BACHTIAR dan Cut Mariana mampu menerobos KUHAP, sekaligus memetik manfaatnya. Keduanya pernah dilepas demi hukum karena masa penahanannya telah habis. Lantas menikmati penangguhan pelaksanaan putusan Mahkamah Agung, karena mengajukan grasi. Namun, setelah grasinya ditolak, suami-istri pedagang ganja itu raib. Akibatnya, hingga pekan ini, pihak kejaksaan belum bisa melaksanakan putusan hukuman 15 dan 10 tahun penjara bagi Cut dan Bachtiar. Perkara Cut Mariana, 44 tahun, dan Bachtiar, 39 tahun, dari semula diwarnai proses hukum yang kontroversial. Sekitar Oktober 1983, Hakim E.M. Sinaga hanya mengganjar dua pengedar ganja itu masing-masing dengan hukuman 10 bulan penjara. Mereka terbukti memesan 161 kg ganja dari Aceh lewat seorang perantara, Aminuddin yang oleh pengadilan yang sama dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Di tingkat banding, prosesnya kian menarik. Bismar Siregar, Ketua Pengadilan Tinggi di Medan waktu itu, yang memutus perkaranya, membuat sejarah baru. Hukuman bagi Cut dan Bachtiar ditingkatkan lebih dari 10 kali lipat. Cut kena 15 tahun, sedangkan Bachtiar 10 tahun penjara. Kemudian perkara diproses Mahkamah Agung, Februari 1984. Di tingkat kasasi, perkara berjalan agak lama. Padahal, masa penahanan Cut dan Bachtiar mendekati habis. Dan, benar saja, keduanya dilepaskan demi hukum -- sesuai dengan KUHAP, pada tanggal 10 Agustus 1984. Sebelum menjatuhkan vonis, Mahkamah Agung memerintahkan Pengadilan Negeri Medan melakukan pemeriksaan tambahan. Ternyata, diperoleh bukti bahwa Cut dan Bachtiar memang merupakan anggota sindikat narkotik. Berdasarkan bukti-bukti tambahan itu, Mahkamah Agung, Juni tahun 1985, mengukuhkan putusan pengadilan banding. Cut dan Bachtiar, didampingi pengacaranya, Syahriar Sahdan, muncul begitu tahu putusan tersebut. Tapi, bukan untuk segera menjalani hukuman. Mereka malah memohon penangguhan pelaksanaannya, karena mengajukan grasi. Ternyata, permohonan itu dikabulkan Hasan G. Shahab, Ketua Pengadilan Negeri Medan, ketika itu. Hasan G. Shahab, setelah tiga hari mempelajari permohonan itu, tiada pilihan lain kecuali mengabulkannya. Sebab, hak memperoleh penangguhan itu tersurat dalam pasal 196 KUHAP. Di samping juga jelas diatur di pasal 3 Undang-Undang No. 3 tahun 1950 tentang grasi. Dan, ketika permohonan grasi mereka ditolak, September lalu, barulah segenap penegak hukum di Medan blingsatan. Pasangan yang sama-sama kelahiran Sigli, Aceh, itu setelah mengantungi penangguhan putusan menghilang sampai kini. Lantas menjadi tanggung jawab siapa kalau keduanya benar-benar kabur? "Wah, itu belum diatur dalam KUHAP, juga undang-undang grasi," kata Hasan G. Shahab. Agaknya, Hasan tak berlebihan. Soal pengawasan terhukum di luar tahanan tak diatur dalam KUHAP. Namun, yang jelas, kedua terhukum belum bisa ditemukan lagi. Di kediaman dua orang sanak saudaranya di Medan, yang dulu menampung mereka setelah dilepaskan, tak ada. Bahkan bekas pengacaranya mengaku tak tahu lagi di mana kedua orang itu berada. Hakim Agung Bismar Siregar berang mendengar berita itu. Kekesalan ditujukan pada pengabulan permohonan penangguhan oleh Hasan. "Secara formalnya, itu benar," katanya. Tapi, "Dari segi rasa keadilan, jelas tidak." Bagi Bismar, tak ada alasan untuk mengabulkan permohonan kedua terpidana narkotik itu. Sementara itu, pihak Kejaksaan Negeri Medan terus berupaya melacak Cut dan Bachtiar, dan meminta bantuan Poltabes edan. Di Jakarta, Bismar Siregar hanya bisa berucap, "Wahai, Cut dan Bachtiar, yang raib, petiklah buah KUHAP." Happy Suistyadi (Jakarta) dan Affan Bey (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini