SETELAH era pembajakan kaset ber akhir, kini era pembajakan buku agaknya sudah harus selesai. Para pembajak buku, yang selama ini merajalela dan menikmati zaman keemasannya, sudah harus siap-siap gulung tikar. Organisasi penerbit Ikapi bekerja sama dengan Polri, Senin pekan lalu, menggulung sebuah penerbit gelap terbesar, yang terungkap sampai saat ini, PT Metro Kencana di Jalan Raya Bogor, Kramat Jati, Jakarta Timur. Penerbit dan percetakan gelap itu, ternyata, selama ini telah memproduksi puluhan judul buku, yang laris di pasaran. Si pemilik penerbit gelap itu, Wan Tjun, mengaku telah membajak sekitar 38 judul buku, yang laris di pasaran, milik 11 penerbit anggota Ikapi. Sebenarnya, sudah bertahun-tahun penerbit-penerbit resmi mengeluh akibat sepak terjang pembajak. Usaha para penerbit mencari buku-buku bermutu, dengan membayar royalti kepada pengarang dan pajak kepada negara, justru menjadi sia-sia begitu bukunya laris di pasaran. Sebab, pada saat sama bisa dipastikan sudah beredar pula buku bajakan, yang hasil cetaknya sama dengan buku asli, tapi dengan harga lebih murah -- sekitar 25% di bawah harga pasaran. Usaha memerangi pembajak selama ini juga percuma saja. Berbagai usaha yang ditempuh Ikapi untuk menjaring pembajak berakhir dengan kegagalan. Tahun lalu, misalnya, Ikapi mendapat informasi tentang sebuah rumah yang berfungsi sebagai penerbit gelap di kawasan Petamburan, Tanah Abang, Jakarta. Informasi itu diteruskan ke polisi. Tapi, anehnya, begitu polisi menggerebek rumah, yang dicurigai itu, tak sebiji pun buku bajakan ada di situ. Begitulah, awal Agustus lalu, Ikapi Jaya menerima pula informasi tentang pembajak dari seorang pemasok kertas. "Di sebuah pcrcetakan di Kramat Jati bertumpuk kamus Inggris-Indonesia terbitan Gramedia," cerita si informan. Bisa dipastikan percetakan itu bukan milik Gramedia, tapi pembajak. Pihak Ikapi, kali ini, mencoba melacak sendiri informasi itu. Bak intel, selama dua pekan, orang-orang Ikapi mengamati rumah yang dicurigai. Setelah benar-benar yakin bahwa sasaran tepat, baru Tim Penanggulangan Buku Bajakan Ikapi Jaya, yang diketuai Zarkasyi Nurdin, S.H., bersama dua anggota Polri dari Polsek Matraman, Jakarta Timur, menuju lokasi. Pemilik percetakan gelap itu, yang letaknya tersembunyi di belakang sebuah gang sempit, Wan Tjun alias Tjuntoro Brataatmaja, 35 tahun, tak sempat menghilangkan jejak. Di rumah itu ditemukan puluhan judul buku, antaranya kamus tadi, Intisari Sastra Indonesia, Sari Kesusasteraan Indonesia I dan II, Pengantar Teori Makro Ekonomi. Selain itu, ditemukan pula dua buah mesin cetak offset, mesin potong, dan mesin jilid. Kendati yang kali ini menggerebek adalah Ikapi, Tjun masih mencoba mengajak damai dengan menjanjikan imbalan Rp 50 juta. "Sudahlah, Pak. Kita berdamai saja. Saya cuma sedikit membajak buku, hanya 2.000 eksemplar. Itu pun saya lakukan karena saya menganggur," ujarTjun mengiba. Tentu saja pihak Ikapi menolak sogokan itu. "Kami sudah bertekad perang total dengan pembajak," kata Zarkasyi. Hari itu juga Tjun ditangkap dan ditahan polisi. Sementara itu, barang bukti berupa buku sebanyak dua truk dan mesin-mesin tadi disita untuk barang bukti. "Saya kapok, Pak. Betul-betul kapok," kata Tjun kepada TEMPO. Prof. Yus Badudu dari Pustaka Prima Bandung, yang bukunya Sari Kesusasteraan Indonesia I dan II menjadi korban bajakan, segera datang ke Polsek Matraman begitu mendapat kabar bahwa pembajak bukunya tertangkap. Di situ ia tak bisa menahan amarahnya, dan menumpahkan kekesalannya kepada Tjun. "Kamu tidak tahu diri. Kamu enak-enak makan kenyang dari hasil bajakan, sementara penerbit-penerbit sah senin - kemis. Jahat kamu!" katanya. Diserang seperti itu Tjun hanya menunduk malu. Perkara Tjun, kini, telah dilaporkan Polsek Matraman ke Polda Metro Jaya dan Mabes Polri. Berdasarkan undang-undang hak cipta UU No. 7 tahun 1987, Tjun bisa dipidana paling lama 7 tahun penjara atau denda paling banyak Rp 100 juta. "Dengan kasus ini undang-undang itu bisa diuji," kata Zarkasyi, yang juga kuasa hukum Ikapi. Sebenarnya, undang-undang hak cipta terbaru -- dengan ancaman hukuman lebih tinggi yaitu -- pertengahan Juni lalu, sudah pernah diuji di Solo untuk pembajak buku. Hanya saja Pengadilan Negeri Surakarta cuma memvonis dua orang pembajak buku Muslimin dan Mulyono masing-masing 4 bulan penjara. Padahal, Jaksa Samino sebelumnya menuntut kedua terdakwa dengan hukuman 2 tahun penjara. "Tapi mereka kami vonis hukuman penjara, bukan dengan hukuman percobaan, lho," kata Ketua Majelis Hakim, Barmuddin. Muslimin, 32 tahun pemilik kios buku di belakang Taman Sriwedari Solo itu, mengaku membajak buku Pengantar Hukum Internasional karya Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, karena permintaan terhadap buku itu sangat banyak. Bekerja sama dengan Mulyono, pemilik sebuah percetakan kecil-kecilan, ia mencetak 2.000 eksemplar buku tersebut. Dengan cara itu Muslimin bisa menjual buku laris, yang harga resminya Rp 3.000 per buah itu, dengan harga Rp 1.500. Dengan harga miring itu saja ia mengaku sudah untung Rp 500 - Rp 1.000 per eksemplar. Sebab itu, pihak Ikapi masih merasa vonis hakim terhadap kedua orang itu masih terhitung ringan. Tapi bagi Muslimin dan Mulyono, yang kini sedang menunggu putusan banding, vonis itu sudah cukup untuk membuat kapok. "Saya benar-benar kapok, pengalaman pahit itu selalu akan saya jadikan pelajaran," katanya. Para pembajak akan lebih kapok bila operasi yang dilakukan Ikapi Jaya terhadap Tjun seperti diceritakan di atas bisa ditingkatkan. Hanya saja, untuk operasi semacam itu, kata Ketua Ikapi Jaya, Doddy Yudistha, perlu dana besar. Untuk menangkap Tjun saja, katanya, pihak Ikapi mengeluarkan biaya Rp 1,5 juta. "Kalau 210 penerbit di Indonesia mau menyokong biaya-biaya penggerebakan, saya yakin pembajakan buku bisa ditekan, meski sulit diberantas," kata Doddy. Widi Yarmanto, Priyono B. Sumbogo (Jakarta), dan Kastoyo Ramelan (Yogyakata)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini