Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Masih soal siupp

Suardi Tasrif pada seminar kewartawanan mengkritik peraturan siupp, khususnya tentang pengertian karyawan pers dan yayasan. Dirjen Sukarno menjawab. (hk)

16 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MINAT untuk menerbitkan media pers V di masyarakat ternyata besar sekali. Sampai pekan lalu, setelah dua minggu kesempatan dibuka, telah 189 formulir permohonan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dikeluarkan Departemen Penerangan. Delapan puluh dari jumlah itu, menurut catatan Deppen, adalah perusahaan pers yang selama ini sudah memiliki SIT (Surat Izin Terbit), dan sisanya merupakan pemohon baru. Membanjirnya permintaan untuk mendapat formulir SIUPP itu akibat tenggang waktu enam bulan yang diberikan Menteri Penerangan bagi pemohon SIUPP untuk mengajukan permohonannya, sesuai dengan peraturan Menpen tertanggal 31 Oktsber 1984. Berdasarkan itu, berarti 30 April nanti adalah batas waktu untuk pemohon SIUPP. Keputusan Menpen itu dimaksudkan pula sebagai peraturan pelaksanaan undang-undang tentang perubahan Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers 1982. Namun, peraturan pelaksanaan dari Menpen itu mengundang kritik wakil ketua Dewan Kehormatan PWI, Suardi Tasrif. Di Seminar Tanggung Jawab Sosial Wartawan Indonesia, Februari lalu, misalnya, Tasrif menyinggung kurang tegasnya konsep yang digunakan peraturan itu untuk mendefinisikan karyawan pers. Pada pasal 1 undang-undang itu, kata Tasrif, didefinisikan bahwa karyawan pers itu adalah "orang-orang yang melakukan pekerjaan secara bersama-sama dalam suatu kesatuan yang menghasilkan produksi penerbitan pers dan terdiri atas pengasuh penerbitan pers, karyawan pengusaha, karyawan wartawan, karyawan administrasi/teknik dan karyawan pers lainnya". Tapi di pasal-pasal berikutnya, menurut Tasrif, terdapat berbagai istilah tentang karyawan pers itu. Antaranya disebut wartawan dan karyawan, wartawan dan karyawan pers, karyawan, karyawan penerbitan pers, dan wartawan/karyawan penerbitan pers. "Seharusnya istilah karyawan pers itu digunakan konsisten, kecuali untuk ketentuanketentuan yang sangat khusus," ujar pengacara kawakan itu. Ketentuan lain yang mendapat kritik Tasrif adalah penempatan yayasan sebagai suatu badan hukum. "Setahu saya, belum ada undang-undang yang menentukan yayasan sebagai badan hukum," ujar Tasrif. Menurut KUH Perdata, tambah Tasrif, yayasan hanya didirikan untuk tujuan sosial dan tidak mencari keuntungan. Tasrif membenarkan bahwa dalam praktek, yayasan menyimpang dari ketentuan hukum perdata itu. Sebab itu pula sekarang BPHN menyiapkan peraturan perundang-undangan untuk menata penyimpangan itu. Sehubungan dengan ketentuan yayasan bisa menerbitkan pers itu, Tasrif mempertanyakan istilah modal, modal perusahaan, dan modal kerja. "Apa yang dimaksud dengan modal dalam suatu yayasan," tutur Tasrif, yang tetap berpegang bahwa yayasan tidak mempunyai modal. Apalagi, kata Tasrif, di peraturan itu disebutkan tentang pembagian keuntungan. "Tidakkah ketentuan yayasan mencari keuntungan merusakkan citra yayasan?" tanya Tasrif. Soal lain yang juga membuat Tasrif berkerut adalah penyelesaian sengketa melalui induk organisasi masing-masing. Artinya, kata Tasrif, untuk wartawan melalui PWI dan untuk majikan melalui SPS. "Bagaimana kalau pengurus PWI merangkap jabatan. di SPS, tidakkah ini akan menimbulkan conflict of interest? Dan untuk karyawan administrasi apa induk organisasinya?" tanya Tasrif lagi. Semua pertanyaan Tasrif itu dijawab langsung oleh Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika Sukarno. "Yang penting, kita jangan berpikir njelimet. Jika kita memandang sesuatu dengan njelimet, pasti jadinya njelimet ," ujar Dirjen Sukarno. Menurut Sukarno, istilah karyawan itu, walau terdapat banyak istilah, pengertiannya jelas: wartawan adalah juga karyawan. Untuk soal yayasan, pejabat tinggi Deppen itu membenarkan bahwa belum ada kepastian apakah yayasan itu badan hukum atau bukan. Ada yang berpendapat, kata Sukarno, yayasan itu bukan badan hukum. Tapi prakteknya ada yayasan yang kena pajak. "Dari kenyataan itu berarti yayasan sudah mengarah ke badan hukum. Sebab, jika bukan badan hukum, tidak akan kena pajak," katanya. Sebab itu, menurut Sukarno, kita wajib membentuk norma-norma baru berdasarkan praktek-praktek yang terjadi itu. "Kita akui aturan-aturan itu belum ada, karena itu kita bikinkan normanya. SIUPP pun menyebutkan bahwa segala sesuatu yang belum diatur dalam undang-undang itu akan dilengkapi kemudian," tutur Sukarno. Bicara soal kemungkinan terjadinya conflict of interest dalam sengketa antara karyawan dan majikan dalam penerbitan pers, bila persoalan diselesaikan induk organisasi seperti PWI dan SPS, menurut Sukarno "Kedua lembaga itu jelas bentuknya lain. Dan yang lebih penting dari itu kita harus melihat sengketa itu dalam pola berpikir kekeluargaan." Dengan pola berpikir kekeluargaan, menurut Sukarno, dalam sebuah sengketa tidak ada yang menang atau kalah, dan semuanya diselesalkan dengan musyawarah dan mufakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus