APA yang akan Anda lakukan bila mertua Anda bawel? Rodia, penduduk Desa Bungko, Cirebon, Jawa Barat, membubuhkan racun tikus pada teh yang bakal dihidangkan untuk mertuanya. Dua pekan lalu, Ihwanto, warga Desa Prendengan, Banyumas, Jawa Tengah, meniru perbuatan Rodia dengan membubuhkan racun serupa pada mi telur campur tahu yang disajikan pada mertuanya. Kedua mertua yang malang itu selamat dari maut. Tapi perbuatan Rodia tetap minta korban: nyawa keponakan dan adik iparnya melayang. Mereka: Kunia, 2,5 tahun, dan Kesih, 17 tahun. "Saya menyesal bukan mertua saya yang mati, tapi justru adik ipar dan keponakan saya sendiri," kata Rodia. Rodia memang dendam sekali pada mertuanya, Lamika, 64 tahun, yang menganggap sang menantu tak lebih dari seorang pejantan. "Padahal, saya sudah membanting tulang mencari nafkah," kata Rodia. Ia menambahkan, laki-laki tua itu sering minta agar anaknya, Rasmi, diceraikan. Betulkah? Di mata Lamika, Rodia, buruh tani dan tukang becak yang berpendidikan kelas tiga SD itu, tak lebih dari pengangguran dan suka memukul istri. Maka, nelayan miskin itu sering menyindir menantunya sebagai laki-laki tak bertanggung jawab. Kesal mendengar ocehan mertuanya itu, akhir Juni lalu Rodia, 19 tahun, lantas membubuhkan racun tikus ke cerek berisi air teh, yang kemudian ditaruhnya di meja mertuanya. Ternyata, yang menenggak teh beracun itu justru Kunia. Keponakan Rodia itu mati seketika. Ketika didapatinya yang terbunuh justru keponakannya, Rodia pura-pura tidak tahu apa yang terjadi. Sementara itu, Lamika mengira cucunya mati karena kolera. Tetangga yang datang melayat juga tak mengira peristiwa itu ulah Rodia. Mereka termasuk Kesih, adik Rasmi, ramai-ramai minum teh dari cerek racun itu Tak lama kemudian mereka yang menenggak teh beracun itu menggeliat, lalu muntahmuntah. Mulut mereka berbusa, seperti yang dialami Kunia menjelang ajalnya. Puskesmas Kapetakan, Cirebon, hanya bisa menyelamatkan enam tetangga Lamika. Kesih tak tertolong. Pada hasil pemeriksaan dkter, para korban positif keracunan teh dari cerek itu. "Semula, saya mengira mereka mati karena setan laut," kata Nesa, mantri polisi desa yang melaporkan kejadian itu ke puskesmas Kapetakan. Rodia, yang saat ini meringkuk dalam tahanan polisi, segera akan diajukan ke pengadilan. Kalau Rodia kesal pada sindiran mertua Ihwanto, dalam pengakuannya kepada polisi, selain tak tahan mendengar omelan, juga tergiur untuk mendapat warisan. Maka, ia, dibantu istrinya, Payem, tega membubuhkan racun pada mi telur campur tahu yang disajikan kepada mertua. Mbok Sadiwirya bersama tiga anaknya yang lain -- Inem (15 tahun), Durachman (13 tahun), dan Saimah (10 tahun) -- sama sekali tak curiga bahwa mi bikinan Payem beracun. Mereka langsung menyantap hidangan tersebut. Sekitar satu jam kemudian, perut mereka terasa mual, dan keempatnya jatuh pingsan. Mereka baru siuman setelah dicekoki air kelapa hijau, telur ayam kampung, air comberan, darah ayam hitam, dan minyak kelapa. Nyawa mereka dapat diselamatkan, sekalipun muntah mereka bercampur darah. Kecurigaan mulai timbul karena Payem, anak sulung Mbok Sadiwirya yang tinggal serumah, tak ikut keracunan. Sementara itu, Ihwanto, ketika musibah itu terjadi, tak di rumah. Setelah diselidiki, Ihwanto dan Mbok Sadiwirya sudah setahun tak akur. Ihwanto, 25 tahun, yang tak punya pekerjaan tetap itu, mengaku kepada pamong setempat, selain sering tersinggung oleh sindiran mertuanya yang seakan-akan menghendakinya angkat kaki, juga terdorong ingin menguasai harta mertuanya. Pengakuan Ihwanto itu dibenarkan Payem. "Kami berniat membunuh ibu dan adik-adik, karena ingin menguasai tanah dan rumah," cerita Payem lugu. Warisan yang diincar adalah tanah seluas 1.120 m2 dan bangunan rumah seluas 70 m2. Mbok Sadiwirya, 45 tahun, mengatakan bahwa sindirannya itu dimaksudkan untuk mencambuk Ihwanto agar mencari duit. Selama ini, katanya, Ihwanto menganggur dan suka mencuri barang milik mertua seperti kendil atau panci, untuk kemudian dijual. Atas perbuatannya itu, Ihwanto kini meringkuk di sel Polres Banjarnegara, sementara Payem, 21 tahun, dikenai tahanan rumah. "Saya menyesal sekali dan berjanji tak akan mengulanginya. Suami saya juga menyesal dan merasa malu," kata Payem, ibu seorang anak, yang kembali berkumpul dengan orangtua dan adik-adiknya. Hasan Syukur (Bandung) dan Slamet Subagyo (Yogayakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini