Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN senjata lama, undang-undang antikorupsi, akhirnya pekan lalu Jaksa Chairuman Harahap dan Togar Hutabarat berkeyakinan tuduhannya terbukti dalam perkara kejahatan komputer di BNI 1946 New York. Sebab itu, ia menuntut majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Rudy Demsy, 30 tahun, dan Seno Adji, 31 tahun, masing-masing dengan hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 20 juta, serta uang pengganti US$ 40 ribu. Perkara kejahatan komputer yang melibatkan Rudy dan Seno memang menarik perhatian masyarakat, dan menjadi bahan diskusi para pakar hukum dan komputer. Sebab, modus kejahatan itu selain asing bagi masyarakat juga pertama kalinya diadili di Indonesia. Apalagi dalam hukum pidana Indonesia, tidak satu pasal pun yang mengatur kejahatan komputer. Sebab itu, pihak kejaksaan terpaksa menggunakan undang-undang antikorupsi untuk menjaring kedua terdakwa. Kejahatan yang dilakukan Rudy dan Seno, seperti dituduhkan jaksa, tidak terbayangkan oleh orang yang masih awam dengan komputer. Kedua orang itu hanya dengan sebuah pesawat personal computer (PC) dan sebuah modem - alat yang memungkinkan komputer berkomunikasi lewat telepon - mentransf- er uang BNI 46 Pusat di Citibank dan uang BNI 46 New York di Mantrust sebanyak US$ 18,7 juta atau sekitar Rp 30 milyar. Perbuatan itu mereka lakukan dari sebuah kamar Best Western Hotel New York pada 31 Desember 1986. Melalui peralatan canggih itu pula mereka memerintahkan pengiriman uang itu ke beberapa bank di Panama, Hong Kong, dan Luksemburg tempat mereka membuka rekening. (TEMPO 24 Oktober, 1987). Transfer tidak sah itu bisa dilakukan kedua terdakwa, menurut jaksa, karena Rudy sebelumnya pernah bekerja selama 6 tahun di BNI 46 New York. Selama itu ia berhasil mendapatkan semua kode untuk mentransfer uang bank itu di Citibank dan Mantrust, hanya melalui komputer. Dalam kejahatan itu, kata jaksa, kedua terdakwa mendapat bantuan dari Tengku Makmun Eldy, 37 tahun, dan Abdul Malik Darpi, 38 tahun, yang akan diadili secara terpisah. Eldy berperan selaku pembuka rekening di bank-bank tujuan, sedangkan Darpi bertindak sebagai penyandang dana sebesar US$ 10 ribu. Di persidangan ternyata tidak mudah bagi jaksa membuktikan kesalahan Rudy dan Seno. Sebab, ketika kedua terdakwa mentransfer uang itu melalui komputer, tidak seorang pun saksi mata yang menyaksikan. Dan jangan lupa, kejahatan dengan mesin pintar itu tidak meninggalkan jejak, apalagi sidik jari atau bukti' tertulis. Kesulitan pembuktian semakin komplet karena Rudy dan Seno membantah tuduhan itu dan mencabut semua pengakuannya di pemeriksaan polisi. Begitu pula saksi Abdul Malik Darpi dan Eldy. "Saya tak tahu-menahu masalah itu," kata Seno Adji, ayah tiga anak, ketika ditanyai TEMPO pada awal persidangan. Seno hanya mengakui kenal Rudy dalam hubungan bisnis pakaian jadi. Sementara itu, Rudy malah mengemukakan alibi bahwa ia pada waktu BNI kebobolan itu justru lagi berada di Jakarta. "Istri saya sakit, saya nggak bisa keluar rumah," ujar Rudy. Pengakuan di polisi, menurut mereka, hanyalah pengakuan palsu akibat tekanan dan ancaman pemeriksa. "Kami dikorbankan, dikambinghitamkan sebagai pelaku. Polisi sudah menyiapkan skenarionya, seakan mau melindungi pelaku sebenarnya," ucap Seno, yang mengaku pernah tinggal di New York untuk berobat mata. Bahkan untuk membuktikan Rudy dan Seno berada di New York dan Panama, di akhir 1986 dan awal 1987, pun jaksa menemui kesulitan. Sebab, paspor kedua terdakwa, ketika disita, sebagian isinya sudah dirobek kedua pemiliknya. Konon, agar istri mereka tidak tahu bahwa suaminya pergi plesir ke Bangkok dan Kanada. Untunglah, menjelang tuntutannya, Jaksa Chairuman dan Togar mendapat sumbangan dari Kedubes Panama di Bonn - melalui jalur diplomatik dan Interpol. Kedua orang itu pada akhir tahun 1986 mendapat visa masuk Panama dari kedubes negara itu di Bonn. Dari laporan itu terbukti bahwa Rudy dan Seno, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, pernah ke Panama pada bulan November dan Desember. Begitu pula Eldy. Pada waktu itulah, menurut tuduhan, mereka membuka rekening di sana, untuk menampung hasil transfer gelap tadi. Berdasarkan bukti dari Kedubes Panama itu terungkap pula bahwa mempunyai paspor ganda. Sebuah paspor yang robek tadi, atas nama --Seno Adji, yang semula ladi barang bukti, dikeluarkan Konsulat Jenderal Indonesia di New York. Sedangkan paspor lainnya, yang digunakan untuk masuk ke Panama, atas nama Seno Sudadi dan dikeluarkan oleh Imigrasi Bogor. Bukti ini cukup telak, mereka tak bisa berkelit lagi," kata Jaksa Chairuman Harahap. Berdasarkan bukti-bukti itu, dengan penuh keyakinan Jaksa Chairuman dan Togar menganggap tuduhannya terbukti sah. Kejahatan Rudy dan Seno, mentransfer dana milik BNI - suatu bank pemerintah - menurut jaksa, merupakan suatu tindak pidana korupsi. Kendati, Rudy dan Seno tak sempat menikmati hasil kejahatan itu, karena keburu ketahuan oleh BNI Pusat - yang kemudian menyetop transfer di bank tujuan - toh bank pemerintah itu rugi. Sebab, di bank tujuan itu BNI terpaksa membayar ganti rugi, ditambah bunga sekitar US$ 42 ribu (sekitar Rp 68 juta). Pengacara Rudy dan Seno, Hotma Sitompul dan M. Assegaf, memang mengakui bukti laporan Kedubes Panama tersebut membuat kliennya tak bisa mengelak lagi. Kendati begitu, "Apakah kehadiran mereka di Panama itu bisa serta-merta dianggap dalam rangka transfer tidak sah yang dituduhkan itu? Itu 'kan hanya asumsi jaksa," kata M. Assegaf. Selain itu, Assegaf melihat pembuktian jaksa di persidangan lebih mengandalkan pada keterangan di bawah sumpah (dalam BAP) saksi-saksi yang tak bisa hadir di sidang, karena berada di New York. Misalnya jaksa hanya membacakan kesaksian Heri Arendra, yang konon menemani Rudy dan Seno ketika berada di Best Western Hotel New York. "Bagaimana kebenarannya, belum sempat kita uji. Hingga kini tak ad bukti yang menunjukkan Rudy dan Sen berada di hotel itu pada tanggal 31 Desember 1986," tambah Assegaf. Sementara itu, Assegaf juga menganggap undang-undang antikorupsi tak blsa begin saja diterapkan dalam kasus Rudy dan Seno "Itu kalau kita mau menilik kembali pada esensi dan maksud undang-undang itu ketika dilahirkan yaitu untuk menertibkan apa ratur negara," ujarnya. Bagaimana untuk kejahatan komputer? "Lha, kalau saya merampok BNI 46, dengan pistol, apa perbuat an saya itu juga korupsi?" ujar Assegaf, yang akan membacakan pledoinya pekan depan. Happy Sulistaydi & Karni Ilyas (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo