Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hari dan antikorupsi hari dan anti korupsi

Wawancara tempo dengan Jaksa Agung Hari Suharto. Ia membantah operasi kejaksaan agung kini lebih menitikberatkan antisubversi ketimbang antikorupsi. Semuanya sama untuk ditangani.

27 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASALAH korupsi tiba-tiba menghangat lagi menjelang sidang umum - MPR, Maret ini. Tidak kurang dari Presiden Suharto sendiri awal tahun ini mengisyaratkan bahwa soal korupsi tidak akan dibiarkan, dan akan diambil tindakan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Aba-aba yang sudah lama tidak terdengar itu, tentu saja, mengingatkan orang ke berbagai Instansi antikorupsi terutama ke Jaksaan, yang dipimpin kepalanya, Hari Suharto. Aparat ini, di zaman Jaksa Agung Ismail Saleh, menggebu-gebu sebagai ujung tombak antikorupsi. Dari kasus reboisasi hutan, mampulasi dana SD Inpres, Dana Pendapatan Daerah sampai ke manipulasi pajak digiring kejaksaan ke meja hijau. Agaknya itulah zaman 1981 sampai 1984 yang membuat koruptor susah tidur. Bagaimana dengan zaman Hari Suharto? Sejak dilantik menjadi Jaksa Agung, 1984, Hari, yang berasal dari Yogyakarta, memang tidak terdengar mengeluarkan jurus-jurus baru antikorupsi. Ia, yang sebenarnya ramah dan banyak senyum dengan kumis rapi, juga Jarang muncul di koran-koran, dan menimbulkan kesan pendiam. Oleh anak buahnya ia disebut pemimpin yang serius bekerja tanpa banyak gembar gembor. Di kalangan kejaksaan sendiri, ada ungkapan pada era Ismail Saleh operasi instansi itu berciri antikorupsi, sedangkan pada era Hari Suharto ciri itu berganti menjadi antisubversi. Kebetulan, sejak awal jabatannya, ayah tiga anak dari istri bekas dosen dan guru Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP) itu memang disibukkan oleh soal-soal subversi. Bermula dari sidang kerusuha- Tanjungpriok, pengeboman BCA, sampai ke soal peledakan Candi Borobudur peledakan gereja di Malang, dan peledakan bis di Banyuwangi, Jawa Timur. Kecuali itu, dilihat dari angka, memang jumlah perkara korupsi menurun selama empat tahun terakhir ini. Pada 1983, perkara korupsi di seluruh Indonesia berjumlah 1.365, tahun berikutnya turun menjadi 1.191 perkara. Pada 1985, angka itu turun lagi menjadi 1.160, setahun kemudian tinggal 951, dan tahun lalu hanya ada 835 perkara. Tapi benarkah Hari Suharto, yang pernah menjadi Irum Perindustrian, Irjen Pertanian, Sekjen Kehakiman, dan terakhir Ketua BP7, itu menomorduakan penindakan korupsi? Di tengah kesibukannya pekan lalu, gara-gara ramainya kasus Jusup Ongkowidjaja dari Yayasan Keluarga Adil Makmur, Hari sempat menjawab pertanyaan TEMPO. Ada kesan Jaksa Agung Ismail Saleh lebih menekankan operasi antikorupsi, sementara Bapak lebih menitikberatkan operasi kejaksaan ke antisubversi? Itu tidak benar sama sekali. Setiap jaksa agung dan jajarannya berkewajiban menangam semua perkara tindak pidana sesuai dengan undang-undang dan wewenangnya. Demikian - pula yang dilakukan Saudara Ismail Saleh, dan begitu pula yang kami lakukan sekarang ini. Memang kebetulan ketika masa saya jadi Jaksa Agung banyak perkara subversi yang ditangani, tapi jangan lupa, juga banyak perkara korupsi yang diselesaikan. Apa Bapak bisa menyebutkan contoh-contohnya? Banyak contohnya. Misalnya perkara Arthaloka, penyelundupan rotan, manipulasl sertifikat ekspor, pencurian ikan oleh nelayan asing, bahkan narkotik. Kalau begitu, bagaimana kesan Bapak dalam melaksanakan penegakan hukum selama jabatan Bapak? Dari segi kejahatan, kualitasnya semakin menaik, sementara kuantitasnya naik turun. Dari segi undang-undang, menurut saya, banyak yang perlu diperbarui karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum antaranya dengan Undang-Undang Pokok Kejaksaan. Dari segi pelaksananya, masih perlu peningkatan koordinasi antara sesama penegak hukum. Bagaimana dengan kesadaran hukum masyarakat? Menurut saya, perkembangan kesadaran hukum masyarakat semakin membaik. Mereka umumnya menuntut keadilan ditegakkan, baik terhadap terdakwa maupun terhadap korban. Hanya saja memang ada pihak yang terlalu mempersoalkan hak asasi terdakwa saja. Biasanya mereka, kalau bukan keluarga atau pembela terdakwa, adalah orang-orang yang mendapat keuntungan dari terdakwa. Masalahnya, pers lebih menyukai berita-berita tentang si terdakwa, kejahatannya, dan hak asasinya. Sementara itu, penderitaan korban kejahatan, hak asasi korban, dampak negatif terhadap lingkungan, dan masyarakat, terlupakan oleh pers.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus