DUA orang terpidana subversi, Abdullah Sungkar dan Abubakar Ba'asyir, di Sukoharjo, Solo, tiba-tiba menghilang. Kedua orang yang dinyatakan terbukti terlibat dalam gerakan DI/TII kelompok Hispran itu seharusnya, Sabtu 2 Maret lalu, menghadap panitera Pengadilan Negeri Sukoharjo untuk mendengarkan vonis kasasinya. Tapl rencana itu gagal karena mereka kabur sehari sebelumnya. "Mereka menghilang," kata ketua Pengadilan Negeri Sukoharjo, Nyonya Hoedijani Poedjosewojo. Sampai kini belum diketahui ke mana kaburnya kedua orang itu. Yang jelas, baik Sungkar maupun Ba'asyir tidak muncul sebagai khatib di dua masjid tempat mereka masing-masing seharusnya berkotbah pada hari Jumat itu. Padahal, kata istri Ba'asyir, Aisyah suaminya pamit dari rumah hendak ke masjid. "Saya khawatir kalau ada apa-apa di jalan atas suami saya," ujar Aisyah. Sungkar dan Ba'asyir, keduanya pimpinan pondok pesantren Ngruki, Sukoharjo, April 1982, masing-masing divonis 9 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Sukoharjo. Kedua mubalig itu, menurut majelis hakim, terbukti merongrong ideologi Pancasila, selain berniat mendirikan negara Islam. Sungkar, 47, misalnya, menurut jaksa, dalam ceramahnya sering membandingbandingkan Pancasila dan Quran. Dalam suatu ceramahnya, Januari 1978, ia mengatakan, "Pancasila itu kecil artinya dibandingkan Quran, karena Pancasila itu buatan manusia, sedangkan Quran wahyu ilahi," begitu tuduh jaksa, mengutip ucapan Sungkar. Ustad itu pun, kata jaksa, sering mencela Pancasila dengan membantah dasar negara itu sakti, atau sumber hukum. Ba'asyir, 46, menurut jaksa, juga sering menantang pemerintah. Direktur pondok pesantren Islam Ngruki itu, misalnya, tidak setuju terhadap upacara penghormatan bendera setiap tanggal 17 yang harus dilakukan murid-muridnya. Sebab, seperti dituturkan ketua umum Yayasan Pendidikan Islam AlMukmin, Ngruki - yang membawahkan pondok pesantren itu - M. Amir, S.H., Ba'asyir menganggap upacara semacam itu sebagai menghormati benda mati, dan hukumnya syirik. Lebih dari itu, jaksa menuduh kedua ustad yang terkenal keras itu terlibat dalam gerakan DI/TII baru, yang disponsori Hispran (Haji Ismail Pranoto) di Jawa Tengah. Pada Februari, 1977, kata jaksa, pimpinan jemaah Muhajiddin Anshorullah Achmad Husein mendatangi Sungkar dan Ba'asyir untuk menyebarluaskan gerakan itu. Pada waktu itu, kata jaksa, Sungkar diangkat dan dibai'at sebagai panglima II (gubernur militer Komandemen Wilayah Jawa Tengah, Angkatan Perang Negara Islam Indonesia). Berdasarkan tuduhan-tuduhan itu, majelis menghukum Sungkar dan Ba'asyir masingmasing 9 tahun penjara. Tapi vonis itu kemudian diperbaiki Pengadilan Tinggi Jawa Tengah karena dianggap terlalu berat. Majelis Hakim Tinggi, yang diketuai Syafar Luthan, Agustus 1982 memperingan hukuman itu menjadi masing-masing 3 tahun 10 bulan penjara. Akibat vonis peradilan banding itu, 9 September 1982, Sungkar dan Ba'asyir mendapat penetapan Mahkamah Agung untuk tahanan luar. Sebab, masa tahanannya telah melebihi vonis peradilan banding - kedua terhukum sudah ditahan sejak November '78. "Mereka dikeluarkan dari rumah tahanan Surakarta," kata panitera Pangadilan Negeri Sukoharjo, Sarwodji. Namun, perkara mereka belum selesai karena jaksa naik kasasi. Majelis Hakim Agung, yang diketuai Adi Andojo Sutjipto, menurut sumber TEMPO di pengadilan Sukoharjo, 11 Februari lalu memperkuat putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo, yaitu masingmasing dihukum 9 tahun penjara. Artinya, kedua terpidana harus masuk penjara lebih dari 5 tahun lagi untuk melunasi sisa hukumannya. Alasan Mahkamah Agung, kedua terhukum benar-benar tidak mempercayai Pancasila dan berniat mendirikan negara Islam. Tidak jelas apakah vonis itu bocor kepada kedua terhukum sebelum sempat disampaikan secara resmi. "Sampai kini kami belum tahu isi putusan kasasi itu," ujar istri Sungkar, Sumarmi. Tapi pengacara mereka, Rustamadji, membenarkan bahwa kedua kliennya waswas setelah mendapat panggilan dari pengadilan untuk menghadap, 2 Maret itu. Menurut Rustamadji, kekhawatiran kliennya itu akibat panggilan datang dari dua instansi sekaligus. Selain pengadilan, rupanya kejaksaan juga mengirimkan surat panggilan untuk Sungkar dan Ba'asyir. Apalagi, kata Rustamadji, setelah surat panggilan itu diterima kliennya, penjagaan di sekitar pondok Ngruki diperketat yang berwajib. Namun, kata Rustamadji, ia sempat membesarkan hati kliennya itu. Ia menyarankan kepada Sungkar dan Ba'asyir mematuhi panilan itu karena ada kemungkinan Mahkamah Agung memperkuat keputusan peradilan banding. "Saya kira mereka sudah bersedia datang. Karena itu, saya menyesalkan sikap mereka melarikan diri," ujar Rustamadji. Ketua umum Yayasan Pondok Pesantren Islam, Ngruki, M. Amir, juga mempunyai kesan bahwa sebelumnya kedua anggota pengurus yayasannya itu akan menghadap pengadilan walau apa pun risikonya. Bahkan, kata Amir, kedua rekannya itu sudah siap sedia ditahan lagi, dan kedua istri mereka telah mengepak barang-barang keperluan kedua ustad itu di penjara. Jumat pagi itu, tutur Amir, dalam rapat pleno yayasan, Sungkar, yang menjadi salah satu ketua, dan Ba'asyir, sebagai direktur pondok, dengan resmi mengundurkan diri dari jabatan mereka. Kedua ustad itu, katanya, memohon pamit karena mengira akan masuk penjara. "Saya waktu itu yakin, mereka akan menghadap," ujar Amir. Ternyata, keluar dari pondok kedua ustad itu hilang. "Bisa ditafsirkan, mereka benar-benar lari atau tertangkap di perjalanan," ujar Amir. Karni Ilyas Laporan Syahril Chili, Yogyakarta, dan Yusro M.S., Semarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini