Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Imunitas pengacara?

Seorang pengacara dihukum membayar ganti rugi karena mencemarkan nama baik saksi. hak imunitas pengacara pun kembali diusik.

17 April 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kekebalan pengacara ramai dipersoalkan advokat Jawa Timur. Topik itu muncul setelah Hakim Efrain Mayor, dari Pengadilan Negeri Malang, akhir Maret lalu menghukum Pengacara Heriani Widiastuti agar membayar ganti rugi Rp 5 juta kepada Dokter Ngesti Lestari, saksi ahli di pengadilan. Heriani dinyatakan terbukti mencemarkan nama baik Ngesti di persidangan. ''Putusan itu mengganggu kebebasan pengacara dalam membela klien,'' ujar Heriani kepada K. Chandra Negara dari TEMPO. Ia yakin, ucapannya yang menyangsikan keahlian dr. Lestari adalah bagian dari pembelaan. Pangkal sengketa bermula dari selembar visum et repertum yang dibuat Ngesti untuk mayat seorang bayi, 29 Desember 1991. Visum itu menjadi salah satu barang bukti dalam persidangan kasus pembunuhan, dengan terdakwa Dedeh Kusmiyati, ibu kandung bayi tersebut. Hakim Pengadilan Negeri Malang memvonis Dedeh 7 bulan penjara. Saat itu Heriani mendampingi Dedeh sebagai pembela. Pada pembelaannya, Heriani mengungkapkan bahwa Dedeh tak bersalah, karena bayi tersebut lahir dalam keadaan mati. Di sini ia menyangsikan visum dr. Ngesti, yang menyebut bahwa kematian bayi itu akibat tertutupnya jalan pernapasan. ''Hasil visum perlu dipertanyakan karena Ngesti bukan ahli kedokteran kehakiman (forensik). Karena itu, keputusan yang dibuat dokter itu perlu diragukan kebenarannya,'' kata Heriani. Kalimat pembelaan itu lalu dikutip koran, dan dr. Ngesti merasa dicemarkan reputasinya. Ia menganggap pernyataan Heriani tidak benar, karena ia ahli forensik yang mendapat brevet keahlian itu tahun 1985 di Fakultas Kedokteran Unair. ''Saya tersinggung karena profesi saya sebagai ahli forensik dicemarkan di depan umum,'' kata dokter Rumah Sakit Dokter Syaiful Anwar, Malang, itu. Ngesti, lewat pengacaranya, Budi Kusumaning Atik dan Sulistyowati, lalu menuntut ganti rugi Rp 150 juta. Perinciannya, Rp 100 juta untuk pencemaran nama baik, dan Rp 50 juta untuk kerugian menurunnya jumlah pasien Ngesti. Heriani juga dituntut agar minta maaf lewat media massa. Heriani menyatakan, gugatan Ngesti tak pada tempatnya, karena kalimat yang menjadi dasar gugatan diucapkannya dalam pembelaan atas nama klien. Karena itu, ujar alumni Universitas Brawijaya ini, pembelaannya memiliki kekebalan hukum atau hak imunitas. Heriani menganggap kesangsian yang dilontarkannya wajar saja. ''Untuk membela klien, wajar kalau pengacara mempersoalkan kebenaran barang bukti,'' ujar pengacara berpengalaman 10 tahun praktek itu. Apalagi, dalam visum, Ngesti hanya mencantumkan nama lembaga tempat dia bekerja RS Dokter Syaiful Anwar dan tidak mencantumkan keahliannya dalam bidang kedokteran kehakiman. Suami sekaligus pengacara Heriani, Bambang Winarno, menyatakan keheranannya bahwa ada pembelaan pengacara dijadikan dasar gugatan, bahkan hakim memenangkan gugatan itu. ''Seharusnya, pengacara yang bertindak sebagai kuasa hukum kliennya tak dapat digugat sebagai pribadi.'' Ia tak puas, lalu banding. Pengacara senior Jawa Timur, Markus Sajogo, juga menyesalkan putusan hakim. Apa yang dilakukan Heriani termasuk dalam imunitas beracara dalam persidangan. Dan semua pembelaan di persidangan, katanya, tak bisa diperkarakan. ''Apa hakim bisa digugat kalau suatu kali ternyata salah membuat putusan?'' Ia lalu menunjuk yurisprudensi perkara Yap Thiam Hien awal 1970-an. Ketika itu Yap, dalam persidangan, menuduh jaksa dan saksi polisi menerima suap. Yap diperkarakan, tapi oleh Mahkamah Agung dibebaskan. Alasannya, apa yang diucapkan Yap masih berkaitan dengan pembelaan. Sayangnya, Hakim Efrain Mayor tak mau berkomentar soal putusannya yang banyak disorot pengacara Jawa Timur itu. ''Putusan sudah jatuh. Artinya, saya sudah keluar dari kasus itu,'' katanya singkat. Tapi Ketua PN Malang, I Made Tara, merasa yakin bahwa Hakim Efrain sudah menimbang berbagai hal. ''Seorang hakim punya kemandirian untuk melakukan pencarian keadilan,'' ujarnya. Selama masalah imunitas pengacara tak diatur batasannya, perkara semacam itu tampaknya masih akan bermunculan. Perlu segera dibuat UU advokat? Aries Margono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus