Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, majelis hakim sah-sah saja memberi vonis lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Hal itu merespon vonis ultra petita atau penjatuhan putusan melebihi tuntutan JPU terhadap lima terdakwa korupsi timah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pertama sudah sangat banyak Yurisprudensi dalam hukum pidana dan putusan pidana sebelumnya dan itu tidak masalah. Hakim bisa memutus lebih dari tuntutan jaksa,” ujar Isnur, Ahad, 16 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima terdakwa yang mendapat vonis ultra petita adalah Harvey Moeis, Helena Lim, Dirut PT Timah Mochtar Riza Pahlevi, Dirut RBT Suparta dan Direktur Pengembangan Usaha PT RBT Reza Andriansyah. Harvey misalnya, dari yang semula divonis 6,5 tahun, denda Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 210 miliar, hukumannya diperberat menjadi 20 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, uang pengganti Rp 420 miliar.
Vonis itu, lebih berat dibanding tuntutan JPU yang menuntut Harvey dengan pidana penjara 12 tahun dan uang pengganti Rp 210 miliar subsider 6, tahun penjara, dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan.
Isnur mengatakan keputusan majelis hakim untuk memperberat hukuman diperbolehkan, selama tidak melebihi batas hukuman di UU. Ia menjelaskan jika hakim tidak terikat dengan tuntutan JPU, melainkan perkara yang diadili. “Itu taidak melanggar prinsip hukum acara pidana. Dan sangat diperbolehkan,” ujar dia. Terlebih menurutnya kasus korupsi timah merugikan negara hinga Rp 300 triliun. Maka, kata dia, wajar jika hukumannya diperberat.