menghilangkan nyawanya.
Namun dalam ayat 2, ICCPR tetap membolehkan adanya hukuman mati bagi pelaku kejahatan narkoba karena tindakan tersebut termasuk ke dalam kejahatan luar biasa dan terorganisir transnasional yang sangat serius. Hari Anti Narkotika Intenasional yang diperingati setiap 26 Juni, menyadarkan bahaya narkoba masih mengancam di sekitar kita.
HENDRIK KHOIRUL MUHID