PEMBENAHAN perangkat hukum ekonomi akan menjadi perhatian utama Menteri Oetojo Oesman. Ia ingin pula menyatukan advokad dalam wadah tunggal. Tapi bagaimana dengan lawyer asing yang kian menjamur? Asap cangklong Menteri Kehakiman Oetojo Oesman, 58 tahun, belakangan ini kian deras mengepul. ''Semakin banyak pekerjaan, semakin kuat saya mengisap cangklong,'' ujar ayah lima anak yang penggemar berat cangklong ini. Kalau itu yang terjadi, agaknya kepulan asap Oetojo akan semakin menggumpal. Hingga kini boleh dibilang ia salah satu menteri paling sibuk. Maklum, selain menteri, ia masih Ketua BP-7. Setiap hari ia harus membagi waktunya ke dua kantor, di Jalan Pejambon, Jakarta Pusat (Kantor BP-7), dan di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Kendati berat, ia berjanji akan bekerja sebaik-baiknya dalam mengemban tugas negara itu. Di sela-sela kesibukannya itu Kamis pekan lalu Oetojo menerima wartawan TEMPO Aries Margono dan Andy Reza Rohadian untuk sebuah wawancara. Dan wawancara berlangsung di ruang kerjanya yang luas di kantor BP-7, Pejambon. ''Saya kan baru diangkat menteri, jadi belum banyak yang bisa disampaikan. Yah, kita ngobrol-ngobrol saja dulu,'' katanya ramah. Berikut petikan wawacara itu: Sudah tiga minggu diangkat menjadi menteri, apa kesan pertama melihat permasalahan dunia hukum kita? Saya melihat permasalahan hukum dari satu sistem: sistem hukum nasional. Ke dalam, saya cari bagaimana struktur mekanismenya. Kemudian baru melihat bagaimana hukum itu bergerak dan berkiprah di masyarakat. Pada awalnya para yuris mengambil peran yang cukup besar dalam tatanan masyarakat kita. Tapi pada periode 80-an tampaknya para ekonom yang ganti mengambil peran, dan perkembangan hukum mulai tercecer mengikuti gerak lajunya perkembangan ekonomi. Dalam dekade ini (pembangunan jangka panjang tahap II), tampaknya para teknolog yang berada di depan. Dan dalam dekade berikutnya, tidak bisa tidak, di situ terjadi perjumpaan antara ketiganya. Pembangunan hukum harus bisa seiring dengan mereka. Para ekonom tidak bisa lepas dari yuris atau teknolog. Sekarang ekonomi dan teknologi harus satu napas. Dan kita melihat bahwa penggerak utama dalam PJPT mendatang adalah industri. Zaman menunjukkan bahwa sulit bagi mereka untuk berdiri sendiri tanpa perangkat hukum yang modern. Mereka akan berhadapan dengan masalah multinasional. Di sisi lain, dalam perkembangan masyarakat yang demikian cepat, nilai-nilai moral dan etik mudah terancam. Orang dalam segala hal pada situasi itu akan cenderung pragmatis dan individualistis. Di sinilah yuris harus tampil untuk merumuskan bagaimana hukum ekonomi itu bisa menyelaraskan ini. Kita membutuhkan juris yang patriotik. Makanya tugas pembangunan hukum amat berat. Tampaknya Anda akan memprioritaskan pembenahan hukum ekonomi untuk mengimbangi lajunya dunia bisnis yang kian beragam perkembangannya. Dikatakan prioritas utama sih tidak, tapi kebutuhan akan hukum ekonomi yang modern rasanya mendesak. Alhamdulillah, kita sudah memiliki perundang-undangan yang mengatur hak milik intelektual (property right). Tapi itu saja tak cukup, saya ingin UU Perseroan Terbatas bisa segera lahir. Setelah itu rasanya perlu penyempurnaan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Hukum Acara Perdata, dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Saya punya target dalam Pelita VI ini kita memiliki perangkat hukum ekonomi yang lebih baik ketimbang sekarang. Problemnya, pendanaan. Sekarang ini banyak terjadi sengketa perusahaan asing dan dalam negeri. Dan pihak asing biasanya selalu kalah. Apakah ini yang dimaksud yuris patriotik? Kan tidak selalu demikian, dan kita tidak punya angka statistik bahwa perusahaan nasional selalu dimenangkan. Yang terjadi kadang-kadang justru sebaliknya. Patriotisme di sini adalah peningkatan kehidupan berbangsa, berketuhanan yang maha esa, bangga akan bangsanya, dan bangga akan prestasi bangsanya. Patriotisme itu tidak selalu heroisme fisik, tapi juga bisa jasa di sektor ekonomi, atau budaya atau lainnya. Kalau seluruh permasalahan kita, hukum kita, bisa dikompensasi orang lain, mau ke mana lagi kita? Karena itu, patriotisme, dalam bentuk yang baru dan canggih, bisa-bisa kebanggaan profesi. Mengingat belum kuatnya pranata hukum ekonomi, apakah selama ini terjadi kekosongan hukum? Tidak! Melalui peraturan-peraturan pemerintah, selama ini sudah bisa diatasi. Dan untuk selanjutnya saya berharap para hakim dan ahli hukum kita lebih kreatif jika menghadapi persoalan hukum yang di sini belum diatur. Sebagai pedoman sambil menunggu peraturan yang ada barangkali kita bisa belajar jurisprudensi di negara lain. Karena celah itu kantor lawyer asing tumbuh subur di Indonesia? Masalahnya rumit. Kita terkadang berada di bidang yang sangat baru dan hukum kita belum mengatur. Contoh mudah saja, masalah kondominium di Indonesia. Memang, dalam bisnis, bisa saja kita terbentur dengan lawyer asing. Di sinilah kita harus mengantisipasi, harus mengejar ketinggalan. Kalau tidak, kita akan ditinggal. Sekali lagi kita perlu patriotisme. Bagaimana tentang dualisme kehakiman (pengawasan hakim tidak satu atap)? Asasnya, kita itu berada di bawah sistem hukum nasional. Di atas atap masih ada atap lagi. Dengan sistem sekarang barangkali kita bisa check and balancing. Memang hakim selalu bilang, saya bertanggung jawab pada Tuhan. Tapi dia kan juga manusia. Mekanisme koreksi, di mana pun perlu ada. Kepentingan saya bukan sok mau tahu atau sok kuasa mau pegang buntutnya hakim, tapi saya punya kepentingan. Kalau dalam praktek ada yang tidak benar, barangkali saya salah dalam mendidik. Sistem pendidikan hakimnya mungkin tidak benar. Idealnya, hakim itu memang orang yang tidak mempunyai kekurangan, orang terpandang dan dilengkapi gaji yang tinggi, sehingga ia bisa bertindak bersih. Sekarang kalangan advokat mengusik lagi soal perlu tidaknya wadah tunggal. Apa menurut Anda memang diperlukan wadah tunggal advokad itu? Saya kira tidak ada yang menolak wadah tunggal. Cuma masalahnya, kita mau menetapkan wadah tunggal yang bagaimana yang bisa disepakati? Untuk mewujudkan itu perlu langkah tertentu. Saya berusaha untuk menggugah kesadaran itu. Apa kita tidak tertantang melihat profesi lain yang ternyata memberikan sumbangan yang lebih baik dalam pembangunan. Jangan sampai para advokad itu, seperti dikatakan orang, tak bisa diatur dan tak bisa bertindak benar. Jangankan membuat revolusi hukum, membuat wadah saja tidak bisa. Di negara paling liberal pun hanya ada satu bar association. Kalau main bola dengan satu bola dengan aturan main tertentu, semuanya akan lancar, tapi kalau ada dua bola, akan kacau. Tentang usulan adanya pembatasan pengacara praktek? Kita belum mengadakan opname, saya belum melihat apakah kebanyakan atau tidak. Kalau dulu kita perlu membuka hukum dan menyarankan ketertiban, karena itu kita perlu banyak orang yang tahu hukum. Tapi kalau tak ada pembinaan, timbul orang tahu hukum yang liar. Lantas siapa yang mengkualifikasi. Dalam pembangunan hukum secara luas, saya cenderung mengikutsertakan masyarakat, terutama LBH-LBH dan LSM-LSM. Tentang RUU KHUP kenapa belum dimajukan ke DPR? Saya berusaha untuk membawa secepatnya. Tapi jangan cepat keliwat. Dalam menyusun perundang-undangan, saya punya sedikit pengetahuan. Pendiskusiannya harus luas. Sekarang secara tidak langsung terjadi dialog nasional soal RUU KUHP. Kami ingin ketemu tim penyusun dulu, dan mendiskusikannya. Apakah ada tugas khusus dari presiden kepada menteri kehakiman? Tugas khusus ya menjalankan apa yang digariskan dalam GBHN. Selain itu, yang paling ditekankan, adalah menjalankan langkah yang berkaitan dengan peningkatan dan penciptaan disiplin nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini