Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
VONIS pertama untuk kasus leasing (sewa guna) dijatuhkan majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang diketuai Sakir Adiwinata, Kamis pekan lalu. Presiden Direktur PT Dwi Sari Utama, Yohannes Sindhu Pramono, 38 tahun, divonis hakim 9 tahun penjara ditambah denda Rp 30 juta karena terbukti "membobolkan" perusahaan leasing PT Salindo sebanyak Rp 7,28 milyar. Menariknya, kendati PT Salindo adalah perusahaan swasta, majelis menganggap Sindhu, denhon perbuatannya itu, telah mengkorup uang negara atau korupsi. Sebab,sebagian dari saham PT Salindo ternyata milik Bank Dagang Negara (BDN). Menurut undang-undang antikorupsi, seorang koruptor bukan saja yang menggelapkan secara langsung uang negara, tetapi juga mengkorup uang badan-badan yang dibiayai negara. Terlepas dari soal itu, cara Sindhu membobolkan PT Salindo memang canggih. Sekitar Desember 1983, selaku Presiden Direktur PT Dwi Sari Utama (DSU), Malang, Sindhu memperoleh dana Rp 3,78 milyar dari PT Salindo untuk mengembang kan usaha pabrik rokok 567 miliknya, yang lagi membutuhkan empat mesin pembua rokok dan dua mesin pengepak rokok untuk mendapatkan dana itu, Sindhu memberikan jaminan kekayaan DSU, yang nilai nya, konon, hampir Rp 11 milyar, serta tembakau senilai Rp 6,6 milyar. Hanya sebulan kemudian, ia memperoleh lagi dana leasing - juga dari Salindo sebesar Rp 3,5 milyar. Kali ini, Sindhu bersama Ivan Gunawan mengatasnamakan PT Indoraco, yang lagi butuh dana leasing untuk membeli satu set mesin pengalengan minuman. Sebagai jaminannya mereka menggadaikan tanah seluas 0,35 hektar beserta bangunannya di Surabaya dan deposito senilai Rp 5 milyar di Bank Umum Nasional (BUN). Setelah mengantungi uang Salindo Rp 7 milyar lebih, ia tidak segera kabur, tapi mengangsur utangnya. Ternyata, angsuran itu hanya berjalan 8 bulan. Setelah itu ia menunggak. Ketika itulah Salindo baru mengecek kebenaran bisnis Sindhu. Ternyata, segala data yang disodorkan Sindhu fiktif belaka. Ia memang punya deposito di BUN. Tapi itu "permainan". Uang deposito itu berasal dari bank itu sendiri. Tanah dan bangunan pun milik orang lain. Sedangkan jaminan tembakau, yang dinilai Sucofindo Surabaya berharga sekitar Rp 5 milyar, sesungguhnya hanya bernilai Rp 140 juta. Bukan hanya itu, neraca perusahaannya, DSU, juga fiktif. Sementara itu, PT Indoraco, yang dipakainya untuk mendapatkan leasing kedua, tak tahu menahu dengan Sindhu dan Ivan. Karena itu, Sindhu diseret ke pengadilan dan dituduh korupsi. Sebab, PT Salindo adalah perusahaan patungan antara Bank Dagang Negara (30% saham) dan tiga perusahaan asing - belakangan, 1985, perusahaan itu diambil alih BDN seluruhnya. Artinya, dana yang digelapkan Sindhu tidak lain uang negara juga. Alasan jaksa menuduh korupsi itu yang diserang Pengacara Kendengan. Menurut pembela, perkara itu perdata karena PT Salindo murni swasta. Apalagi Sindhu pernah membayar cicilannya sampai Rp 1 milyar. "Ia masih berusaha melunasi sisa cicilan itu," katanya. Tapi majelis hakim lebih sependapat dengan Jaksa B. Lukman, yang sebelumnya menuntut hukuman 12 tahun penjara, denda Rp 30 juta, dan uang pengganti Rp 1,5 milyar. "Dana Rp 7,28 milyar itu bukan untuk mengembangkan usaha, tapi dipergunakan bagi kepentingan pribadi belaka," kata Yeni Ratulangi, salah seorang anggota majelis hakim. Sindhu tetap dianggap korupsi. Sebab itu, Kendengan langsung banding atas vonis itu. Tapi hanya Sindhukah yang harus bertanggung jawab? Memang di pengadilan yang sama, Ivan Gunawan kini juga diadili secara terpisah. Tapi leasing itu tentu tidak akan cair tanpa kelonggaran yang diberikan PT Salindo sendiri. Sebuah sumber di Kejaksaan mengatakan pimpinan PT Salindo,termasuk presdirnya Graham Geroge Duobfire, harus ikut bertanggung jawab. Hanya saja Duobfire telah kabur ke negerinya setelah kasus itu terbongkar. Sebaliknya, sumber di Salindo menuding pihak Sucofindo dan BUN pula yang harusnya bertanggung jawab. Sebab, data yang diberikan perusahaan penilai itu, serta keterangan BUN tentang deposito Sindhu, ternyata tidak benar. "Bagaimana mungkin Salindo tak mempercayai data dari pihak berkompeten di bidangnya," kata sumber itu. Siapa pun yang salah, cara korupsi yang satu ini memang canggih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo