SEORANG ibu bingung. Tak lama setelah merayakan ulang tahun ke-9, tiba-tiba perangai putrinya itu berubah. Sang gadis gemar berlama-lama di kamar mandi. Paling sedikit dua jam sekali ia masuk kamar kecil, hingga dalam satu hari ia pulang balik ke sana berkali-kall. Lalu, apa sebenarnya yang terjadi di dalam situ? Ternyata, si gadis kecil hanya mencuci tangan, yang notabene sudah sangat bersih. Semula sang ibu menyangka, ini hanya reaksi, karena si anak baru mengalami haid pertama. Tetapi, gawatnya, kebiasaan aneh ini berlanjut terus bertahun-tahun. Berbagai nasihat sudah tidak mempan lagi. Akhirnya pintu Yayasan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja (Keswara) di Jakarta pun diketuk. Dan dr. Erlina Sutjiadi, alumnus Universitas Indonesia yang memperdalam kesehatan Jiwa, berkenan merawatnya. Bagi dr. Erlina, kehadiran pasien -- yang sebut saja namanya Linda -- segera menarik perhatian. Pasalnya, si Linda memperlihatkan gejala-gejala menderita penyakit langka: Neurosa Obsesif Kompulsif (NOK). Berangkat dari permasalahan Linda, empat belas bulan kemudian, dokter yang berusia 40 tahun dan masih bersendiri ini berhasil mendapatkan brevet psikiatri anak dari almamaternya, September lalu. NOK, menurut dr. Erlina, diperkirakan menghinggapi sekitar 0,05% dari seluruh penderita kelainan jiwa. Adapun penderita kelainan jiwa diperkirakan sebanyak 0,1-4,6% dari keseluruhan penduduk. Tapi sikap Linda yang mau berterus terang kepada dokter yang mengaku penyayang anak ini memang hal yang juga luar biasa. Biasanya penderita NOK selalu menghindar dari pertanyaan, hingga akibatnya penderita NOK sulit disembuhkan. Sampai sekarang, Linda, yang sudah berusia 14 tahun, telah dirawat Erlina selama 14 bulan tanpa dapat disembuhkan secara penuh. Memang, ada perbaikan. Antara lain dengan memberikan obat penenang Haldol dan psikoterapi, yaitu dengan menggali apa penyebab timbulnya kelainan ini. Menurut Erlina, penyebabnya terjadi dari gabungan faktor luar dan faktor dalam. Contohnya adalah kemungkinan bahwa semasa kecil si anak mendapat pendidikan ketat. Mungkin, ia selalu dimarahi ketika, misalnya, pada usia 5 tahun suka mempermainkan kemaluannya. Hal ini, menurut Erlina, wajar-wajar saja, tapi orangtua yang tidak mengerti psikologi beranggapan bahwa perbuatan itu kotor. Akibatnya, si anak di bawah sadarnya merasa kotor, karena itu harus selalu membersihkan diri. Sejauh yang menyangkut Linda, Erlina berkesimpulan, sebenarnya bakat NOK sudah dibawa sejak lahir, namun masa haid memicunya aktif karena haid dikonotasikan sebagai sesuatu yang kotor. Rupanya, lama-kelamaan pikiran yang cenderung menyatakan dirinya kotor kian menancap dan merasuk ke dalam batin Linda. Perasaan merasa diri kotor, tanpa dapat dicegah, datang berulang-ulang. Jika cuma sampai di sini, penderita baru digolongkan dalam kelompok Neurosa Obsesi saja. Tetapi jika pikiran itu mendorong si penderita melakukan sesuatu dalam hal ini terlalu sering membersihkan dirinya -- ini disebut NOK. Kelainan itu dicoba diatasi dengan metode psikoterapi -- yang membutuhkan kesabaran perawat -- untuk menemukan akar penyebabnya. Sedangkan obat penenang Haldol dimanfaatkan untuk menghilangkan stress. Soalnya, bila stress menyerang, NOK menggawat," kata Erlina. Untunglah, Linda bersikap terus terang. Padahal, biasanya penderita NOK menyiratkan sikap angkuh dan selalu menutup diri. Jika ditanya, ia biasanya balik bertanya, "Mengapa dokter menanyakan hal ini ?" Dan terus mendebat agar si penanya menjelaskan maksudnya. "Karena itu, memang dibutuhkan kesabaran luar biasa untuk merawat penderita NOK," kata Erlina, yang mengaku sayang pada anak-anak ini. Menyembuhkan pasien demikian, "Seperti mencoba mengeringkan sesuatu dengan lap basah." Ini dicantumkan dr. Bachtiar Lubis dalam bukunya Ikhtiar Teori dan Klinik Neurosa. Penderita NOK memang diganggu dua keinginan pribadi yang berbeda. "Mereka sebenarnya tahu bahwa yang dilakukannya itu tidak benar, tapi tak kuasa melawannya," kata Erlina pula. Dan perawatan NOK yang memerlukan waktu panjang berakibat tak semua penderita dirawat hingga sembuh. Mungkin saja keluarganya bosan atau merasa dokternya kurang manjur. Padahal, untuk menyimpulkan seseorang menderita NOK, diperlukan waktu panjang. Seseorang yang selalu berpikiran ingin melompat dari kereta api yang berjalan cepat, misalnya, cenderung menghindari naik kereta api. Sekilas, ini seolah menyimpulkan orang tersebut takut (phobia) terhadap kereta api. Padahal, ia sebenarnya menderita Neurosa Obsesi. Dan kalau kemudian benar-benar melompat dari KA, berartti ia sudah menderita NOK. Untuk menyembuhkan penderita NOK, Bachtiar Lubis menyarankan terapi sedini mungkin. "Kalau sudah di atas 30 tahun, lebih sulit disembuhkan," tulisnya. Dan gawatnya lagi, tak mudah untuk memastikan apakah seseorang menderita NOK atau kelainan jiwa yang lain. Bahkan Bachtiar berpendapat, penyakit NOK termasuk psikoneurotik yang paling sulit diprognosa. Namun, jika sanak-keluarga Anda terlalu lama di kamar mandi, atau gemar mencuci tangan, jangan buru-buru menuduhnya menderita NOK. Tapi jangan pula ragu untuk segera memeriksakannya ke ahli jiwa. Bambang Harymurti, Ahmadie Thaha, dan Tri Budianto Soekarno (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini