PERKAWINAN seorang wanita Australia dengan pemuda Lombok dibatalkan karena catatan perkawinannya salah kecamatan. Upaya mengugurkan status WNI? DI mana sebenarnya hakikat perkawinan? Pada manusianya atau secarik kertas penge~sahannya? Dalam sebuah kasus di Nusa Tenggara Barat per~tanyaan sederhana ini tidak layak dijawab. Majelis hakim Penga~dilan Agama Mataram, pekan lalu, membatalkan perka~winan Patricia Alma Williams dan Lalu Amalaka. Tanpa memedulikan pernyataan "manusianya", majelis me~nyatakan bahwa pernikahan mereka itu harusdibatalkan karena catatannya salah kecamatan. Kantor urusan agama yang menikahkan mereka berkedudukan di Kecamatan Cakranegara. Seharusnya, di Kecamatan Mataram atau Kecamatan Tanjung." Amalaka (Amal) dan Patricia (Trish) langsung menyatakan banding. "Aneh ya, sudah kawin kok bisa dibatalkan," kata Amal. Ia merasa heran, bila kesalahanhanya menyangkut soal administrasi, me~ngapa tidak dilakukan perbaikan saja. Amal me~nyatakan tak keberatan mengulangi prosedur perkawinannya. Namun, perkawinan Amal dan Trish sudah menjadi persoalan ruwet. Keputusan untuk kawin hak manusia yang hakiki di sini campur aduk dengan berbagai penafsiran, kecurigaan, dan kepentinganke~pentingan lain. Yang dipersoalkan semua pihak, pa~sangan itu punya perbedaan usia yang mencolok. Trish, janda dari Melbourne, Australia, berusia 70 tahun dan Amal,30 tahun, penduduk setempat. Ini kemudian dikaitkan de~ngan "perkawinan semu" dengan tujuan mendapat status warga negara Indonesia (WNI). Amal dan Trish mengenal secara dekat sejak empat tahun lalu. Amal, orang kepercayaan Trish yang mengurus bungalownya di daerah wisata Gili Meno, Lombok. Mereka menikah 30 November 1989 di Turide Barat, Babakan, Mataram, secara Islam sebelum pernikahan Trish memeluk Islam dan memilih nama baru, Halimah. Setelah menikah, Trish melepaskan statusnya sebagai warga negara Australia dan beralih menjadi warga negara Indonesia (WNI). Ini memang sudah niatnya. Pengadilan Negeri Mataram menetapkan alih warga negara ini pada 11 Desember 1989 berdasarkan UU Kewarganegaraan RI tahun 1958, yang mengizinkan wanita asing mengikuti kewarganegaraan suaminya. Jalan Trish untuk diakui menjadi WNI, meski sudah ditetapkan pengadilan, tidak semulus jalan tol. Ganjalan muncul ketika Trish mengurus paspor RI. Kantor Imigrasi menolak memberi paspor. Kepolisian Nusa Tenggara Barat (NTB) pun menolak memberi surat berkelakuan baik. Polisi merasa ada yang tidak beres dalam perkawinan Trish dan Amal. Dasarnya, polisi pada Februari 1990 menerima pe~ngaduan Amal, yang isinya merupakanpernyataan perkawinannya dengan Trish tidak didasari cinta. Pengaduan ini belakangan dicabut Amal, yang mengaku dipaksa membuat pernyataan oleh I GedeBandesa. I Gede Bandesa adalah lawan Trish dalam perkara tanah. Sebelum menikah, Trish yang masih warga negara asing (WNA) membeli tanah seluas satu hektare di Lombok. Karena WNA tidak boleh memiliki tanah, surat-suratnya diatasnamakan Bandesa. Begitu Trish menjadi WNI, tanah itu disengketakan. Perkara di pengadilan dimenangkan Trish. Kini Bandesa sedang menunggu proses kasasi. Apa betul Bandesa berada di belakang kasak kusuk itu? Kepala Polisi Wilayah NTB, Kolonel H. Roesdi Zain, menyangkal. Ia menyatakan melihat keganjilan dalam surat perkawinan Trish dan Amal. Pada surat model NA (keterangan lurah untuk menikah) Trish tercantum sebagai Halimah yang berstatus WNI. "Jadi, terlihat ada unsur ingin mengaburkan identitas," kata Roesdi. PerkawinanTrish dan Amal, menurut Roesdi, mestinya dilakukan sesuai dengan aturan perkawinan campuran antarwarga negara seperti diatur dalam Pasal 57 UU Perkawinan tahun 1974. Trish menyangkal, dan menyatakan bahwa kesa~lahan pencantuman Halimah sebagai WNI dilakukan oleh pencatat administrasi pernikahan. Perkara ini tak kedengaran kelanjutannya. Yang kemudian muncul adalah surat polisi dan Kantor Imigrasi NTB ke Pengadilan Agama NTB. Maka, berlangsunglah sidang yang membatalkan perkawinan Trish dan Amal. Alasannya kini, salah kecamatan itu. Ichtiyanto, dosen Fakultas Hukum di Universitas Indonesia yang kini tengah menyusun disertasi doktornya mengenai masalah kawin campur, berpendapat bahwaperkawinan Trish dan Amal sah secara hukum. Perkawinannya di kantor urusan agama, sah. "Mereka sama-sama Islam. Perkawinan di sini sahnya menurut hukumagama," kata Ichtiyanto. Sementara itu, kaitannya dengan status warga negara,menurut ahli ini, tidak diatur secara rinci dalam UU Perkawinan 1974. Soal salah kecamatan? "Kalau walinya ternyata salah, itu kesalahan Departemen Agama juga. Tidak bisa dong orang lain disuruh menanggung semua risiko," kata Ichtiyanto lagi. Patricia yang tampak letih menyatakan tak tahu lagi bagaimana ia harus mempertahankan keinginan menjalani masa tuanya dengan tenang di Lombok. Banyakhal yang tak bisa dipahaminya. "Saya letih dan bi~ngung,"kata nenek itu,putus asa. Gempuran yang dihadapinya memang terlalu keras. G.Sugrahetty Dyan K., Nunik Iswardani, dan Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini