Seorang ibu berniat mati bersama anaknya. Ia membunuhanaknya, tapi gagal bunuh diri. "SAYA menerima semua tuntutan Jaksa, Bu Hakim. Tetapi saya me~rasa hukuman saya kurang be~rat. Saya minta yang lebih berat. Dihukum mati, saya bersedia," ujar Nyonya Rat~na Mariana Winarno memohon kepada majelis hakim, sambil ~tersedu-sedu. Pe~ngunjung sidang di Pengadilan Negeri Surabaya dua pekan lalu merasa terenyuh. Ini peristiwa di persidangan yang jarang terjadi. Seorang terdakwa minta hukuman yang lebih berat dari yang diputuskan majelis hakim. Bayangkan, terdakwa sejak awal menganggap tuntutan Jaksa Faried Har~tono 9 tahun penjara terlalu ringan untuk menebus dosanya membunuh putrinya sendiri. Kisahnya, terdakwa Ratna terjerat utang Rp 57 juta, yang harus dilunasi akhir April lampau. Tapi sampai tiga hari sebelum dead~line, ia tak mampu mengumpulkan uang, lalu putus asa. Beban Ratna, sebagai anak tertua yang mendapat warisan usaha keluarga berdagang timbal (anak timbangan), memang berat. Janda beranak satu itu harus menghidupi dua adiknya yang sudah berkeluarga. Lily, adik iparnya yang tinggal serumah, mengungkapkan bahwa Ratna kemudian ne~kat ingin bunuh diri. Namun, sesaat sebelum melaksanakan niatnya, ia tibatiba ter~ingat anak perempuannya, Lenny, 20 tahun. Anak yang agak terbelakang ini dalam bayangannya akan menanggung beban utang jika ia mati. Bagaimana agar anak yang disa~yang~inya itu terbebas dari kesusahan? Tak ada jalan lain, membawanya per~gi ke kematian. Dini hari, Ratna menghampiri anaknya yang sedang tidur pulas. Ia langsung menghantam kepala anaknya dengan timbal lima kilogram. Lenny menjerit, tetapi pukulan sang ibu malah menjadi-jadi. Jeritan itu mem~bangunkan Teguh, anak Lily berusia 10 tahun, yang tidur di samping Lenny, tantenya. Tapi Teguh cuma bisa tertegun menyaksikan neneknya bertindak sadistis. Pada saat yang sama jeritan itu membangunkan seorang tetangga, Nyonya Suprapti, yang baru selesai sembahyang su~buh. Mengetahui itu suara Lenny yang men~jerit karena dipukuli ibunya, Suprapti me~nyangka Lenny sedang dihukum ibunya. Ketika matahari mulai naik, Lily, yang pada saat kejadian menginap di rumah familinya, pulang. Saat itu ia tak melihat sesuatu yang mencurigakan. Ia tak heran melihat iparnya membukakan pintu dalam keadaan basah kuyup karena baru saja membersihkan diri dari cipratan darah di kamar mandi. Tapi Lily curiga. Mulut iparnya bau obat serangga. Betul saja, begitu masuk kamar, iparnya itu jatuh tersungkur. Lily menjerit. Apalagi ia menemukan dua kaleng Baygon yang sudah kosong dan botol obat jantung juga sudah melompong. Bukan itu saja. Di kamar itu, tubuh Lenny terbujur kaku. Darah menggenangi kasur dan seprai. Kepalanya tertutup bantal. Panik, Lily lari ke luar mencari ban~tuan. Oleh para tetangga, Rat~na dipaksa minum air kelapa, lalu dilarikan ke Rumah Sakit Adi Husada. Ratna selamat. Tetapi hari keempat, janda yang sudah ditinggal suaminya sejak anaknya berumur lima tahun itu mencoba bunuh diri lagi dengan meloncat dari lantai empat gedung rumah sakit. Untung, polisi berhasil menggagalkannya. Bisakah ia meminta hukuman yang lebih berat? "Hukuman itu pas," kata Jaksa Faried sambil mengemukakan halhal yang jus~tru meringankan. Misalnya, ter~dakwa selalu berterus terang dan tidak mem~persulit jalannya persidangan. Ratna ju~ga kelihatan sangat menyesal sehingga ber~sedia dihukum apa pun untuk menebus do~sanya. Menurut Jaksa, ia membunuh kare~na kasihan dan sayang pada anaknya. Poli~si dan jaksa, kata Faried, tak menemukan un~sur kese~nga~jaan dalam pembunuhan itu. Sri Pudyastuti R. (Jakarta) dan K. Chandra Negara (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini