Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hilangnya bayi nomor 98

Pasangan suami istri djudjun-angrumningsih menggugat rumah sakit hasan sadikin bandung karena kehilangan bayi di rumah sakit tersebut sekitar 4 th yang lalu. gugatan tersebut menarik perhatian para ahli hukum.

5 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAYI hilang atau tertukar di rumah sakit sudah lama menjadi cerita bahkan bahan lelucon. Tapi kali ini cerita itu tidak main-main lagi. Pasangan suami-istri Djudjun, 43 tahun, dan Angrumningsih, 36 tahun, pekan lalu, menggugat Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung membayar ganti rugi Rp 200 juta, karena kehilangan bayi di rumah sakit tersebut. Angrumningsih masih geram membayangkan peristiwa yang menimpanya, sekitar empat tahun lalu itu. Bayi yang baru saja dilahirkannya, dua jam kemudian, lenyap dicuri orang. "Padahal, kami baru saja sepakat memberi nama anak ketujuh itu, Bagja Maulana," ibu tujuh anak itu mengenang. Tapi mengapa baru menggugat sekarang? "Sebetulnya, niat menggugat sudah lama direncanakan, tapi pihak rumah sakit minta waktu untuk mencari bayi itu. Karena sampai saat ini bayi itu belum juga ditemukan dan pihak rumah sakit kurang menunjukkan rasa tanggung jawab, ya, terpaksa baru sekarang kami gugat," ujar Djudjun, karyawan PT Kimia Farma, ayah bayi itu. Empat tahun lalu di suatu siang, ruang kebidanan RSHS masih tampak lengang. Maklum, belum waktu besuk. Sekitar pukul 13.45, dari ruangan itu terdengar tangis bayi. Bagja lahir dengan mulus, beratnya 3.340 gram, panjang 49 cm. Bayi laki-laki yang tampak sehat itu lalu sebelah kakinya diberi pening nomor 98 agar tidak tertukar dengan bayi lain. Dua jam kemudian seorang perempuan muda berparas cantik, disertai seorang bocah sekitar lima tahun, menghampiri Angrumningsih yang masih lemah, akibat pendarahan. Kepada Angrumningsih perempuan itu mengaku mau besuk saudaranya, tapi sudah pulang. Ia tampak ramah. Malah ketika bayi itu pipis, ia membantu mengganti popoknya. Angrumningsih juga tak curiga waktu perempuan itu menawarkan jasa baik, ketika bayinya menangis. "Biar saya beri susu dulu di ruang sebelah," kata perempuan itu. Tapi sampai waktu besuk tiba, ternyata perempuan yang membawa bayi Angrumningsih tak muncul lagi. Kecurigaan baru muncul, ketika ibu Angrumningsih, Nyonya Rachmat, datang membesuk. Begitu nongol di pintu, Nyonya Rachmat menanyakan cucunya. Angrumningsih memberi tahu bahwa bayinya sedang disusui di kamar sebelah. Ternyata, di kamar sebelah tidak ada seorang pun yang membawa bayi. Kepanikan pun pecah. Beberapa orang juru rawat dibantu Satpam sibuk mencari. Hasilnya: nihil. Kejadian itu segera dilaporkan ke polisi. "Setelah peristiwa itu dilaporkan, sebenarnya tugas polisi untuk mengusutnya. Tapi sampai sekarang kami tak pernah tahu seberapa jauh hasil pengusutan itu," kata dr. Iwin Sumarman, penjabat kepala RSHS, ketika peristiwa itu terjadi. Anehnya, pihak kepolisian pun seperti tak pernah mempermasalahkan kasus ini. "Akan saya tanyakan dulu pada bawahan saya sampai sejauh mana penyidikan yang pernah mereka lakukan," kata Kapoltabes Bandung, Kolonel (Pol.) M. Noerdin, kepada TEMPO. Menurut Noerdin, ketika menerima jabatan Kapoltabes, setahun lalu, ia tak pernah dilapori kasus itu. Pihak RSHS pun tampaknya pasrah mendapat gugatan itu. "Menggugat, sih, boleh saja. Itu hak mereka," kata dr. Iman Hilman. Tapi, Kepala RSHS itu menolak berkomentar banyak. "Peristiwanya saya baru tahu sekarang. Saya harus melihat dulu berkas laporan peristiwa itu," kilah Iman, yang juga setahun lalu dilantik jadi Kepala RSHS. Iman mengaku tidak mudah menemukan bayi yang hilang itu, kendati pihaknya wajib mencarinya. "Bagaimana mengenal bayi yang hilang empat tahun lalu, membedakan bayi-bayi yang baru lahir saja sulit," kata dokter ahli penyakit dalam itu. Gugatan Angrumningsih, tentu saja, menarik perhatian para ahli hukum. "Jelas, ini kelalaian suatu instansi pemerintah. Ini termasuk pelanggaran hukum administrasi," komentar Prof. Dr. Achmad Sanusi, S.H., guru besar IKIP Bandung. Dari segi obyek yang hilang, yakni seorang bayi, katanya, kasus itu merupakan perkara pidana. "Ini menyangkut nyawa manusia," kata Sanusi. Ahli hukum perdata, Prof. Soebekti mengakui perkara tersebut termasuk lingkup hukum pidana. "Tapi karena yang hilang itu anak manusia ketika berada di bawah tanggung jawab rumah sakit, RSHS tidak bisa lepas tanggung jawab begitu saja," ujar Soebekti. Hasan Syukur & Riza Sofyat (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus